Siapa bilang kerbau tidak bisa berenang? Di daerah Danau Panggang, Kalimantan Selatan, semua kerbau kalang bisa berenang. Sehari-harinya tak merepotkan. Bahkan menurut I Gede Agung Yudana, ternak besar ini bisa memperkaya si empunya.
Tayang pertama di Majalah Intisari edisi Agustus 1991
---
Intisari hadir di WhatsApp Channel, follow dan dapatkan berita terbaru kami di sini
---
Intisari-Online.com -Dari kejauhan, salah satu sudut Kecamatan Danau Panggang, Kabupaten Hulu Sungai Utara, Kalimantan Selatan, tak ubahnya seperti padang rumput. Padahal sebenarnya terhampar rawa dengan kedalaman sekitar 2 m. Permukaannya memang penuh tanaman padi hiyan. Beberapa bagian saja tampak terbuka sebagai jalur-jalur berlalu-lalangnya perahu.
Di jalur ini terlihat dua jukung (perahu kecil) bermesin melaju kencang, masing-masing ditumpangi seorang pemuda. Kedua penumpang tersebut ternyata peternak kerbau rawa (Bubalus bubalis) yang sedang menuju kalang, tempat semua kerbau beristirahat malam.
Kandang panggung itu merupakan sekumpulan ancak yang terbuat dari kayu belangiran (Shore balangeran) yang terkenal tahan air, tidak licin, dan harganya cukup murah. Kayu berdiameter 10 - 20 cm tersebut disusun bersilang, sampai bagian atasnya menyembul sekitar 1 m di atas permukaan banyu rawa. Tiap lapis susunan kayu terdiri atas dua atau tiga potong. Jumlah ancak yang disatukan menjadi satu kalang tergantung pada jumlah kerbau yang dipelihara. Sebagai patokan, sebuah ancak berukuran 5 x 5 m dapat menampung 10 ekor kerbau.
Kalang-kalang milik peternak yang berikatan keluarga, biasanya berkelompok. Jarak tiap kalang tak kurang dari 500 m. Tapi, ada pula satu dua peternak yang memelihara kerbau dalam satu kalang. Di atas "ranjang" massal inilah, kerbau-kerbau rawa melepas lelah setiap malam, sehingga para peternak menyebutnya kerbau kalang.
Mulus, bersih tanpa daki
Pada usia anak-anak (biasanya disebut gudel), kerbau kalang berbulu lebat warna coklat. Setelah beranjak dewasa kulit kepala, badan, dan ekornya semakin hitam kebiru-biruan sampai keabu-abuan, dengan bulu relatif jarang tetapi tetap berwarna coklat. Sedangkan kulit kakinya berwarna putih. Ternak besar ini berbadan pendek dengan lingkar perut besar. Tanduk cenderung datar melengkung ke belakang. Kaki relatif pendek, namun memiliki teracak lebar yang cukup membantu saat menginjak tanah lembek atau saat berenang. Maklum saja, sebagian besar hari-harinya dilewatkan dalam air.
Begitu mentari pagi mengintip bumi Danau Panggang, peternak datang membuka gerbang kalang. Kerbau pun antre turun ke rawa dan berenang menuju rawa penggembalaan. Hanya induk yang baru melahirkan dan anaknya saja yang tetap tinggal di bagian kalang berbentuk kandang. Sewaktu perut keroncongan, sang induk turun mencari pakan. Tapi tak jauh dari kalang, karena harus segera pulang untuk memberi air susu pada anaknya. Kelak setelah cukup kuat, barulah si gudel diizinkan belajar berenang dan mencari pakan bersama induknya.
Sementara itu, pasukan kerbau semakin jauh menyusuri rawa meninggalkan kalang. Mereka baru berhenti kalau menemukan dasar rawa yang dangkal. Tempat ini bisa terlihat dari kalang, bisa pula sampai berkilo-kilometer jauhnya. Di sana, si ternak besar menikmati hidangan padi hiyan gratis dan swalayan.
Menurut H. Yusran dan H. Basra, peternak kerbau kalang dari Desa Bururawa, padi hiyan muda merupakan menu paling istimewa dan disukai ternak air itu. Dengan pakan jenis itu saja, pertumbuhan mereka cukup baik dan hampir tak ada yang kelihatan tulang rusuknya. Dengan pakan tak berkualitas, mereka memang mampu tumbuh paling tidak sama dengan sapi. Namun, kalau dikurung dalam kandang dengan pakan yang "empat sehat lima sempuma" sekalipun, mereka sulit tumbuh secepat kaum sapi pedaging.
Di tempat penggembalaan, mereka bisa berteman dengan burung bangau yang hinggap di punggungnya. Atau, berkumpul dengan rekan serumpun dari kalang tetangga. Bila di antara mereka ada yang saling tertarik, pendekatan pun dilakukan. "Biasanya kerbau jantan yang mau kawin mengikuti terus kerbau betina yang dicintcrinya," tutur H. Basra, pemilik sekitar 100 ekor kerbau. Kalau sudah cocok dan sang betina memang sedang estrus (berahi), berintim-intimlah mereka.
Bila senja tiba, mereka kembali ke kalang masing-masing. Di kalang, peternak atau salah seorang anggota keluarganya sudah siap menunggu kedatangan satwa bertanduk itu. Tanpa kawalan, mereka berbaris mendekati sang juragan. Tetapi kalau terpaksa harus digiring, untuk seratus ekor paling-paling hanya perlu dua orang saja.
