TIMESINDONESIA, JAWA TENGAH – Beberapa bulan lalu, ungkapan #kaburajadulu" kerap kali muncul berseliuran di media sosial. Tidak sedikit pula yang benar-benar mempertimbangkan hal tersebut secara serius. Banyak anak muda mulai berpikir, "Jika hidup di sini justru membuat stres dan sulit berkembang: mengapa tidak mencoba hidup di negara lain saja?"
Hashtag itu menjadi populer bukan tanpa alasan. Di balik kalimat yang terdengar santai tersebut, tersembunyi banyak kekecewaan dan keresahan. Biaya hidup yang semakin tinggi, sementara kenaikan gaji sangat lambat.
Membeli rumah tampak seperti angan-angan, menabung pun terasa sulit. Bahkan untuk sekadar hidup layak dan memiliki waktu istirahat yang cukup pun semakin sulit.
Ini bukan semata-mata persoalan kurang bersyukur. Banyak orang telah bekerja keras, memiliki pendidikan yang baik, dan tidak malas. Namun tetap saja hidup mereka terasa tidak berkembang. Tidak ada jaminan kehidupan yang lebih baik meskipun telah berusaha maksimal.
Hal ini menimbulkan pertanyaan: Apakah sistem ekonomi yang kita jalankan saat ini sudah benar? Mungkin, permasalahannya bukan pada individunya. Mungkin, ini merupakan tanda bahwa sistem ekonomi yang ada belum cukup manusiawi.
Jika kita berbicara dengan gen z saat ini, banyak dari mereka mengungkapkan bahwa hidup menjadi semakin sulit. Mereka sudah menempuh pendidikan tinggi, memiliki keterampilan, dan bekerja keras, namun tetap merasa kesulitan untuk berkembang.
Permasalahan yang mereka hadapi pun beragam: harga kebutuhan pokok terus meningkat, biaya tempat tinggal yang semakin mahal, jam kerja panjang namun penghasilan belum mencukupi, minimnya jaminan jika kehilangan pekerjaan.
Banyak yang akhirnya merasa lelah dan bertanya-tanya: Mengapa hidup terasa tidak berpihak pada saya?. Keinginan untuk pindah ke luar negeri bukanlah bentuk ketidakcintaan pada tanah air.
Justru, mereka merasa kehabisan harapan dan tidak tahu harus berbuat apa lagi. Jika ada peluang hidup yang lebih tenang dan aman di tempat lain, mengapa tidak dicoba?
Sistem ekonomi yang berjalan saat ini cenderung berfokus pada pertumbuhan. Yang selalu menjadi sorotan adalah angka-angka seperti total nilai ekonomi negara, ekspor, dan investasi. Jarang sekali dibahas apakah pertumbuhan tersebut dirasakan secara merata oleh masyarakat. Atau justru hanya dinikmati oleh kelompok tertentu yang sudah kaya?
Banyak generasi muda merasa hidup dalam sistem yang hanya menguntungkan sekelompok orang, terutama mereka yang sudah memiliki modal. Sementara itu, mereka yang berasal dari keluarga biasa harus berjuang sangat keras bahkan hanya untuk memenuhi kebutuhan dasar.
Bayangkan bekerja dari pagi hingga malam, namun penghasilan masih belum mencukupi untuk sewa rumah dan kebutuhan harian, ingin memulai usaha tetapi sulit mendapatkan modal dari lembaga keuangan, Lulus kuliah dengan nilai baik namun tidak ada pekerjaan yang sesuai. Semua ini membuat orang bertanya-tanya, Apa gunanya bekerja keras jika hasilnya tidak sepadan?
Ekonomi yang manusiawi tidak semata-mata soal pertumbuhan atau keuntungan. Ini adalah tentang bagaimana sistem ekonomi dapat memberikan rasa aman, penghargaan, dan harapan bagi setiap individu. Karakteristik ekonomi yang manusiawi antara lain, ekonomi yang manusiawi mencakup adanya jaminan atas kebutuhan dasar seperti makanan, tempat tinggal, dan layanan kesehatan.
Selain itu, sistem ini menyediakan pekerjaan yang layak dengan penghasilan mencukupi, memberikan akses terhadap pendidikan dan peluang usaha yang adil, serta menghadirkan sistem keuangan yang tidak menindas dan bersifat adil. Tidak kalah penting, ekonomi manusiawi menunjukkan kepedulian terhadap kelompok yang membutuhkan.
Ekonomi syariah hadir bukan hanya sebagai alternatif, tetapi sebagai sistem yang menekankan keadilan dan keseimbangan terhadap kemanusiaan. Tujuan utamanya bukan sekadar meraih keuntungan, melainkan memastikan tidak ada pihak yang dirugikan.
