Cerita Kriminal ini tentang pembunuhan misterius di Kamar 1010 sebuah hotel. Awalnya adalah foto-foto tak senonoh yang digunakan untuk memeras seorang pejabat bank.
---
Intisari hadir di WhatsApp Channel, follow dan dapatkan berita terbaru kami di sini
---
Intisari-Online.com -Kapten Leopold, dari bagian penyidikan pembunuhan, merasa heran sekali ketika dia ditelepon oleh Max Hafner, pemilik biro detektif partikelir yang menyediakan juga tenaga sekuriti. Hafner mengundangnya makan siang di sebuah restoran Prancis.
Padahal Kapten Leopold hampir tidak mengenal Hafner, walaupun peneleponnya itu mantan polisi. Soalnya, Hafner sudah sepuluh tahun berhenti dan dulu bertugas di bagian lain.
"Mau apa ya, dia?" tanyanya kepada anak buahnya, Sersan Connie Trent yang pernah menjadi bawahan Hafner.
"Mau menawarkan pekerjaan barangkali, Kapten," jawab polwan itu.
"Memang lebih enak menjadi detektif partikelir daripada menjadi polisi. Penghasilannya jauh lebih besar," gurau Leopold.
"Ah, tapi saya sih sanksi Anda mau berhenti jadi polisi," komentar Connie.
"Mau pun sudah terlambat. Saya sudah hampir pensiun, kok!"
Makan siang berlangsung tanpa Hafner menyebut-nyebut maksud pertemuan mereka. Akhirnya Leopold tidak tahan untuk tidak bertanya. "Saya harus cepat kembali ke kantor. Barangkali ada yang ingin Anda sampaikan."
"Memang begitu. Anda 'kan tahu saya mengusahakan biro detektif yang memakai tenaga beberapa rekan mantan polisi."
Nah, betul 'kan dugaanku? Dia mau menawarkan pekerjaan, pikir Leopold. Eh, ternyata dugaannya meleset.
"Kami memerlukan alat perekam suara yang dijalankan oleh baterai dan dihidupkan oleh bunyi. Alat itu mesti cukup kecil untuk bisa dibawa-bawa dalam tas wanita. Barangkali Anda bisa menyebutkan merek dan jenis yang baik," kata Hafner.
Leopold sungguh tidak menduga kalau Hafner cuma ingin meminta jasa sepele itu, sehingga selama beberapa saat ia membisu saja.
"Cuma itu saja yang ingin Anda tanyakan?" tanya Leopold seperti tidak percaya.
"Ya, cuma itu yang bisa saya ingat saat ini."
Leopold menyebutkan suatu merek yang saat itu dipakai di bagian penyidikan pembunuhan, lalu mereka berpisah.
Begitu dia muncul di kantornya, Connie Trent bertanya, "Anda menerima tawarannya?"
"Dia tidak menawarkan pekerjaan, kok. Aneh, ya, dia rela mengeluarkan uang 50 dolar untuk menjamu, padahal yang ingin dia ketahui cuma merek alat perekam."
"Anda menduga Hafner sebetulnya mempunyai maksud lain ketika ia mengundang Anda?"
"Mungkin ia berniat menawarkan pekerjaan, tetapi ketika ia melihat saya sudah tua, ia membatalkan maksudnya."
Dikunci dan dirantai dari dalam
Dua hari kemudian Leopold sudah lupa tentang peristiwa itu. Lewat tengah hari, Connie Trent menerima telepon dari St. George, yaitu salah sebuah hotel terbesar di kota mereka. Di sebuah kamar hotel itu ditemukan jenazah. Tampaknya korban bunuh diri.
Karena saat itu anak buahnya sedang sibuk menangani perampokan bank, maka Leopold turun tangan sendiri. Dia mengajak Sersan Connie Trent mendatangi Hotel St. George yang menduduki seluruh blok di seberang Veteran Park.
