Jaksa Tuntut Hak Politik Mbak Ita dan Alwin Dicabut Selama 2 Tahun: "Tidak Masalah, Sudah Sepuh"
raka f pujangga July 31, 2025 12:30 AM

TRIBUNJATENG.COM,SEMARANG - Jaksa Penuntut Umum (JPU) dari KPK menuntut pencabutan hak politik dua terdakwa kasus korupsi Hevearita Gunaryati Rahayu atau Mbak Ita dan suaminya Alwin Basri selama dua tahun.

Permintaan tuntutan itu dibacakan JPU dalam sidang dengan agenda tuntutan di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) Semarang, Rabu (30/7/2025) petang. 

"Menjatuhkan pidana tambahan berupa mencabut hak terdakwa 1 Hevearita Gunaryati Rahayu dan terdakwa 2 Alwin Basri untuk tidak menduduki jabatan publik selama dua tahun terhitung sejak para terdakwa selesai menjalani masa pemidanaan," ujar  jaksa KPK, Wawan Yunarwanto.

Menanggapi hal itu, Kuasa Hukum Kedua Terdakwa, Agus Nurudin mengatakan tuntutan jaksa terkait hal tersebut tidaklah masalah. 

Sebab, para terdakwa selepas keluar dari penjara nanti juga sudah lanjut usia. 

"Klien saya sudah sepuh, tidak ada keinginan ke arah situ," terangnya.

Jalannya Persidangan

Terdakwa kasus korupsi dan suap Hevearita Gunaryati Rahayu atau Mbak Ita dan suaminya Alwin Basri menjalani sidang agenda tuntutan dari Jaksa Penuntut Umum (JPU) di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) Semarang, Rabu (30/7/2025).

Dalam persidangan itu, Ita dituntut 6 tahun penjara sedangkan Alwin dituntut dengan lebih berat yakni 8 tahun penjara.

"Terdakwa 1 Hevearita Gunaryati Rahayu dituntut selama 6 tahun penjara denda Rp500 juta subsider 6 bulan kurungan penjara. Sementara Terdakwa dua Alwin Basri dituntut 8 tahun penjara denda Rp500 juta subsider kurungan penjara selama 6 bulan," terang Jaksa Penuntut Umum dari KPK, Wawan Yunarwanto.

Ita juga dituntut jaksa membayar ganti rugi negara sebesar Rp683 juta.

Ketika terdakwa tidak membayar maka harta benda akan disita atau pengganti pidana selama 1 tahun.

Aturan serupa dikenakan untuk terdakwa Alwin. Perbedaannya Alwin diminta oleh jaksa membayar kerugian negara sebesar Rp1 miliar.

Alwin saat mangkir membayar maka akan diganti hukuman penjara selama 2 tahun.

"Kewajiban membayar kerugian negara itu paling lambat  1 bulan selepas putusan pengadilan berkekuatan hukum tetap," terang Jaksa.

Jaksa dalam sidang tuntutan tersebut membacakan dokumen tuntutan sebanyak 1.741  halaman.

Namun, ada beberapa lembar halaman dianggap dibacakan. Jaksa sampai butuh waktu hampir 4 jam untuk membacakan dakwaan yang dilakukan secara bergantian.

Dokumen tersebut berisi 3 pokok dakwaan meliputi pengaturan proyek penunjukan langsung (PL) pada tingkat kecamatan 2023.  

Alwin diduga menerima uang suap sebesar Rp2 miliar dari ketua Gabungan Pelaksana Konstruksi Nasional Indonesia (Gapensi) Semarang Martono.

Dakwaan berikutnya berupa pengadaan meja kursi fabrikasi SD di Dinas Pendidikan Kota Semarang pada 2023, kedua terdakwa diduga keduanya diduga menerima uang sebesar Rp1,7 miliar.

Uang tersebut berasal dari Direktur Utama PT Deka Sari, Rachmat Utama Djangkar.

Martono dan Djangkar ikut pula dicocok oleh KPK dengan persidangan yang dilakukan terpisah.

Selain itu, jaksa merincikan pula terkait uang yang diterima oleh kedua terdakwa dari Kepala Bapenda Kota Semarang Indriyasari sebesar Rp1 miliar yang sudah dikembalikan oleh para terdakwa ke saksi dalam bentuk dolar Singapura.

Uang yang dikembalikan dari para terdakwa bersumber dari Iuran Kebersamaan yakni penyisihan uang dari pegawai Bapenda yang mendapatkan bonus upah pungut pajak setiap tiga bulan sekali.

"Kedua terdakwa terbukti telah menyakinkan bersalah melakukan tindakan korupsi tersebut," beber Yunawarto.

Dari dakwaan itu, Yunawarto merinci terdakwa terbukti melanggar Pasal  Pasal 12 huruf a Jo. Pasal 18 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi jo Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP Jo Pasal 65 ayat (1) KUHP.

Dakwaan kedua, para terdakwa melanggar pidana yang diatur dalam Pasal 11 Jo. Pasal 18 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi jo Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP Jo Pasal 65 ayat (1) KUHP.

Dakwaan ketiga, para terdakwa melanggar sebagaimana diatur dan diancam pidana dalam Pasal 12 huruf f Jo. Pasal 18 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi jo Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP Jo Pasal 64 ayat (1) KUHP.

"Hal yang memberatkan para terdakwa tidak mendukung pemerintahan yang bersih dari korupsi. Sebaliknya, hal meringankan kedua terdakwa sopan selama persidangan dan belum pernah dihukum," terang Jaksa Yunawarto.

Merasa Keberatan

Selepas jaksa membacakan tuntutan, Ketua Majelis Hakim Gatot Sarwadi memberikan kesempatan kepada para terdakwa untuk bertanya.

Namun, kedua terdakwa sudah memahami tuntutan tersebut.

Hakim Gatot lalu menyebut agenda sidang berikutnya bakal dilakukan pada Rabu, 6 Agustus 2025 dengan agenda pembacaan pledoi atau nota pembelaan dari kedua terdakwa.

Sementara itu, Kuasa Hukum Kedua Terdakwa, Agus Nurudin mengatakan, tuntutan jaksa terhadap para terdakwa dinilai terlalu berat. 

"Kalau bisa nanti ketika putusan hakim bisa bebas," katanya selepas sidang, Rabu (30/7/2025) petang.

Terkait persiapan sidang pledoi, pihaknya bakal menguraikan bantahan yang berhubungan dengan dakwaan dari jaksa seperti uang dari Martono, Rachmat Djangkar dan Indriyasari.

"Kami buktikan bahwa para terdakwa tidak pernah menerima," tandasnya. (Iwn)

© Copyright @2025 LIDEA. All Rights Reserved.