Sastrawan Pandir Kelana, Saksi Hidup Kekejaman Jepang yang Telat Mendengar Kabar Proklamasi Kemerdekaan Indonesia
Moh. Habib Asyhad July 31, 2025 03:34 PM

Pandir Kelana alias Slamet Danusudirdjo menyaksikan sendiri kekejaman tentara Jepang menumpas rakyat Indonesia yang ingin melepaskan diri dari cengkeramannya selama 3,5 tahun. Pada saat yang sama Belanda juga ingin kembali menancapkan kukunya di bumi pertiwi ini.

Artikel ini tayang di Majalah Intisari dengan judul "Terlambat Mendengar Proklamasi"

---

Intisari hadir di WhatsApp Channel, follow dan dapatkan berita terbaru kami di sini

---

Intisari-Online.com -Orang tahunya Pandir Kelana adalah sastrawan kondang Indonesia dengan karya-karya istimewa. Memang itu tidak salah. Tapi yang banyak orang belum tahu, Pandir Kelana adalah seorang saksi sejarah, ikut berjuang merebut dan mempertahankan kemerdekaan Indonesia.

Pandir Kelana adalah nama pena. Nama aslinya, Slamet Danusudirdjo. Gelarnya Mayor Jenderal Purnawirawan. Bintangnya dua. Kepada Intisari pada 1995 lalu dia bercerita tentang perjalanan hidupnya, terutama saat berjuang melawan Dai Nippon dan tentara Belanda yang ingin kembali menguasai Indonesia.

Laki-laki kelahiran Banjarnegara, 4 Oktober 1925, ini sungguh cerminan semangat pejuang lima dasawarsa lalu. Sebagai anak pamong praja di Jawa Tengah, Slamet selalu berpindah-pindah daerah mengikuti tugas orangtuanya. “Jadi sulit menetapkan daerah asal saya,” katanya. "Yang pasti ayah asal Banyumas dan ibu dari Yogyakarta.”

Mengarang huruf kanji sendiri

Slamet mengakui suasana "penjajahan" Jepang itu, mendorong semangatnya ikut berjuang. Saat itu usia Slamet hampir 20 tahun. Dia terdaftar sebagai siswa SMA di Semarang. Seperti rakyat lainnya, Slamet semula menganggap kehadiran Jepang itu untuk membebaskan Indonesia dari penjajahan Belanda. Tetapi setelah melihat kenyataannya, kepercayaan itu meluntur. Pemuda Indonesia pun mulai banyak ikut aksi perlawanan.

"Hampir semua orangtua keberatan putranya ikut berjuang. Takut kehilangan anak. Tapi mereka tidak mencegahnya, karena zaman memang menuntut demikian." Menurutnya, hal itu sudah wajar dan benar-benar suatu keikhlasan. "Orang zaman sekarang menganggap kita luar biasa, tapi saat itu kami sama sekali tidak merasa luar biasa," katanya.

Karena ikut berjuang itulah, Slamet terpaksa harus terpisah selama dua tahun dari keluarganya. Tapi sekali-sekali para pejuang itu masih menghubungi orang tua masing-masing, meminta kiriman obat-obatan yang diperlukan.

Penulis beberapa novel sejarah ini mengungkapkan secara jelas, bagaimana suasana peperangan melawan tentara Jepang dalam Bola Bara Api. Di situ diungkapkan Slamet (dengan nama samaran Herman) bersama tiga temannya, merupakan empat serangkai yang selalu main kucing-kucingan dengan Jepang.

Slamet yang sempat duduk di bangku sekolah Jepang, mengisahkan pelajaran bahasa Jepang merupakan saat paling menyiksa pikirannya. "Tidak ada satu pun yang nyantol di kepala saya," kenangnya. Selama tiga tahun belajar bahasa Jepang, paling-paling hanya sekitar 1.000 kata yang diketahui artinya. "Jika ada ulangan dan harus menuliskannya dalam huruf kanji, saya tulis seenaknya saja, sehingga gurunya pun tidak bisa membacanya," kata Slamet terbahak-bahak.

