Mengapa Pencatatan Pernikahan Harus Dilakukan? Ini Loh Urgensinya
Mia Della Vita July 20, 2025 09:34 AM

Grid.ID- Pernikahan adalah momen sakral yang menyatukan dua insan dalam ikatan lahir batin. Namun, di balik keindahan janji suci, terdapat aspek hukum yang tak kalah penting yakni pencatatan pernikahan.

Pencatatan ini bukan sekadar formalitas. Ini adalah langkah krusial untuk memastikan setiap pernikahan memiliki kekuatan hukum. Pencatatan juga menjamin perlindungan bagi setiap anggota keluarga yang terbentuk darinya.

Pernikahan merupakan ikatan lahir batin antara seorang laki-laki dan perempuan sebagai suami istri. Tujuan utama pernikahan adalah membentuk keluarga atau rumah tangga yang bahagia dan kekal. Ikatan ini didasarkan pada Ketuhanan Yang Maha Esa.

Di Indonesia, salah satu aturan yang mengatur masalah pernikahan adalah Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan. Undang-undang ini telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2019.

Melalui undang-undang ini, sebagaimana dikutip dari Kompas.com, Sabtu (19/7/2025), negara menjamin hak setiap warga negara untuk membentuk keluarga dan melanjutkan keturunan melalui perkawinan yang sah. Perkawinan yang sah yang dimaksud adalah dengan mencatatkannya kepada negara.

Pencatatan pernikahan dilakukan oleh pegawai pencatat nikah. Bagi yang beragama Islam, pencatatan dilakukan di Kantor Urusan Agama (KUA). Sementara itu, bagi non-muslim, pencatatan dilakukan di kantor Dinas Kependudukan dan Pencatatan Sipil (Disdukcapil).

Pasangan yang menikah harus mencatatkan pernikahannya kepada negara untuk mendapatkan akta nikah. Akta nikah ini berfungsi sebagai bukti pernikahan yang sah. Jika pernikahan tidak dicatatkan pada negara, maka dianggap tidak memiliki kekuatan hukum. Hal ini sebagaimana tertuang dalam Undang-Undang Perkawinan.

Undang-undang ini menyatakan, tiap pernikahan atau perkawinan dianggap sah. Syaratnya, jika dilakukan menurut agama dan kepercayaan masing-masing. Syarat lainnya, dicatat menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku.

Jadi, meskipun pernikahan tersebut sah secara agama, namun jika tidak dicatatkan secara negara, seperti nikah siri, maka akan tetap dianggap tidak sah di mata hukum. Pentingnya mencatatkan perkawinan juga tertuang dalam Kompilasi Hukum Islam (KHI).

Peraturan ini merupakan ketentuan tambahan bagi masyarakat yang beragama Islam. Berdasarkan KHI, setiap perkawinan harus dicatat agar terjamin ketertiban perkawinan bagi masyarakat.

Selain itu, setiap perkawinan juga harus dilangsungkan di hadapan dan di bawah pengawasan pegawai pencatat nikah. Pasal 6 Ayat 2 KHI berbunyi, “Perkawinan yang dilakukan di luar pengawasan pegawai pencatat nikah tidak mempunyai kekuatan hukum.”

Pernikahan yang tidak dicatat sesuai peraturan perundang-undangan merupakan perkawinan yang tidak sah di mata negara. Akibatnya, pernikahan tersebut tidak memiliki legalitas di mata hukum. Hak-hak suami, istri, serta anak-anak yang dilahirkan pun tidak memiliki jaminan perlindungan hukum.

Misalnya, hak istri untuk menuntut nafkaha tau, hak anak untuk mendapatkan warisan dari ayahnya. Selain itu, jika sesuatu terjadi dalam pernikahan tersebut, proses pertanggungjawaban tidak bisa dituntut secara optimal. Contohnya, jika terjadi kekerasan dalam rumah tangga (KDRT).

Undang-Undang KDRT yang ada tidak dapat dijadikan dasar untuk menjerat suami atau istri yang melakukan KDRT. Ini karena pernikahan tersebut dianggap tidak sah menurut hukum. Pada akhirnya, pernikahan yang tidak dicatatkan pada negara dapat merugikan salah satu pihak dalam perkawinan tersebut.

Dari sudut padang Islam,pencatatan nikah dalam melaksanakan pernikahan bagi umat Islam Indonesia adalah suatu kewajiban. Kiranya hal ini berdasarkan dengan apa yang disampaikan oleh para ulama.

Di antaranya Imam Al-Ghazali di dalam kitab Al-Iqtishâd fil I’tiqâd yang menuturkan:

الدين والسلطان توأمان، ولهذا قيل: الدين أس والسلطان حارس وما لا أس له فمهدوم وما لا حارس له فضائع

Artinya, “Agama dan pemerintah adalah dua saudara kembar. Karenanya dikatakan, agama adalah dasar dan pemerintah adalah penjaga. Apa yang tidak memiliki dasar akan roboh. Apa yang tidak memiliki penjaga akan sirna.”

KH Afifudin Muhajir dalam karyanya, Kitab Fathul Mujîbil Qarîb, juga mengatakan:

واعلم أن ما أمر به الامام ان كان واجبا تأكد وجوبه بالأمر وان كان مسنونا وجب وكذا ان كان مباحا فيه مصلحة عامة

Artinya, “Ketahuilah, sesungguhnya perintah seorang imam atau pemimpin, jika hal itu wajib maka menjadi semakin wajib. Jika itu sunah maka menjadi wajib. Apabila hal itu mubah, maka juga menjadi wajib selama mengandung kemaslahatan.”

Jadi, dapat disimpulkan bahwapencatatan nikah bukan hanya sebagai upaya untuk mewujudkan kemaslahatan rumah tangganya, tapi juga demi menaati pemerintah yang juga diperintahkan oleh agama. Kiai Afif, sebagaimana dikutip dari NU.co.id, menjelaskan pada mulanya pencatatan nikah hukumnya adalah mubah.

Boleh dilakukan dan boleh pula ditinggalkan. Namun, setelah undang-undang mengatur agar setiap pernikahan dicatat di KUA, maka kini hukum pencatatan tersebut berubah menjadi wajib.

Peraturan ini tidak hanya menegaskan bahwa pernikahan adalah perjanjian yang kuat, tapi juga demi menjaga hak-hak pasangan suami istri, terutama hak istri yang sering kali ditelantarkan. Regulasi pencatatan nikah adalah upaya dalam rangka menjaga dan mengawal keabsahan sebuah pernikahan menurut aturan yang ditetapkan agama. Ini juga untuk kemaslahatan keluarga yang didirikan.

Lalu bagaimana bila pernikahan hanya dilakukan secara siri, tanpa dicatatkan? Dalam proses pernikahan siri, tak ada pemeriksaan data.

Tanpa pencatatan nikah, setiap orang bisa mengaku masih perawan atau perjaka. Mereka juga bisa mengaku sudah duda atau janda. Tanpa pencatatan nikah, setiap orang bisa meminta pihak lain untuk mengaku sebagai wali pengantin wanita agar pernikahan sirinya bisa dilakukan sesuai kemauan.

© Copyright @2025 LIDEA. All Rights Reserved.