Dengan badan basah kuyup, hewan bertanduk itu bergiliran menaiki tangga gerbang kalang. Karena waktu mereka habiskan di dalam air dan pulang pun harus berenang, badan mereka mulus, bersih tanpa daki. Kalau ada kerbau dari kalang tetangga nyasar, terpaksa ia harus kembali ke kalangnya sendiri akibat halauan peternak pemilik kalang. "Nilai kejujuran di sana memang dijunjung tinggi oleh para peternak," tutur Ir. Supriadi A. Dakhlan, kepala cabang Dinas Peternakan Kabupaten Hulu Sungai Utara di Amuntai.
Yang bunting tua dicekal
Para peternak mengetahui pemilikan kerbau dari sayatan yang mereka buat di telinga kerbau. Bisa di salah satu telinga saja, bisa pula pada keduanya. Namun, tanda itu sebenarnya bisa pula berupa cap pada pantat dengan menggunakan "stempel" besi yang dipanaskan atau didinginkan pada N2 cair atau CO2 kering, cap pada tanduk dengan memakai besi panas, atau tato pada permukaan dalam telinga atau ekor.
Penyayatan tadi bukan sebagai penomoran seperti pada peternakan besar. Untuk keperluan penomoran, sayatan biasanya berbentuk "V". Letaknya tidak sembarangan, karena sayatan di tempat tertentu pada pinggir daun telinga itu menunjukkan angka tertentu pula. Sebaliknya, bentuk irisan tanda kepemilikan kerbau kalang berbeda-beda untuk masing-masing peternak. Umpamanya satu, dua, sampai empat iris, potongan segitiga, potongan berbentuk huruf "M", atau belahan bagian ujung. Kalau pun ada yang memiliki tanda sama (mungkin karena antarpeternak pernah melakukan jual-beli), pemilik bisa mengenali kerbau dari wajahnya.
Penyayatan telinga dilakukan sendiri oleh peternak ketika kerbau masih sebagai gudel. Kalau ia lahir saat air pasang tentu ditandai sesegera mungkin, karena ia pasti dilahirkan di kalang. Pada musim hujan, induk kerbau yang bunting tua (mendekati 10 bulan) memang termasuk dalam daftar cekal (cegah tangkal) peternak. Maklum saja, rata-rata kerbau melahirkan setelah umur kandungannya 10 bulan 10 hari. Sebaliknya, gudel yang lahir di perantauan waktu musim kemarau ditandai setelah rombongan kerbau pulang kampung. Jadi, bisa setelah ia berumur seminggu atau lebih tua.
Siasat itu digunakan karena pada musim kemarau kerbau susah ditangkap. Mereka lepas bebas tanpa pulang ke kalang kala petang. Pada siang hari, hewan itu akan bersembunyi di hutan terdekat atau berendam di daerah berair. Mereka memang tak tahan panas. Bila berada di bawah terik matahari sampai berjam-jam, mereka bisa kehilangan panas tubuh dan mungkin nyawanya bisa melayang. Pada sore atau malam harinya gerombolan temak itu mencari pakan.
Pada masa bebas itu, kaum kerbau dari berbagai desa bisa bercampur jadi satu. Kerbau "gadis" pun (yang telah berumur tiga tahun ke atas) bisa bermalam pertama di kamp pengungsian itu dengan "perjaka" seumur dari desa seberang.
Seminggu sekali atau paling jarang sebulan sekali, mereka ditengok sang peternak. Seandainya saat itu ada kerbau yang beranak, penjenguk harus berhati-hati. Kalau tidak, bisa-bisa induk yang masih dalam masa nifas itu (biasanya 40 hari) mengamuk seperti yang pernah menimpa seorang peternak. Waktu itu, dia membesuk kerbaunya di hutan, tanpa sengaja dia mendekati anak kerbau yang baru berumur beberapa hari. Kontan saja sang induk yang berada sekitar 20 m dari anaknya itu mengejar. Si empunya terpaksa memanjat pohon. Namun, induk kerbau itu tetap garang dan menyeruduk pohon berkali-kali.
Tabiat kerbau rawa di sana memang tak semuanya jinak, ada beberapa ekor yang buas. Kerbau yang galak biasanya takut pada tongkat panjang yang biasa dipakai menghalau mereka sejak kecil. "Kalau mau menyeruduk, angkat saja tongkat, dia akan mundur,” kata H. Karani, pemilik 60 ekor kerbau.
Selain sifat, potongan bodi kerbau rawa juga beragam. Dari pengamatan Ir. Supriadi, kerbau rawa terbagi atas tiga tipe, yakni berkepala besar, berpotongan seperti kerbau biasa, serta yang berleher dan berbadan agak panjang. Tipe terakhir ini lebih mahal serta banyak dijumpai di daerah yang berawa agak dalam.
Mungkin karena lingkungan hidup yang demikian, mereka terpaksa berenang dengan kepala menyembul di atas permukaan air. Akhirnya, leher dan badannya menjadi relatif lebih panjang.
Bagaimanapun model kerbau rawa itu, mereka sangat berjasa mengangkat status sosial ekonomi peternaknya. Beberapa dari mereka malah memiliki rumah di beberapa kota di Kalimantan Selatan. Atau, menunaikan rukun Islam kelima, naik haji. Menurut H. Basra, naik haji sampai tiga-empat kali sudah menjadi hal yang biasa. Semuanya hanya bermodalkan kerbau. Itulah kerbau kalang, ternak kebanggaan yang berwajah jelek, tak banyak menuntut, tapi bisa memenuhi tuntutan banyak perut.