Kejagung Akui Penegakan Hukum Terkait Kasus Perdagangan Orang Belum Optimal
GH News July 30, 2025 07:06 PM

Kejaksaan Agung mengakui penegakan hukum dalam kasus Tindak Pidana Perdagangan Orang (TPPO) di Indonesia belum optimal. 

Jaksa Agung Muda Bidang Tindak Pidana Umum (Jampidum) Nana Mulyana mengatakan masih banyak kekurangan soal bagaimana TPPO di ditegakkan secara hukum.

"Kekurangan di sana di sini, keterbatasan di sana di sini, kami harus akui itu. Kaitan tadi, kita fokus masih pada orang, pada pelaku saja," kata Nana dalam diskusi di Kompleks Parlemen Senayan, Jakarta, Rabu (30/7/2025).

Dia mengatakan korban TPPO hanya dijadikan sebagai alat bukti saja tanpa ada tindak lanjut setelah rangkaian proses persidangan.

"Begitu selesai, tinggalkan begitu saja. Bagaimana penanganan pasca, kejahatan. Itu juga kan bukan bagian mudah. Padahal sejajarnya bagaimana memulihkan," kata Nana.

Karena itulah, Nana menyarankan Indonesia memperkuat konsep victim impact statement, di mana negara bisa memberikan keadilan  korban TPPO.

"Yang di Amerika sudah populer, Finlandia, Australia, Korea Selatan, yang benarbenar peduli terhadap bagaimanabagaimana terhadap (korban) TPPO itu," tandasnya.

Dilansir Harian Kompas, Dalam kurun waktu 20142025, Serikat Buruh Migran Indonesia mendokumentasikan sedikitnya 22 kasus tindak pidana perdagangan orang yang menyasar pekerja migran.

Kasus ini sudah dilaporkan ke beberapa instansi kepolisian, tetapi belum menunjukkan perkembangan yang berarti.

Beberapa kasus di antaranya telah berusia lebih dari satu dekade dan terancam kedaluwarsa.

Pada saat yang sama, hak restitusi (ganti rugi) yang telah diputus oleh berbagai pengadilan tidak kunjung dieksekusi oleh kejaksaan.

Kasus tersebut antara lain terjadi di sektor awak kapal perikanan migran, pekerja rumah tangga migran, penempatan nonprosedural melalui lembaga pelatihan kerja, dan eksploitasi dalam jaringan penipu daring. 

Ketua Umum Serikat Buruh Migran Indonesia (SBMI) Hariyanto Suwarno, dalam konferensi pers, Rabu (30/7/2025), di Jakarta, mengatakan, setiap 30 Juli diperingati sebagai Hari Antiperdagangan Manusia.

SBMI menyebutnya sebagai hari resolusi bagi korban dan pendampingnya.

SBMI mendorong keadilan bagi pekerja migran yang menjadi korban tindak pidana perdagangan orang tetap dikedepankan oleh negara. 

Pada laporan pendampingan SBMI berjudul ”Menjadi Korban Berulang Kali, Mengungkap Realita Lemahnya Penegakan Hukum Kasus Perdagangan Orang” pada 2023, terdapat sekitar 17 laporan kepolisian mengenai tindak pidana perdagangan orang (TPPO). 

Jumlah korban mencapai 108 orang yang proses penyelidikan dan penyidikannya berlarutlarut.

Berdasarkan Catatan Tahunan SBMI pada 2024, terdapat 251 pekerja migran Indonesia yang terindikasi menjadi korban perdagangan orang dari berbagai sektor. Data ini diambil dari hasil pendampingan SBMI. 

”Laporan laporan yang kami buat tidak kunjung menunjukkan kasus selesai. Korban dihina di ruang sidang dan hak restitusi tidak pernah dibayar. Situasi seperti itu bukan sekadar kelalaian, melainkan pengabaian,” ujar Hariyanto.

Dalam laporan SBMI berjudul ”Suara Korban dan Pendamping dalam Kasus TPPO” yang dirilis pada hari yang sama mengungkap hasil dokumentasi proses persidangan kasus TPPO di wilayah pengadilan negeri Serang (Banten), Pemalang (Jawa Tengah), Sukadana (Lampung Timur), Malang (Jawa Timur), dan Indramayu (Jawa Barat) sepanjang 2025. 

Di wilayah pengadilan negeri Pemalang, misalnya, saat ini sedang ada penanganan kasus eksploitasi sistemik terhadap 58 calon awak kapal perikanan migran. Mereka semula dijanjikan pekerjaan dan gaji tinggi.