Sebuah ambulans dan sebuah mobil polisi sudah diparkir. Mereka diantar ke tingkat 10 oleh seorang polisi yang memberi laporan di dalam lift. Katanya, bagian front desk di hotel itu menerima laporan bahwa ada wanita berteriak-teriak di kamar no. 1010.
Jadi petugas sekuriti hotel datang memeriksa. Pintu kamar 1010 terkunci dan wanita itu tidak mau membukanya, sehingga harus dibuka dengan kunci pas. Ternyata daun pintu tetap tidak bisa dipentang sebab masih tercantel rantai dari dalam. Petugas sekuriti memotong rantai itu. Di dalam kamar dilihatnya seorang wanita menjerit-jerit kalap di samping jenazah seorang pria.
Ketika Leopold tiba di kamar 1010, wanita cantik berambut warna gelap itu masih kalap. Seorang polisi dan para petugas kesehatan tidak berhasil menenangkannya. Leopold meminta Connie membantu mereka, sementara dia mengamati jenazah yang terbujur di ranjang berukuran lebar.
Pria itu masih bersetelan lengkap dan penutup ranjang masih rapi di tempatnya. Cuma saja pada cita berwarna merah jambu itu ada noda darah berbentuk lingkaran. Pria itu tampaknya sebaya dengan si wanita, yaitu umur 30-an. Dada dan perutnya menunjukkan luka bekas beberapa tikaman. Di karpet, dekat kursi yang diduduki si wanita, tergeletak sebuah pisau berlumuran darah.
Connie dkk. akhirnya berhasil menenangkan si wanita yang segera diangkut ke rumah sakit. "Tampaknya ia tidak luka, cuma histeris dan mungkin sekali di bawah pengaruh obat bius, entah obat bius apa."
"Dia membunuh pria itu?"
"Dia bilang sih tidak. Katanya, dia tidak-tahu apa yang terjadi. Dia tertidur dan ketika terjaga dia melihat pria itu sudah tewas di sampingnya."
Seorang pria berkulit hitam dan bertubuh tinggi besar muncul di muka pintu kamar hotel. Dia mengenakan setelan yang terdiri atas tiga bagian dan masih membawa-bawa alat pemotong logam ukuran besar. Dia petugas sekuriti hotel, namanya Sam Mason. Leopold meminta Mason menceritakan apa yang terjadi. Cerita Mason sama dengan laporan polisi kepada Leopold.
"Posisi jenazah masih sama seperti sekarang," kata Mason.
"Wanita itu ngotot bukan dia yang membunuh. Mana mungkin si pembunuh kabur dari kamar yang pintunya terkunci dan terkait dengan rantai? Kecuali kalau wanita itu membiarkan si pembunuh kabur, lalu dia mengunci diri bersama mayat."
Connie menyerahkan tas tangan si wanita yang ditemukan di sebuah kursi. Leopold membukanya tanpa mengharapkan menemukan petunjuk berarti. Tahu-tahu dia tertegun karena di dalam tas itu terdapat sebuah alat perekam kecil yang dijalankan dengan baterai dan dihidupkan oleh suara. Merek dan jenisnya sama seperti yang dia sarankan kepada Max Hafner.
Suaminya diperas
Beberapa jam kemudian Hafner sudah duduk berhadapan dengan Leopold di markets besar.
"Max, kau kenal pada Anita Buckman?" tanya Leopold. Hafner semula ragu-ragu, tetapi kemudian mengaku wanita itu kliennya.
"Kenapa dia?" tanya Hafner.
"Menjelang senja tadi dia ditemukan berdua saja dengan seorang pria yang sudah menjadi mayat di dalam kamar hotel yang terkunci dan terantai dari dalam," jawab Leopold.
"Siapa pria itu?"
"Ken Amstrong. Dia bekas guru SMA setempat yang kehilangan pekerjaan sejak dituduh mencemarkan kesucian salah seorang siswanya. Sejak itu hidupnya tidak keruan. Tahun lalu dia ditahan karena dituduh menjadi germo, tetapi tuduhan itu kemudian dicabut."
