TRIBUNNEWS.COM - Persatuan Bangsa-Bangsa (PBB) menggelar konferensi solusi dua negara yang bertujuan untuk memberikan perdamaian untuk Palestina dan Israel.
Konferensi solusi dua negara tersebut dijadwalkan berlangsung selama tiga hari di markas PBB di News York dan dimulai pada Senin, 28 Juli 2025 malam.
Agenda tersebut dihadiri oleh 125-145 perwakilan negara anggota PBB.
Dikoordinasikan bersama oleh Kerajaan Arab Saudi dan Prancis, konferensi ini menjadi momen bersejarah untuk menghidupkan kembali solusi dua negara dan mengakhiri pendudukan Israel atas wilayah Palestina.
Perdana Menteri Palestina, Mohamed Mustafa, dalam pidatonya menegaskan, konferensi ini membawa janji nyata kepada rakyat Palestina untuk mengakhiri ketidakadilan sejarah yang mereka alami.
Ia menyebut agresi Israel di Jalur Gaza sebagai manifestasi paling brutal dari ketidakadilan tersebut dan menyerukan aksi nyata dari komunitas internasional.
"Konferensi ini adalah pesan kuat bahwa dunia mendukung hak-hak kami untuk hidup bebas, bermartabat, dan mendirikan negara berdaulat," ujar Mustafa.
Ia menambahkan, perdamaian hanya bisa dicapai melalui kemerdekaan, pemenuhan hak, dan melalui penghentian pendudukan, bukan perpanjangan konflik, kehancuran, dan penolakan hak-hak Palestina.
Mustafa menggarisbawahi perlunya penyatuan Jalur Gaza dengan Tepi Barat, termasuk Yerusalem Timur, tanpa adanya pendudukan, pengepungan, permukiman ilegal, atau aneksasi.
Ia menyampaikan kesiapan pemerintah Palestina untuk mengambil alih seluruh tanggung jawab pemerintahan di Gaza, serta menyerukan kepada Hamas untuk menghentikan kontrol bersenjata mereka dan menyerahkan senjata kepada Otoritas Palestina.
Ia juga menyampaikan dukungan terhadap usulan pengerahan pasukan internasional di bawah mandat Dewan Keamanan PBB untuk menjaga stabilitas dan mendukung transisi damai.
Dalam seruannya, Mustafa menekankan pentingnya penghentian segera perang di Gaza, pembebasan sandera dan tahanan, serta penarikan penuh pasukan pendudukan Israel.
Pemerintah Palestina, kata Mustafa, siap melakukan reformasi besar demi membangun lembaga yang kuat dan transparan.
Ia juga menyampaikan apresiasi kepada Arab Saudi dan Prancis atas kepemimpinan mereka, serta kepada Sekretaris Jenderal PBB, Antonio Guterres, dan badan-badan internasional atas komitmen mereka, lapor Al Jazeera.
Amerika Serikat (AS) yang merupakan salah satu anggota pemegang hak veto di PBB, mendukung sekutunya, Israel, yang mengecam konferensi solusi dua negara di PBB.
Selain AS, ada Rusia, China, Prancis, dan Inggris yang memegang hak veto di PBB sehingga mereka dapat membatalkan atau menggagalkan keputusan Dewan Keamanan meskipun seluruh anggota lainnya setuju.
Dalam konferensi solusi dua negara di PBB kemarin, para anggota belum menghasilkan kesepakatan formal atau perjanjian bilateral untuk Palestina dan Israel.
AS menanggapi dengan meremehkan konferensi PBB yang disponsori Prancis-Saudi yang bertujuan mendukung solusi dua negara, dan menyebutnya sebagai aksi propaganda.
Departemen Luar Negeri AS menggambarkan konferensi tiga hari itu sebagai agenda yang tidak produktif dan tidak tepat waktu.
Menurut AS, itu hanyalah aksi propaganda yang akan menggagalkan upaya perdamaian.
Dalam sebuah pernyataan, Kementerian Luar Negeri menganggap langkah diplomatik ini sebagai hadiah untuk Hamas dan juga menganggap janji Presiden Prancis, Emmanuel Macron, untuk mengakui negara Palestina kontraproduktif.
Macron minggu lalu mengatakan Prancis akan segera mengakui negara Palestina pada bulan September di pertemuan tahunan para pemimpin dunia di Majelis Umum PBB.
Duta Besar Israel untuk PBB, Danny Danon, mengomentari mengenai konferensi tersebut.
"Konferensi ini tidak menawarkan solusi, melainkan memperdalam ilusi. Alih-alih menuntut pembebasan para sandera dan berupaya membongkar rezim teror Hamas, para penyelenggara konferensi justru terlibat dalam diskusi dan sidang pleno yang tidak relevan dengan kenyataan," kata Danny Danon, lapor The Times of Israel.
Arab Saudi dan Prancis mensponsori konferensi solusi dua negara di PBB.
Menteri Luar Negeri Arab Saudi, Pangeran Faisal bin Farhan, menyebut konferensi ini sebagai langkah strategis menuju perdamaian abadi.
Ia memuji keputusan Prancis untuk mengakui Negara Palestina pada September mendatang dan menyerukan semua negara lain untuk mengikuti langkah tersebut.
"Perdamaian di kawasan dimulai dengan memberikan keadilan kepada rakyat Palestina dan mendirikan negara merdeka dengan Yerusalem Timur sebagai ibu kota," ujarnya.
