TIMESINDONESIA, PADANG – Ada yang janggal dari kabar yang menyebar di jagat maya belakangan ini. Seorang guru madrasah di Demak, Jawa Tengah, menampar muridnya karena ulah nakal, lalu diviralkan, dicemooh, dituntut ganti rugi, dan akhirnya malah diganjar donasi berjuta-juta.
Guru itu bernama Kiai Ahmad Zuhdi, seorang pengajar di Madrasah Diniyah Al Falah di Desa Weding, Kecamatan Bonang. Pria sepuh berambut perak itu mengajar dengan honor yang, barangkali, lebih kecil dari harga sebungkus rokok di kafe modern: seratus lima ribu rupiah sebulan.
Semua bermula dari kejadian sepele di kelas diniyah. Para murid melempar-lempar sandal ke depan kelas, dan satu di antaranya mengenai tubuh Zuhdi. Merasa dilecehkan, Zuhdi menampar anak yang ia yakini sebagai pelaku. "Itu pun tamparan ringan. Tak sampai melukai," kilah Zuhdi dalam pengakuannya.
Namun kejadian itu rupanya menjadi bara dalam sekam. Beberapa bulan berselang, wali murid dari anak yang ditampar menggugat. Bukan sekadar protes, tapi juga menuntut ganti rugi dalam bentuk uang damai. Jumlahnya tak main-main: Rp25 juta. Nominal yang membuat kening siapa pun berkerut, apalagi bagi guru kampung yang penghasilannya nyaris tak terhitung.
Zuhdi sempat syok. Dengan penghasilan yang tak lebih dari Rp450 ribu setiap empat bulan, dari mana ia bisa mengumpulkan uang sebanyak itu? Pilihan pun dibuat: satu-satunya sepeda motor yang biasa ia pakai ke madrasah hendak dijual demi menutup ‘dosa’ menampar anak didik.
Kabar guru tampar murid yang dituntut puluhan juta ini sontak menyulut emosi publik. Di media sosial, dukungan deras mengalir kepada Zuhdi. Mereka menyebut tuntutan itu keterlaluan, berlebihan, dan menciderai akal sehat masyarakat kampung yang memahami bahwa pendidikan agama kerap melibatkan kedisiplinan fisik. "Kalau gurunya takut menegur, bagaimana masa depan anak?" tulis seorang netizen di kolom komentar.
Dukungan tak hanya datang dari dunia maya. Gus Miftah, pendakwah nyentrik sekaligus mantan Staf Khusus Presiden RI, datang langsung ke rumah Zuhdi. Tak sekadar menyampaikan simpati, Gus Miftah membayar penuh tuntutan denda tersebut.
"Jangan sampai guru yang berniat mendidik harus kehilangan kehormatan dan hartanya," kata Gus Miftah.
Tak hanya itu, sang pendakwah juga menghadiahi Zuhdi sepeda motor baru, dan memberinya tiket umrah gratis bersama istri dan ibunya.
Solidaritas juga datang dari Ketua DPRD Demak, Zayinul Fata. Ia turun tangan membantu meringankan beban Zuhdi sekaligus menyampaikan pesan bahwa seorang guru tak boleh sendirian menghadapi tekanan sosial semacam ini.
Namun sebagaimana cerita yang memicu kehebohan, suara kontra tetap menggema. Ada pihak yang menilai kekerasan dalam pendidikan, termasuk bentuk tamparan, tetap tak bisa dibenarkan. Anak-anak, kata mereka, punya hak untuk belajar dalam suasana yang aman, bebas dari kekerasan fisik dan verbal.
Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) pun menegaskan bahwa tindak kekerasan terhadap siswa, dalam bentuk apapun, bertentangan dengan Undang-Undang Perlindungan Anak.
Tapi di balik polemik itu, kasus ini memunculkan refleksi tajam: apakah seorang guru di pelosok dengan penghasilan tak layak masih harus dihukum dengan tuntutan puluhan juta hanya karena menegakkan disiplin? Di mana batas antara kekerasan dan upaya mendidik?
Apalagi dalam tradisi pendidikan pesantren dan madrasah di kampung, sentuhan fisik acap menjadi bagian dari metode pendidikan klasik.
Yang lebih menarik, publik justru balik menyalahkan wali murid yang menuntut uang damai begitu besar. Beberapa tokoh masyarakat mempertanyakan motif di balik tuntutan yang mengarah pada pemerasan alih-alih mencari penyelesaian edukatif.
Di sisi lain, pihak madrasah juga menjadi sorotan. Minimnya kesejahteraan guru Madin seperti Zuhdi memperlihatkan wajah muram dunia pendidikan agama di daerah. Mereka mengajar lebih karena panggilan moral daripada profesi yang menjanjikan penghidupan layak. Negara tampaknya abai dalam memberi pengakuan yang setara bagi mereka yang mendidik anak-anak di jalur nonformal seperti madrasah diniyah.
Kasus ini pun berakhir seperti kisah sinetron yang lengkap dengan adegan dramatis dan penghujung yang bahagia. Denda terbayar, motor baru di garasi, tiket umrah di tangan. Bahkan Kiai Zuhdi mendadak populer sebagai sosok guru kampung yang dizalimi. Tapi benarkah selesai di situ?
Tidak. Apa yang terjadi pada Zuhdi adalah puncak dari gunung es rapuhnya sistem pendidikan di akar rumput. Negara gagal hadir dalam perlindungan hukum guru-guru yang menghadapi tantangan sosial, sekaligus dalam memperbaiki kesejahteraan mereka. Jika guru seperti Zuhdi mudah dilaporkan dan diperas, bagaimana nasib para pengajar lain yang tak memiliki jejaring bantuan publik?
Mungkin bagi Zuhdi, tamparan itu adalah bagian dari refleks seorang guru yang merasa harga dirinya diinjak. Tapi bagi negara, itu tamparan keras atas buruknya penghargaan kepada pendidik. Kita seperti lupa, guru di kampung tak sekadar mengajar, tapi juga menjadi penuntun moral dan perilaku.
Kini Zuhdi mungkin bisa tersenyum setelah badai berlalu. Tapi kita semua harus menatap ke depan: pendidikan tanpa kekerasan memang ideal, tapi tak berarti membunuh wibawa guru.
Di saat bersamaan, negara mesti lebih serius mengangkat derajat pengajar di madrasah dan pesantren. Jangan sampai kisah Zuhdi hanya menjadi bahan viral tanpa ada pembenahan nyata.
Jika tidak, selalu ada kemungkinan tamparan berikutnya, yang entah dari siapa, kepada siapa, dan berakhir dengan siapa yang paling kuat menarik perhatian media.
***
*) Oleh : Muhibbullah Azfa Manik, Dosen Program Studi Teknik Industri, Universitas Bung Hatta.
*) Tulisan Opini ini sepenuhnya adalah tanggung jawab penulis, tidak menjadi bagian tanggung jawab redaksi timesindonesia.co.id
*) Kopi TIMES atau rubrik opini di TIMES Indonesia terbuka untuk umum. Panjang naskah maksimal 4.000 karakter atau sekitar 600 kata. Sertakan riwayat hidup singkat beserta Foto diri dan nomor telepon yang bisa dihubungi.
*) Naskah dikirim ke alamat e-mail: [email protected]
*) Redaksi berhak tidak menayangkan opini yang dikirim apabila tidak sesuai dengan kaidah dan filosofi TIMES Indonesia.