Jakarta (ANTARA) - Mahkamah Konstitusi diminta untuk mengecualikan jurnalis, akademisi, hingga pelaku seni dari larangan pengungkapan data pribadi yang diatur dalam Pasal 65 ayat (2) dan Pasal ayat (2) Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2022 tentang Pelindungan Data Pribadi (PDP).

Permintaan itu dimohonkan oleh koalisi masyarakat sipil Kebebasan Informasi dan Data Pribadi (SIKAP) yang terdiri atas LBH Pers, Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat (Elsam), AJI Indonesia, SAFEnet, akademisi, serta pegiat seni.

Direktur LBH Pers Mustafa saat ditemui usai mendaftarkan permohonan uji materi di Gedung MK, Jakarta, Rabu, mengatakan norma kedua pasal yang dipersoalkan terlalu luas sehingga bisa menjerat siapa pun, termasuk jurnalis, akademisi, dan seniman.

"Itu sangat luas cakupannya, jadi siapa pun, bahkan tidak perlu menunggu ada dampak. Saat saya, misalnya, mengungkap data pribadi nama atau foto orang yang teridentifikasi sama orang tanpa menunggu dampak, tidak melihat niat orang itu apa, itu bisa (dipidana)," kata Mustafa.

Pasal 65 ayat (2) Undang-Undang PDP berbunyi "Setiap Orang dilarang secara melawan hukum mengungkapkan Data Pribadi yang bukan miliknya", sementara Pasal 67 ayat (2) mengatur ketentuan pidananya.

Setiap orang yang dengan sengaja dan melawan hukum melanggar Pasal 65 ayat (2) diancam dengan pidana penjara paling lama 4 tahun dan/atau pidana denda paling banyak Rp4 miliar.

Menurut Mustafa, norma pasal tersebut bersifat karet sebab apabila pemilik data marah ketika merasa data pribadinya diungkap, termasuk dalam kerja-kerja jurnalistik, seni, dan penelitian, orang yang bersangkutan bisa langsung melapor ke pihak berwajib.

"Ini sangat karet. Ketika, misalnya, jurnalis menyebarkan data atau nama pejabat publik yang kemudian dia tidak senang karena mungkin itu adalah kritik dugaan tindak pidana korupsi, misalnya, itu bisa dilaporkan,” ucapnya.

"Atau teman-teman dari kesenian membuat kritik melalui, misalnya, karikatur, otomatis, kan, dia memproses data pribadi, kemudian mengungkapkan, itu bisa kena juga," imbuh Mustafa.

Sementara itu, Koordinator Advokasi LBH Pers Gema Gita Persada mengatakan Undang-Undang PDP membedakan data pribadi menjadi data umum dan spesifik. Data pribadi spesifik mencakup data catatan kejahatan dan keuangan pribadi.

Namun, tidak ada pasal dalam undang-undang dimaksud yang mengatur bahwa data pribadi milik pejabat negara merupakan informasi publik. Oleh sebab itu, setiap data pribadi milik pejabat, baik umum dan spesifik, harus dijaga dan dilindungi.

"Dengan adanya pengaturan pada Pasal 65 ini, tanpa ada pengecualian terhadap pekerja-pekerja jurnalistik yang kerap kali melakukan pengungkapan terkait dengan catatan kejahatan pejabat publik, itu sangat berpotensi untuk dikenakan dengan pasal ini," ucapnya

Atas dasar itu, koalisi masyarakat sipil mendalilkan Pasal 65 ayat (2) dan Pasal 67 ayat (2) Undang-Undang PDP dapat melanggar hak konstitusional warga negara, khususnya dalam hal ini jurnalis, akademisi, dan pelaku seni.

Dalam petitumnya, SIKAP meminta agar norma pasal tersebut dinyatakan bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 secara bersyarat jika tidak dikecualikan untuk tujuan jurnalistik, kesenian, kesusastraan, dan akademisi.