Max Hafner menjilat bibirnya, lalu bercerita. Katanya, Anita pernah datang kepadanya untuk meminta pertolongan karena suaminya diperas. Suaminya itu, Rudolph Buckman yang biasa dipanggil Rudy, bekerja di sebuah bank yang konservatif, sebagai wakil presiden suatu departemen. Suatu hari ada orang yang diam-diam memotret Buckman saat pria itu bermesraan dengan seorang pelacur. Lalu foto itu dipakai untuk memeras Buckman. Buckman takut foto itu jatuh ke tangan bosnya, sebab menurut peraturan perusahaan, karyawan mereka dilarang berhubungan di luar batas tertentu dengan wanita yang bukan istrinya.
Setelah memeras Buckman, pemeras menghubungi Anita lewat telepon untuk meminta "uang bungkam". Anita khawatir suaminya dipecat. Dia juga tidak berani menghubungi polisi, karena khawatir pada publisitas. Jadi ia meminta jasa Hafner. Hafner mengusulkan agar Anita bersedia menemui pemeras, tetapi Anita harus berbekal alat perekam. Transaksi dengan pemeras direkam dan hasilnya dipakai untuk memaksa pemeras menghentikan pemerasannya. "Karena itulah saya bertanya kepada Anda, perekam apa yang paling baik,” kata Hafner mengakhiri ceritanya.
"Si Amstrong itu pemerasnya?" tanya Leopold.
"Saya duga begitu."
Menurut Hafner, Anita dan pemeras berjanji bertemu di lobi Hotel St. George. "Mungkin pemeras berhasil memancingnya ke kamar," komentar Hafner. Hafner mengaku memberi kisikan kepada pemimpin sekuriti Hotel St. George, Sam Mason, agar membantu menjaga keselamatan kliennya.
"Saya rasa Anita membunuh demi membela dirinya," kata Hafner.
"Dia menyangkal keras. Dia mengaku tidak sadar beberapa menit dan ketika terbangun dilihatnya Amstrong sudah menjadi mayat di sampingnya."
Tak perlu membunuh
Leopold mengeluarkan alat perekam suara yang ditemukan di tas Anita. Dia memijat tombol play. Mula-mula terdengar suara di lobi, lalu suara wanita bertanya, "Anda yang menelepon saya?"
Suara pria menjawab, "Betul. Anda bawa uangnya?"
"Di tas saya. Mana foto-foto suami saya?"
"Di tingkat atas. Saya harus yakin Anda datang sendirian."
"Saya sendirian."
"Mari ikut ke atas. Sebentar saja."
"Baik." Kedengaran pelbagai bunyi, lalu bunyi bel lift.
"Di sini."
"Jangan kunci pintunya."
"Kita 'kan tidak mau diganggu. Keluarkan uangnya."
"Mana foto-fotonya?"
"Di sini."
"Oh. Binatang kau!"
"Ini suami Anda, Bu."
"Siapa wanita itu?"
"Sebut saja dia sebagai teman suami Anda dan teman saya juga. Namanya Rhoda."
"Anda yang memotret?"
"Betul. Bank si Rudy 'kan tidak akan menyukai foto-foto ini."
"Brengsek!"
"Tenang saja. Saya punya sebotol wiski. Anda mau minum?" . .
"Tidak!"
"Ah segelas saja 'kan tidak apa-apa. Saya campur dengan air banyak-banyak."
"Begini caramu mencari nafkah, ya?"
"Saya mencari nafkah dengan bermacam-macam cara. Dulu saya mengajar. Ini minum dulu lalu serahkan uangnya."
"Apa ini? Rasanya tidak enak."
"Cepat serahkan uangnya."
"Tidak. Ah, kamar ini berputar."