Beberapa prinsip ekonomi syariah yang relevan dengan kondisi saat ini seperti, larangan riba, skema bagi hasil (akad mudharabah), distribusi kekayaan melalui zakat dan wakaf, transparansi dalam kegiatan muamalah.
Perbankan syariah berpotensi besar menjadi instrumen utama dalam menciptakan ekonomi yang lebih adil. Beberapa peran yang dapat dilakukan antara lain:
Pertama, Perbankan syariah dapat mendukung generasi muda dalam memulai usaha melalui pembiayaan tanpa bunga dan sistem bagi hasil, sehingga mereka bisa memperoleh akses modal tanpa rasa takut terhadap utang yang mencekik.
Kedua, Dana sosial seperti zakat, infak, dan wakaf dapat dikelola secara produktif untuk pembangunan fasilitas umum, beasiswa, dan pelatihan kerja, sehingga manfaatnya bisa dirasakan luas oleh masyarakat.
Ketiga, Dalam hal investasi, perbankan syariah menawarkan pilihan yang sesuai dengan prinsip syariah, memberikan rasa aman bagi masyarakat yang ingin berinvestasi tanpa khawatir terhadap praktik riba.
Keempat, Perbankan syariah juga berperan dalam memperluas inklusi keuangan, menjangkau masyarakat di daerah terpencil agar mereka juga bisa mendapatkan layanan keuangan yang adil. Dengan memperluas jangkauan hingga ke daerah terpencil, masyarakat kecil juga dapat mengakses layanan keuangan yang adil.
Walaupun menjanjikan, ekonomi syariah tetap saja akan menghadapi sejumlah tantangan, antara lain, kurangnya pemahaman masyarakat mengenai prinsip-prinsip dasar yang dijalankan. Selain itu, masih ada anggapan bahwa layanan di bank syariah lebih rumit dibandingkan dengan bank konvensional.
Teknologi dan layanan digital pada beberapa bank syariah juga belum sepenuhnya optimal, sehingga mengurangi daya tariknya di kalangan generasi muda. Tak kalah penting, promosi dan literasi keuangan syariah masih perlu ditingkatkan agar semakin banyak orang yang memahami dan mau beralih ke sistem ini.
Jika sistem ekonomi kita lebih inklusif dan berpihak pada manusia, keinginan untuk pergi ke luar negeri demi kehidupan yang lebih layak akan berkurang. Bayangkan jika dalam sistem yang lebih adil dan manusiawi, masyarakat akan lebih mudah mendapatkan pekerjaan yang layak, rumah dengan sistem pembiayaan yang tidak memberatkan, serta peluang usaha yang tidak bergantung pada pinjaman berbunga tinggi. Selain itu, akses terhadap pendidikan dan layanan kesehatan juga bisa dirasakan secara merata oleh seluruh lapisan masyarakat.
Semua itu dapat dicapai jika kita berani memperbaiki sistem. Ekonomi syariah adalah salah satu jalan yang bisa ditempuh. Sistem ini bukan sekadar milik umat Islam, tetapi untuk siapa pun yang menginginkan keadilan.
Generasi muda bukan generasi yang malas. Mereka hanya membutuhkan ruang dan harapan untuk berkembang. Jika negara ini dapat memberikan itu, mereka akan memilih bertahan. Bahkan kembali, untuk membangun.
Fenomena #Kaburajadulu adalah cerminan dari kegelisahan banyak orang, terutama anak muda. Ini bukan sekadar tren, melainkan tanda bahwa kita harus mengevaluasi sistem yang ada.
Harapan tidak harus padam. Kita dapat membangun ulang sistem ekonomi yang berpihak kepada manusia. Sistem yang adil dan berkelanjutan. Dan ekonomi syariah, dengan seluruh prinsip keadilannya, bisa menjadi fondasi kuat untuk itu.
Mari kita mulai membangun, bukan untuk pergi. Tapi untuk menciptakan tempat yang layak, aman, dan bermartabat bagi semua.
***
*) Oleh : Dhea C Anantya Popilo, Mahasiswa Studi Perbankan Syariah, Universitas Ahmad Dahlan Yogyakarta.
*)Tulisan Opini ini sepenuhnya adalah tanggungjawab penulis, tidak menjadi bagian tanggungjawab redaksi timesindonesia.co.id
____________
**) Kopi TIMES atau rubik opini di TIMES Indonesia terbuka untuk umum. Panjang naskah maksimal 4.000 karakter atau sekitar 600 kata. Sertakan riwayat hidup singkat beserta Foto diri dan nomor telepon yang bisa dihubungi.
**) Naskah dikirim ke alamat e-mail: [email protected]
**) Redaksi berhak tidak menayangkan opini yang dikirim apabila tidak sesuai dengan kaidah dan filosofi TIMES Indonesia.