Jakarta (ANTARA) - Putusan pengadilan federal Amerika Serikat baru-baru ini membuka babak baru dalam perdebatan global mengenai hubungan antara Akal Imitasi (AI) dan hak kekayaan intelektual.
Pada 24 Juni 2025, Hakim William Alsup memutuskan bahwa perusahaan AI bernama Anthropic secara hukum diperbolehkan melatih model bahasa mereka menggunakan buku-buku yang dilindungi hak cipta, selama proses tersebut bersifat “transformatif” atau menghasilkan sesuatu yang baru dan berbeda.
Kantor berita Reuters (24/06) juga menyatakan, pengadilan juga menetapkan batas yang tegas: pelatihan AI boleh, tetapi mengunduh lebih dari tujuh juta buku bajakan untuk keperluan tersebut tetap melanggar hukum.
Kasus pelanggaran hak cipta tersebut akan disidangkan terpisah pada akhir tahun ini. Putusan ini merupakan preseden penting pertama dalam ranah hukum internasional yang akan berpengaruh besar terhadap karya kreatif lainnya, termasuk musik, film, dan seni visual.
AI dan Risiko terhadap Musik
Di bidang musik, dampaknya tidak dapat dihindari. Teknologi generatif berbasis AI kini mampu menciptakan lagu dengan struktur dan nuansa yang sangat menyerupai genre, gaya, bahkan karakter khas seorang musisi.
Model-model ini dilatih menggunakan jutaan data lagu yang tersedia secara daring, dan sering kali diambil dari platform seperti YouTube, Spotify, dan media sosial tanpa sepengetahuan penciptanya. Jika lagu yang dihasilkan terdengar cukup berbeda, maka ia bisa lolos dari klaim pelanggaran hak cipta. Namun, di mana batas antara inspirasi dan peniruan dalam konteks algoritma? Ini merupakan area abu-abu yang belum diatur secara jelas.
Dalam tulisannya AI & Copyright: A Case Study of the Music Industry, Lila Shroff (2024) menyoroti bagaimana kemajuan pesat kecerdasan buatan generatif (generative AI) menghadirkan tantangan serius terhadap hak cipta dan keberlangsungan hidup pekerja kreatif, khususnya di industri musik.
Ia mengkritisi praktik perusahaan teknologi besar yang menggunakan karya seniman tanpa izin, kompensasi, atau transparansi dalam melatih model AI. Ketimpangan kekuasaan antara korporasi dan seniman menjadi tantangan utama, diperparah oleh tidak adanya mekanisme opt-out yang adil dan penggunaan doktrin “fair use” secara sepihak untuk membela kepentingan korporasi. Ketidakterlibatan seniman dalam pengembangan dan regulasi AI memperbesar risiko tergesernya manusia oleh sistem otomatis.
Untuk itu, Shroff mengusulkan pendekatan Human-Centered AI (HCAI) yang menempatkan seniman sebagai aktor utama dalam proses desain, regulasi, dan pemanfaatan teknologi. Jika tidak diadopsi secara sukarela, regulasi hukum perlu diberlakukan untuk memastikan keadilan dan perlindungan terhadap hak-hak manusia dalam era AI.
Perlindungan hak musisi
Indonesia tidak luput dari risiko eksploitasi kecerdasan buatan (AI) terhadap kekayaan budayanya. Musik tradisional yang menjadi bagian tak terpisahkan dari identitas bangsa seperti dangdut, keroncong, gamelan, hingga musik-musik daerah dari Nusa Tenggara Timur, Minangkabau, dan Papua telah tersedia bebas di berbagai platform digital.
Besar kemungkinan bahwa karya-karya tersebut telah digunakan sebagai bahan pelatihan algoritma AI tanpa izin, tanpa pencatatan, dan tentu saja tanpa kompensasi. Sayangnya, Undang-Undang Hak Cipta No. 28 Tahun 2014 yang berlaku saat ini belum mampu merespons perkembangan teknologi AI secara memadai.