"Cuma khayalan Anda saja." Terdengar suara-suara campur aduk dan suara Amstrong lagi. "Apa yang kau lakukan?" Setelah itu yang kedengaran cuma suara teriakan-teriakan Anita sampai pita rekaman habis terpakai.
Leopold mematikan alat rekaman dan Hafner bertanya, "Anda bilang, pintu terkunci dari dalam?"
"Rantai pintu pun tercantel."
"Dari rekaman, tampaknya Anita yang membunuhnya, tapi mungkin saja saat itu dia dibius. Anda memeriksa botol wiski?"
"Sedang dianalisis."
Hafner menggelengkan kepalanya. "Untuk apa dia membunuh kalau dari rekaman dia sudah bisa membuktikan kejahatan Amstrong? Amstrong sudah bukan ancaman lagi baginya maupun bagi suaminya."
"Anda bilang Anda meminta Sam Mason mengamati Anita. Anda sudah meminta laporannya."
"Belum. Saya belum tahu apa-apa ketika Anda memanggil saya ke sini."
Satu-satunya tersangka
Di rumah sakit untuk pertama kalinya Leopold bertemu dengan Rudy Buckman. Pria itu berumur 30-an. Rambutnya pirang dan kulitnya pucat, seperti orang yang terlalu lama berkurung di dalam bank. Leopold memperkenalkan dirinya dan Rudy Buckman bertanya mengapa pintu kamar istrinya perlu dijaga oleh polisi wanita segala.
"Saya kira perlu, Pak Buckman. Istri Anda merupakan tersangka dalam suatu kasus pembunuhan dan sampai saat ini merupakan satu-satunya tersangka."
"Anda datang untuk menanyai istri saya?" tanyanya pula.
"Saya ingin berbicara dengan istri Anda, jika dokter menyatakan dia mampu diajak berbicara."
Ternyata Anita Buckman sudah tenang, tetapi mesti menginap semalam di rumah sakif. Buckman mengantar Leopold ke ranjang istrinya. Anita terbaring, tetapi tidak tidur.
"Saya sudah sehat sekarang. Mengapa saya tidak boleh pulang?" tanyanya.
"Dokter akan memperbolehkan pulang besok," kata suaminya menghibur.
Leopold berdehem. "Saya ingin menanyakan sesuatu kepada Anda, Bu Buckman. Saya harus memberi tahu Anda bahwa Anda berhak untuk berdiam diri atau meminta kehadiran seorang pengacara. Pernyataan yang Anda buat dapat dipakai untuk memberatkan Anda."
"Saya tidak membunuhnya!"
"Itulah yang ingin saya pastikan."
"Kau ingin kehadiran pengacara, Anita?" tanya suaminya.
"Tidak! Saya tidak perlu menyembunyikan sesuatu."
"Silakah Anda ceritakan apa yang terjadi," pinta Leopold.
"Detektif itu, Hafner ...."
"Max Hafner."
"Ya. Saya datang kepadanya ketika diperas."
"Mengapa kamu tidak memberitahu saya?" kata Rudy Buckman. "Jika saya tahu Amstrong mengancammu juga ...."
"Kamu 'kan tidak memberi tahu saya, Rudy. Jadi saya pun tidak perlu memberitahu kamu. Hafner bilang saya bisa berada di atas angin kalau berhasil merekam transaksi. Saya anggap sarannya benar juga, jadi saya jalankan. Pemeras itu - kamu bilang namanya siapa? Amstrong?" tanya Anita kepada suaminya.
"Ken Amstrong," Leopold menjelaskan.
"Katanya, foto-foto itu ada di kamarnya. Jadi saya ikut dengan dia untuk mengambilnya. Saya melihat semuanya, Rudy. Menjijikkan. Kamu dengan wanita itu."
"Kemudian apa yang terjadi?" tanya Leopold.
"Dia memaksa saya minum wiski. Saya cuma minum seteguk, lalu saya pusing. Saya tidak ingat apa yang terjadi setelah itu. Tiba-tiba saja saya ada di sampingnya. Dia berlumuran darah. Saya lantas berteriak-teriak."
