Jakarta (ANTARA) - Setelah hampir satu dekade tanpa film tunggal, "Superman" (2025) hadir sebagai babak baru bagi semesta DC.
Kali ini, film ditangani langsung oleh sineas yang dikenal hobi menyulap para pecundang menjadi pahlawan dalam ledakan-ledakan aksi; James Gunn.
Film ini menjadi bagian pertama dari semesta baru DC Universe yang dikembangkan langsung oleh Gunn, setelah ia diangkat menjadi Co-CEO DC Studios bersama Peter Safran pada 2022.
Di sini, Gunn tak hanya mengarahkan tapi ia juga menulis ulang mitologi Superman dari dasar dengan menanamkan nilai-nilai kemanusiaan yang lebih dalam dan relevan dengan zaman.
Film terbaru ini secara teknis merupakan film ke-11 yang menjadikan Superman sebagai pusat cerita (baik dalam versi film tunggal maupun dalam ensemble). Man of Steel (2013) mencatat pendapatan terbesar sejauh ini, namun film pertama Superman (1978) tetap dikenang karena pengaruhnya terhadap genre superhero modern.
Sebagai reboot, Superman (2025) menyita perhatian banyak pihak sejak awal, terutama karena perubahan total yang diusung Gunn. Kritikus memuji arah barunya yang lebih berani secara tematik, sementara sebagian penggemar setia lamanya penasaran apakah "Superman yang manusiawi" tetap bisa tampil heroik.
Salah satu kekuatan utama film ini adalah keberanian James Gunn untuk "memanusiawikan" sosok Superman. Clark Kent (David Corenswet) kini digambarkan sebagai pria 30-tahunan yang tinggal di sebuah apartemen griya tawang Metropolis, bekerja sebagai jurnalis yang dekat dengan Superman. Ia bukan lagi simbol sempurna tanpa cela, melainkan pribadi yang masih mencari tempatnya di dunia.
Alih-alih jadi figur yang selalu didukung, ia justru mendapat teguran dari ayah angkatnya, Jonathan Kent (Pruitt Taylor Vince), yang memintanya untuk "tidak jadi orang asing" dan sesekali pulang menengok kedua orang tuanya, menggambarkan dinamika keluarga yang lebih realistis.
Hubungan Clark dengan Lois Lane (Rachel Brosnahan) juga jauh dari klise asmara mulus. Film ini menampilkan gesekan latar belakang yang tajam. Lois sebagai jurnalis skeptik yang sering meragukan ketulusan orang lain, sementara Clark terbentuk dari nilai-nilai desa pertanian kecil Smallville. Ayunan dialog di antara mereka berdua kadang penuh sindiran, kadang menghangat, namun selalu terasa jujur, menunjukkan bahwa bahkan pahlawan super pun tak lepas dari kegamangan cinta.
Di sisi lain, sosok Lex Luthor (Nicholas Hoult) tampil sebagai lawan tangguh yang tak hanya berbahaya secara intelektual, tapi juga emosional. Dalam momen klimaks yang tak terduga, Luthor menitikkan air mata setelah kalah dalam pertarungan melawan Superman dan kawan-kawan. Bukan karena fisiknya yang hancur, tetapi karena jiwanya runtuh akibat dipecundangi Superman, momen langka yang memperlihatkan bahwa bahkan super villain pun bisa rapuh.
Underdog, musik, dan semangat punk
Sebagai sutradara yang terkenal karena keberpihakannya pada karakter underdog seperti dalam Guardians of the Galaxy dan The Suicide Squad, James Gunn kembali menghadirkan warna itu di Superman. Tokoh-tokoh yang biasanya hanya jadi pelengkap seperti Jimmy Olsen yang kikuk tapi setia, atau Metamorpho si manusia kimia aneh, kali ini mendapat ruang untuk bersinar.
Satu kejutan menyenangkan datang dari pendekatan musik film ini. Jika Superman sebelumnya identik dengan skor orkestra megah, kali ini Gunn memilih pendekatan yang lebih mentah dan energik: punk rock. Lagu-lagu berisik namun membangkitkan semangat mengisi banyak adegan penting, membentuk atmosfer yang terasa lebih “kasar”, namun juga lebih jujur dan membumi.
Band fiktif The Mighty Crabjoys tampaknya menjadi simbol utama arah baru ini. Saat Lois mengantar Clark ke rumah orang tuanya di Smallville di mana dia menghabiskan masa remajanya, ia melihat poster band tersebut terpampang di dinding.
Dan di akhir film, lagu The Mighty Crabjoys kembali terdengar dengan irama yang membuncah namun hangat, menegaskan bahwa punk rock bukan soal pemberontakan kosong, tapi soal welas asih, keberanian menjadi diri sendiri, dan solidaritas terhadap sesama, semangat yang juga diusung Superman versi Gunn.
Menariknya, James Gunn tercatat sebagai salah satu penulis lagu yang dibawakan oleh The Mighty Crabjoys. Ini bukan pertama kalinya Gunn terlibat langsung dalam kurasi musik filmnya, tapi kali ini ia melangkah lebih jauh: ikut menciptakan nada dan lirik yang mencerminkan pandangan Superman terhadap dunia.
Menjadi manusia: Pilihan, bukan takdir
Salah satu adegan paling menggetarkan dalam film ini adalah ketika potongan rekaman rusak dari orang tua biologis Kal-El yakni Jor-El dan Lara yang akhirnya berhasil dipulihkan oleh Engineer dan disebarluaskan ke publik yang isinya justru menyuruh Kal-El menguasai bumi demi kejayaan Krypton.
Superman sempat hancur mendengar potongan pesan itu karena selama ini mengira kedua orang tua biologisnya mengutus dia ke Bumi dengan misi untuk melindungi planet beserta isinya, namun keseluruhan isi pesan justru menyuruh Superman jadi penguasa dengan menghalalkan segala cara.
Melihat putranya patah hati, sang ayah angkat yakni Jonathan Kent meyakinkan putranya itu bahwa identitas sejatinya dibentuk oleh nilai dan pilihan, bukan asal usul.
Gunn seolah menegaskan pesan film ini dengan satu pernyataan kuat: "Pilih-pilihanmu, Clark, tindakanmu itulah yang membentuk siapa dirimu." Sebuah pesan dari Jonathan Kent yang menjadi benang merah dari seluruh cerita bahwa identitas dan jati diri seseorang tidak ditentukan oleh kekuatan, status, atau latar belakangnya, tapi oleh keputusan yang diambil dan tindakan yang dilakukan.
Demikianlah, Superman (2025) bukan hanya awal baru bagi DC, tapi juga definisi ulang makna kepahlawanan. James Gunn membuktikan bahwa pahlawan terbesar bukanlah mereka yang tak terkalahkan, tapi mereka yang tetap berjuang hari demi hari meski penuh keraguan. Bahwa menjadi manusia komplit dengan luka, cinta, pilihan, dan empati adalah kekuatan sejati.
Superman tak harus sempurna. Ia hanya perlu tetap memilih menjadi baik.