Tidak ada pengaturan mengenai batasan legal dalam pelatihan AI, tidak ada definisi eksplisit mengenai fair use dalam konteks pembelajaran mesin, dan tidak ada instrumen hukum yang memungkinkan musisi Indonesia menuntut perusahaan teknologi asing yang menyalahgunakan karya mereka.
Dalam posisi sebagai pengguna teknologi, bukan pengembangnya, Indonesia menghadapi kesenjangan kuasa yang semakin melebar.
Namun demikian, teknologi tidak boleh hanya dianggap sebagai ancaman. Justru, perkembangan AI dan platform digital dapat menjadi peluang strategis bagi musisi untuk membebaskan diri dari ketergantungan pada label besar atau studio konvensional.
AI dapat menjadi alat bantu dalam berbagai aspek produksi musik, mulai dari penciptaan melodi, mixing, hingga visualisasi dan promosi, tanpa menghilangkan nilai artistik. Dengan semakin terjangkaunya teknologi dan terbukanya akses ke platform seperti YouTube, TikTok, dan Spotify, kreativitas kini lebih ditentukan oleh kemampuan beradaptasi dan orisinalitas, bukan semata oleh modal atau koneksi industri. Ini membuka jalan bagi demokratisasi produksi musik di mana seniman memiliki lebih banyak kontrol atas karya dan karier mereka.
Fenomena ini telah terbukti dari keberhasilan sejumlah musisi independen seperti Hindia, Pamungkas, dan Nadin Amizah. Tanpa campur tangan label besar, mereka mampu menjangkau audiens luas, menjaga orisinalitas karya, dan membangun koneksi langsung dengan pendengar.
Momentum ini harus dimanfaatkan sebagai model bahwa AI dan platform digital dapat memperkuat otonomi seniman, bukan justru memperpanjang dominasi industri besar. Oleh karena itu, musisi perlu diberdayakan untuk memahami dan mengendalikan teknologi, bukan ditinggalkan dalam ketidakpastian regulasi.
Di sinilah peran pemerintah menjadi sangat strategis. Revisi terhadap Undang-Undang Hak Cipta harus segera dilakukan untuk merespons realitas baru ini, termasuk mengatur pelatihan AI, menetapkan lisensi kolektif, dan menciptakan mekanisme kompensasi yang adil.
Lebih dari itu, negara harus mendorong kebijakan platform digital agar lebih berpihak kepada kreator lokal. Ini termasuk transparansi algoritma distribusi dan pembagian royalti yang proporsional, sehingga ekosistem musik nasional tetap adil, berkelanjutan, dan berdaya saing global.
Isu ini tentu bukan hanya urusan domestik, tetapi juga tantangan global yang menuntut respons kolektif.
UNESCO pada 2021 telah merumuskan Recommendation on the Ethics of Artificial Intelligence, sebuah kerangka kerja internasional pertama yang menegaskan bahwa AI tidak boleh merusak keragaman budaya dan kebebasan berekspresi.
Namun, rekomendasi ini harus diikuti dengan implementasi nyata di tingkat nasional dan internasional. Negara-negara anggota, termasuk Indonesia, didorong untuk merumuskan kebijakan yang mengikat, menuntut transparansi dari perusahaan teknologi, serta menjamin keadilan bagi negara-negara berkembang yang karyanya sering diambil tanpa pengakuan.
Ini adalah momen bagi Indonesia untuk menunjukkan kepemimpinan, tidak hanya dalam melindungi senimannya, tetapi juga dalam membentuk masa depan etis bagi teknologi global.
Putusan hukum di AS hanyalah permulaan. AI akan terus berkembang dan memainkan peran besar dalam industri kreatif. Kita tidak bisa menghindarinya. Tapi kita bisa mengaturnya. Bahkan, imajinasi pun harus dikelola agar tidak merusak ekosistem.
*) Anang Hermansyah, Penyanyi & Musisi, Produser Musik, Mahasiswa PSDM Peminatan Industri Kreatif Sekolah Pascasarjana Universitas Airlangga; IGAK Satrya Wibawa, Wakil Delegasi Tetap Indonesia untuk UNESCO, Dosen Universitas Airlangga