"Amstrong memasukkan orang lain ke kamar?"
"Tidak. Saya ingat dia mengunci pintu ketika kami masuk."
"Mungkinkah ada orang yang bersembunyi di lemari atau di kamar mandi?" tanya Rudy. "Atau di kolong ranjang?"
"Mungkin begitu."
"Tapi mereka tidak mungkin bisa keluar," kata Leopold.
"Sam Mason, petugas sekuriti, harus menggunting rantai supaya bisa masuk."
"Saya ...."
"Jangan berkata apa-apa lagi, Anita. Saya akan mencarikan pengacara bagimu besok pagi." Buckman berbalik kepada Leopold. "Saya kira cukup sekian dulu, Kapten."
"Baik. Kita lanjutkan besok di kantor saya."
Disaksikan petugas pembersih kamar
Sam Mason sedang tidak bertugas ketika dicari ke Hotel St. George, tetapi dia bisa ditemukan di Bar Fountain-head yang remang-remang. "Anda sering melihat Ken Amstrong di hotel?" tanya Leopold.
"Baru hari itu."
"Anda kenal temannya, Rhoda?"
"Rhoda Quigley? Setiap kali muncul di lobi, saya giring dia ke luar. Tapi akhir-akhir ini ia tidak pernah kelihatan."
"Di mana dia tinggal?"
"Ah, pasti kalian punya alamatnya di markas besar."
"Kenal Max Hafner?"
"Detektif partikelir itu?"
"Betul. Katanya, ia memberi Anda beberapa dolar untuk mengawasi Anita Buckman pada saat bertemu dengan Amstrong."
"Ah, Anda jangan membahayakan sumber nafkah saya. Kalau ketahuan bos, bisa dipecat saya. 'Kan saya tidak boleh menerima pekerjaan sampingan."
"Saya tidak peduli soal itu. Saya cuma bertanya apakah Anda mengawasi Anita Buckman."
"Ya. Saya mengikuti mereka, tapi begitu mereka masuk ke kamar 'kan saya tidak bisa apa-apa lagi. Saya turun untuk menelepon Hafner, tapi dia sedang tidak ada di tempat. Tahu-tahu saya dilapori wanita itu berteriak-teriak."
"Lalu apa yang Anda lakukan?"
"Saya meminjam kunci pas dari petugas pembersih kamar untuk membuka pintu. Lalu saya mengambil alat penggunting rantai. Ketika bersama petugas pembersih kamar saya masuk, saya lihat Ny. Buckman masih berteriak-teriak sedangkan Amstrong tewas di ranjang."
"Petugas pembersih kamar menemani Anda? Dia melihat Anda menggunting rantai?"
"Ya, dong."
Leopold mencoba tidak memperlihatkan kekecewaannya. Tadinya, dia pikir Mason memotong rantai setelah menikam Amstrong. Tapi dengan kehadiran petugas pembersih kamar sebagai saksi, kemungkinan itu buyar.
Kembali ke kantornya Leopold memeriksa kembali semua benda yang ditemukan di kamar: pisau, botol wiski, kamera, tas Anita, pita rekaman. Di tas itu selain alat perekam, juga ada sebuah sampul penuh guntingan surat kabar, bukan duit. Rupanya untuk menipu pemeras. Rencananya begitu transaksi direkam, Anita harus cepat-cepat keluar dari kamar. Ternyata dia tidak cukup gesit.
Leopold memeriksa kamera 35 mm yang ditemukan dalam lemari dan tampaknya milik Amstrong. Kamera itu berisi film yang belum dipakai.
"Buat apa kamera ini?" tanyanya kepada Connie Trent yang masuk membawa laporan laboratorium.
"Saya duga sih Amstrong ingin membuat beberapa foto Ny. Buckman. Wiski itu 'kan berisi obat untuk bikin knockout Begitu Ny. Buckman pingsan, Amstrong akan menelanjanginya dan memotretnya untuk modal memeras lagi.”
