Jakarta (ANTARA) - Direktorat Tindak Pidana Perempuan dan Anak serta Pemberantasan Perdagangan Orang (PPA dan PPO) Bareskrim Polri menegaskan komitmennya dalam upaya pencegahan, penindakan, dan perlindungan terhadap korban tindak pidana perdagangan orang.
Direktur Tindak Pidana PPA dan PPO Brigadir Jenderal Polisi Nurul Azizah dalam keterangan yang diterima di Jakarta, Kamis, mengatakan bahwa tindak pidana perdagangan orang (TPPO) merampas hak, martabat, dan masa depan para korban.
"Ini bukan sekadar pelanggaran hukum, tetapi pelanggaran nilai-nilai kemanusiaan," kata Azizah, sapaan akrabnya.
Menurut dia, TPPO merupakan kejahatan yang terorganisir dalam lintas negara, kompleks, dan memerlukan penanganan yang menyeluruh.
Maka dari itu, penegakan hukum tidak bisa dilakukan secara parsial, melainkan membutuhkan kolaborasi lintas sektor, koordinasi yang solid antar lembaga, serta keterlibatan aktif masyarakat.
"Polri terus memperkuat koordinasi dengan kementerian dan lembaga terkait, memperluas edukasi publik, serta meningkatkan kapasitas penyidik dan penyelidik, terutama di wilayah-wilayah yang rawan menjadi titik perdagangan orang," katanya.
Kendati demikian, Azizah menilai bahwa upaya penindakan saja tidaklah cukup. Strategi pencegahan dan penyelamatan korban juga harus menjadi prioritas utama.
Azizah mengajak masyarakat untuk lebih peduli terhadap lingkungan sekitar dan mewaspadai berbagai modus eksploitasi yang kerap digunakan pelaku TPPO, seperti iming-iming pekerjaan di luar negeri atau janji kesejahteraan palsu.
"Laporkan jika melihat tanda-tanda atau indikasi perdagangan orang. Jangan ragu. Setiap laporan adalah bentuk penyelamatan," ucapnya.
Direktorat PPA-PPO Bareskrim Polri telah menangani 189 kasus tindak pidana perdagangan orang (TPPO) sejak Januari hingga Juni 2025.
Dari ratusan kasus tersebut, terdapat 556 korban yang berhasil diselamatkan. Jumlah tersebut terdiri atas 260 korban perempuan dewasa, 45 korban anak perempuan, 228 korban laki-laki dewasa, dan 23 korban anak laki-laki.
Selain itu, modus operandi yang banyak dilaporkan adalah pengiriman pekerja migran Indonesia nonprosedural yang sebanyak 117 laporan polisi (LP).
Adapun modus lainnya adalah eksploitasi seksual komersial sebanyak 48 LP dan eksploitasi terhadap anak sebanyak 24 LP.