Ia juga menegaskan kembali pentingnya Prakarsa Perdamaian Arab 2002 sebagai dasar penyelesaian konflik yang adil dan komprehensif.
Menteri Luar Negeri Prancis, Jean-Noël Barrot, menekankan konferensi ini harus menjadi titik balik dalam implementasi solusi dua negara.
Ia menyoroti, perang di Gaza sudah berlangsung terlalu lama dan menyebabkan penderitaan yang tak tertahankan bagi warga sipil.
Ia menyerukan gencatan senjata segera dan pembebasan semua sandera tanpa syarat.
Barrot menyatakan partisipasi luas negara-negara dalam konferensi ini mencerminkan konsensus global yang semakin kuat terhadap perlunya solusi dua negara sebagai jalan keluar dari konflik.
Sekretaris Jenderal PBB, Antonio Guterres, dalam pidatonya memperingatkan dunia kini berada di titik kritis.
Ia menegaskan solusi dua negara adalah satu-satunya kerangka kerja yang sah dan kredibel untuk perdamaian jangka panjang antara Israel dan Palestina.
Ia menyoroti penderitaan ekstrem di Gaza, termasuk kelaparan, pembunuhan massal warga sipil, dan penghancuran infrastruktur.
Antonio Guterres juga mengecam rencana aneksasi bertahap Israel di Tepi Barat, menyebutnya ilegal dan harus segera dihentikan.
Konferensi ini menghasilkan dokumen akhir yang disebut sebagai peta jalan bersama menuju solusi dua negara, termasuk langkah-langkah praktis dan tenggat waktu jelas untuk mengakhiri pendudukan serta mewujudkan negara Palestina merdeka di perbatasan tahun 1967 dengan Yerusalem Timur sebagai ibu kota.
PBB telah lama mendukung visi dua negara yang hidup berdampingan dalam batas-batas yang aman dan diakui.
Majelis Umum PBB pada Mei tahun 2024 dengan suara mayoritas mendukung upaya Palestina untuk menjadi anggota penuh PBB dengan mengakui Palestina memenuhi syarat untuk bergabung dan merekomendasikan Dewan Keamanan PBB untuk mempertimbangkan kembali masalah ini secara positif.
Resolusi tersebut memperoleh 143 suara mendukung dan sembilan suara menentang.
Pemungutan suara Majelis Umum merupakan survei global untuk mendukung upaya Palestina menjadi anggota penuh PBB, sebuah langkah yang secara efektif akan mengakui negara Palestina, setelah AS memvetonya di Dewan Keamanan PBB beberapa minggu sebelumnya, lapor Reuters.
PBB pertama kali mengusulkan solusi dua negara melalui Resolusi Majelis Umum PBB No. 181 pada tahun 1947.
Resolusi tersebut menyerukan pembagian wilayah Palestina menjadi dua, yaitu untuk Yahudi yang ingin mendirikan Israel dan orang-orang pribumi yang ingin memerdekakan Palestina, serta Yerusalem menjadi zona internasional di bawah pengawasan PBB.
Usulan tersebut dilatarbelakangi oleh pendudukan Inggris di Palestina setelah Perang Dunia I sekitar tahun 1917 ketika Kekaisaran Ottoman kalah dan menyerahkan Palestina.
Di bawah mandat Inggris, Palestina menghadapi gelombang pengungsi Yahudi yang berdatangan setelah munculnya Deklarasi Balfour tahun 1917 yang menyerukan pendirian "rumah untuk Yahudi" di Palestina.
Gelombang imigran Yahudi semakin meningkat menjelang Perang Dunia II ketika mereka menghadapi ancaman persekusi oleh Nazi Jerman.
Pada 14 Mei 1948, David Ben-Gurion, pemimpin Dewan Nasional Yahudi, membacakan Deklarasi Kemerdekaan Israel di Tel Aviv — tepat beberapa jam sebelum mandat Inggris atas Palestina resmi berakhir.
Imigran Yahudi kemudian melakukan pengusiran terhadap warga Palestina dan mengambil rumah-rumah mereka setelah deklarasi tersebut, menduduki lebih banyak wilayah.
Deklarasi tersebut memicu konflik bersenjata dengan negara-negara Arab tetangga yang mendukung orang-orang pribumi Palestina yang mayoritas merupakan bangsa Arab.
PBB mengambil peran untuk menengahi masalah tersebut dan mengusulkan solusi dua negara pada tahun 1947, dikutip dari UN.
Palestina menginginkan sebuah negara di Tepi Barat, Yerusalem Timur, dan Jalur Gaza, semua wilayah yang direbut Israel dalam perang tahun 1967 dengan negara-negara Arab tetangga.
Namun, hal itu tidak kunjung terwujud selama beberapa dekade berikutnya dan konflik dengan pendudukan Israel semakin memanas, di mana Israel mendapat dukungan penuh dari Amerika Serikat.
Hingga pada 7 Oktober 2023, kelompok perlawanan Palestina, Gerakan Perlawanan Islam (Hamas), meluncurkan Operasi Banjir Al-Aqsa dengan menyerang pertahanan militer Israel di wilayah selatan.
Israel meluncurkan serangan mematikan sejak saat itu, menewaskan lebih dari 59.733 warga Palestina dan melukai 144.477 lainnya dalam perang genosida Israel di Jalur Gaza, menurut data Kementerian Kesehatan pada hari Sabtu (26/7/2025).
(Yunita Rahmayanti)