"Ah itu 'kan cuma spekulasi," bantah bosnya.
"Habis buat apa dia membius wanita itu?"
"Barangkali kau benar."
"Mungkin Ny. Buckman berbekal pisau di tasnya dan menggunakan senjata itu ketika ia merasa terancam."
"Tapi kenapa dia menyangkal mati-matian? Tidak ada juri yang akan menyalahkan dia kalau dia menikam Amstrong dalam situasi seperti itu."
"Entahlah. Mungkin dia ketakutan."
"Mana foto-foto yang diambil di tempat kejadian?"
Lama sekali Leopold memandangi foto pintu kamar no. 1010. Foto itu memperlihatkan rantai yang terpotong. Seuntai menggantung di daun pintu, seuntai lagi di bingkai pintu. Tiap untai terdiri atas lima mata rantai. Satu mata rantai lagi tergeletak di karpet, yaitu mata rantai yang digunting menjadi dua bagian.
"Connie, coba periksa kalau-kalau ada berkas tentang Rhoda Quigley, teman Amstrong melakukan kejahatan," perintahnya. Tak lama kemudian Connie melapor.
"Kapten, saya sudah membawa Rhoda Quigley ke markas besar."
Rhoda Quigley ternyata seorang wanita berambut coklat yang sulit dibayangkan sebagai pelacur. Dia lebih tepat menjadi karyawan bagian penjualan di perusahaan real estate atau kantor asuransi. Dia mengaku mengenal Ken Amstrong yang kematiannya sore itu diumumkan di TV.
Dia juga terpaksa mengaku pernah dipotret bersama Rudy Buckman dan beberapa pria lain atas permintaan Amstrong, tapi dia menyangkal ikut dalam pemerasan. Katanya, pemotretan selalu dilakukan di kamar yang sama di St. George, yaitu kamar no. 1010.Ken Amstrong tidak bersembunyi di kamar, tetapi di luar. Di kamar itu pria pasangan Rhoda tidak bisa melihat ke pintu. Apalagi Rhoda membuatnya sibuk. Ken mempunyai cara untuk masuk tanpa ketahuan.
Leopold meminta Rhoda didampingi pengacara pada saat membuat pernyataan resmi. Setelah itu dia meminta Connie pergi mencari hakim malam itu juga, untuk meminta surat perintah penggeledahan di alamat tertentu.
"Tidak mungkin, Kapten. Sekarang ‘kan hari besar, Hari Veteran. Kebanyakan hakim pergi ke luar kota melewatkan akhir minggu panjang."
"Coba ke rumah Hakim Newman. Ia tidak keluar kota."
Sejam kemudian Leopold dan Connie sudah berada dalam kendaraan yang membawa mereka ke rumah seseorang. Mereka berbekal surat perintah penggeledahan yang ditandatangani oleh Hakim Newman.
"Sejak semula saya yakin Anita Buckman tidak membunuh Ken Amstrong. Mesti ada orang lain di kamar itu."
"Mengapa Anda bisa begitu yakin?"
"Karena ada barang penting yang hilang dari kamar itu. Amstrong membawa Anita Buckman ke kamar 1010 untuk memperlihatkan foto-foto suaminya dengan Rhoda. Kita tahu dari rekaman bahwa dia memperlihatkan foto-foto itu kepada Anita. Tapi ke mana foto-foto itu kemudian? Kita tidak menemukannya di kamar itu. Satu-satunya yang bisa terjadi adalah: seseorang masuk dan membawanya pergi."
"Bisa saja Sam Mason, setelah dia menggunting rantai. Mengapa? Untuk dibawa ke Hafner? Apa gunanya? Foto-foto itu 'kan bisa menjadi bukti Anita diperas. Dia 'kan klien Hafner?”