Namun, mereka justru berada di tempat penampungan berbulanbulan, dokumen identitas dimanipulasi, dipaksa bayar denda, dan tidak ada pendamping sejak kasus ditangani kepolisian. 

Kepolisian setempat tidak melibatkan Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK) sejak awal kasus.

Akhirnya, LPSK hanya menerima 8 dari 58 korban yang akan mendapat hak restitusi. 

Sementara itu, wilayah pengadilan negeri Malang saat ini sedang menangani kasus perekrutan ilegal sejumlah calon pekerja migran Indonesia oleh perusahaan yang mengatasnamakan PT NSP Cabang Malang. 

Perusahaan pemberangkatan pekerja migran ini belum terdaftar di sistem perizinan nasional.

Calon pekerja ini sudah dieksploitasi sejak prapemberangkatan.

Tidak ada komunikasi mengenai perkembangan kasus dari satuan tugas TPPO Malang. 

Hariyanto menyarankan agar pemerintah dan DPR segera mengakomodasi hakhak pekerja migran korban TPPO dalam rancangan undangundang Kitab Undangundang Hukum Acara Pidana (KUHAP) yang berorientasi terhadap pemenuhan hak.

Selanjutnya, kepolisian bersama Kejaksaan Agung dan Mahkamah Agung perlu menerbitkan panduan bersama penanganan kasus TPPO pada pekerja migran. 

”Panduan ini harus menjelaskan penggunaan UU Nomor 21 Tahun 2007 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang dan UU Nomor 18 Tahun 2017 tentang Pelindungan Pekerja Migran Indonesia secara terpadu,” kata Hariyanto.

Pelaksana Tugas Direktur Eksekutif Institute for Criminal Justice Reform (ICJR) Maidina Rahmawati, yang hadir saat acara sama, mengatakan, ICJR menganalisis 38 putusan di tingkat Mahkamah Agung (MA) dengan dakwaan ataupun tuntutan UU Nomor 21 Tahun 2007.

Hasilnya, semua berkaitan dengan kerja paksa, baik di dalam negeri maupun migran. 

Dari 38 perkara yang diindeksasi, 71 persen atau mayoritas terdakwa yang diadili bukan merupakan pelaku utama, melainkan perantara.

Proses penegakan hukum menjerat pihak yang tidak memperoleh keuntungan paling besar. 

Sebanyak 33 dari 38 putusan di tingkat MA tersebut terjadi tanpa pendampingan korban.

Hanya 2 dari 38 putusan itu yang menyertakan perampasan aset untuk kepentingan pembayaran restitusi korban, tetapi tanpa operasionalisasi. 

”Dilihat dari aspek hak restitusi, dari 38 putusan, sebanyak 26 perkara tanpa tuntutan restitusi bagi korban. Lalu, ada 12 perkara dengan tuntutan restitusi dan 10 dengan putusan restitusi,” ujar Maidina. 

Kesimpulan ICJR dari hasil menganalisis 38 putusan itu, dia menyampaikan, masalah terbesar peradilan pidana terletak pada proses yang tidak akuntabel.

Korban TPPO bukan bagian penting sehingga tidak memiliki ruang komplain sama sekali. 

Saat melakukan audiensi dengan Jaringan Nasional AntiTPPO dan Menteri Sosial, Selasa (29/7/2025), Wakil Menteri Pelindungan Pekerja Migran Indonesia/BP2MI Christina Aryani mengatakan, kasus TPPO sering kali bermula dari pemberangkatan pekerjaan migran secara nonprosedural atau ilegal. 

Kementerian Pelindungan Pekerja Migran Indonesia/BP2MI sudah bekerja sama dengan aparat penegak hukum untuk meneguhkan komitmen Kementerian Pelindungan Pekerja Migran memberantas TPPO. 

”Kami menggandeng tujuh polda yang wilayahnya sering terjadi pemberangkatan pekerja migran secara ilegal. Selama sembilan bulan terakhir, kami berhasil menyelamatkan 4.822 calon pekerja migran Indonesia dari pemberangkatan ilegal,” ujarnya. 

Menteri Sosial Syaifullah Yusuf menyebut, kementeriannya siap melayani kebutuhan korban TPPO. Lebih dari 4.000 korban TPPO selama 20232024 ditangani oleh Kementerian Sosial bersama Kementerian Pelindungan Pekerja Migran Indonesia/BP2MI dan Kementerian Kesehatan, mulai dari urusan rehabilitasi medis, sosial, hingga pemberdayaan. 

© Copyright @2025 LIDEA. All Rights Reserved.