“Selain itu petugas pembersih kamar mendampingi Mason ketika dia masuk ke kamar 1010. Foto-foto itu bukan diambil Mason, tetapi si pembunuh. Berarti bukan Anita."
"Jadi siapa? Bagaimana dia bisa masuk ke kamar itu? Mestinya seseorang yang menganggap foto itu penting bagi dirinya. Bukan pemeras lain atau Rhoda Quigley. Rhoda sering membuat foto begini. Saya yakin memiliki kunci palsu untuk kamar itu tidak sulit. Tapi bagaimana dengan rantai yang tercantel?”
"Saya perhatikan Mason menggunting mata rantai yang paling tengah, meninggalkan lima mata rantai ke kiri dan lima mata rantai ke kanan. Ketika saya bandingkan dengan rantai cantel di rumah saya, saya dapati rantai di kamar 1010 itu lebih panjang daripada normal. Kemudian saya tahu dari Rhoda bahwa Amstrong selalu mempergunakan kamar no. 1010 itu untuk pemotretan. Mestinya dia menambahkan mata rantai pada rantai yang sudah ada, supaya cukup panjang sehingga daun pintu bisa dipentang cukup lebar untuk memasukkan tangannya. Dengan demikian dia bisa membuka cantelan untuk masuk dan mencantelkannya lagi dari luar.” Connie mengangguk.
Mereka tiba di alamat yang dituju. Sebelum keluar dari mobil Leopold berkata, "Si pembunuh tahu sistem ini atau menduganya dari pengalaman. Dia juga orang yang sangat berkepentingan untuk memperoleh foto-foto tidak senonoh yang dipakai memeras Anita Buckman. Orang yang memenuhi persyaratan ini cuma satu: Rudy Buckman."
Buckman membukakan pintu. "Terlalu malam untuk bertamu, Kapten. Saya sudah hampir naik ke ranjang."
"Kami memiliki surat perintah penggeledahan, Pak Buckman."
"Apa?"
"Perintah penggeledahan untuk mencari foto-foto yang Anda ambil dari kamar hotel pagi ini setelah Anda membunuh Amstrong."
"Gila!" seru pria itu.
Connie segera memeriksa ruang duduk. "Anda tahu bagaimana membuka rantai itu, Pak Buckman," kata Leopold. "Ketika Anda dengarAmstrong membius istri Anda, Anda keluar dari tempat persembunyian Anda dan menikam Amstrong. Rupanya Anda memutuskan bahwa Anda tidak keberatan istri Anda dipenjara sebagai pembunuh. Namun, Anda membuat suatu kesalahan besar: Anda mengambil foto-foto Anda. Setelah mengunci kembali pintu, Anda tidak mempunyai kesempatan menyembunyikan foto-foto itu di bank Anda, karena hari itu hari raya. Jadi Anda bawa pulang ke rumah."
"Kapten, di perapian ada abu dan sebuah sudut foto yang tidak sempat terbakar."
"Panggil petugas-petugas laboratorium. Mereka akan bisa membuat gambaran dari serpihan besar yang sudah hangus ini." Kemudian Leopold berbalik menghadapi Rudolph Buckman untuk membacakan hak-haknya dan mengalungkan borgol.
Seminggu kemudian Max Hafner mengundang Leopold makan siang lagi. "Saya dengar Buckman mengaku," katanya.
"Betul. Tinggal menunggu sidang pengadilan saja."
Hafner terdiam sejenak, lalu katanya, "Kapten, saya ingin menawarkan sesuatu yang mestinya saya tawarkan sejak dulu-dulu. Apakah Anda
tertarik untuk meninggalkan kepolisian dan bekerja di perusahaan saya? Saya memerlukan orang yang memiliki akal dan pengetahuan seperti Anda."
Kapten Leopold tersenyum puas. "Terima kasih, Max. Saya menghargai tawaran Anda, tetapi saya belum ingin berhenti menjadi polisi. Hari ini giliran saya mentraktir Anda. " (Edward D. Hoch/Helen Ishwara)