Disulut besi membara

Sama seperti siapa pun, Slamet juga mengakui kekejaman tentara Jepang memang di luar batas ukuran manusia. Dalam Bola Bara Api Slamet mengisahkan, salah seorang temannya yang merupakan korban salah comot tentara Jepang, akhirnya harus mengorbankan nyawanya cuma-cuma. Ketika dikembalikan kepada keluarganya, jenazah sang teman sudah dibungkus rapi dengan kain kafan dan dimasukkan ke dalam peti. Namun ada peringatan keras, peti tersebut tidak boleh dibuka. Peristiwa ini membuat penasaran banyak pemuda. Mereka pun mau menuntut balas.

Juga seorang teman Slamet yang ditahan Jepang, pernah menulis surat dan menceritakan dirinya disiksa habis-habisan. Siksaan itu makin menyakitkan, kalau sudah memakai sulutan api rokok atau tusukan ujung pinsil runcing. "Kalau dipukul dengan senapan dan langsung pingsan, malah kita kurang merasakan kesengsaraannya," katanya.

Kekejaman itu tampak semakin jelas ketika temannya itu dilepaskan, tubuhnya kurus tinggal kulit pembungkus tulang. Selain disiksa, rupanya tahanan juga tidak memperoleh makanan cukup.

Bentuk kekejaman lain tentara penjajah itu, benar-benar membuat bulu kuduk berdiri. Pernah suatu ketika ada seorang tahanan yang dipaksa mengaku, padahal tuduhan itu hanyalah suatu rekayasa pemeriksanya. Sang tahanan yang juga seorang wedana itu, dituduh sebagai mata-mata sekutu. Tanpa rasa kasihan, sebuah tangkai besi membara dimasukkan ke dalam, maaf, duburnya. Wedana itu kemudian disuruh menari-nari di hadapan pemeriksanya.

Umumnya kalau seseorang mendengar kata "Ambarawa", pasti dirinya sudah ketakutan setengah mati. Soalnya, Ambarawa itu' identik dengan- tempat eksekusi. Di kamp tahanan itu, banyak orang tangkapan mati terpancung pedang di leher kepalanya. Juga Ambarawa memiliki arti menyeramkan bagi wanita. Di sana, tak sedikit wanita tak berdosa menjadi budak kebuasan seksual tentara Jepang. Mereka dijadikan jugun ianfu.

Kekejaman Jepang, menurut purnawirawan 2 bintang ini, mengingat tentara-pendudukan ini menganggap bangsa lain itu tidak beradab, juga tidak berarti. Mereka menganggap bangsa Jepang paling hebat. Walaupun demikian, Slamet berpendapat, tidak semua tentara Jepang bersikap kejam. "Yang kejam umumnya pimpinan. Prajurit yang muda-muda hanya menuruti perintah atasannya."

Meskipun saat itu perang belum menjalar sampai ke Semarang, suasana sudah terasa mencekam. Jalan-jalan hancur tak terurus. Suasana suram makin seram di malam hari. Bala-tentara Dai Nippon memerintahkan agar semua lampu diberi selubung. Maksudnya, untuk mengurangi kemungkinan serangan udara musuh (sekutu). Jika ada serangan udara, semua gelap gulita dan kota pun seperti mati.

Surat kekasih tak pernah berbalas

Sebagai pelajar, Slamet sudah terbiasa ikut kakeyashi (joging) sampai belasan kilometer. Latihan keprajuritan sudah menjadi pemandangan sehari-hari. Lapangan tak pernah kosong dari barisan pelatihan pemuda, atau juga seinendan, keibodan (semacam pertahanan sipil), atau gakku totai - barisan pelajar sekolah menengah.

Slamet mengakui, "Terhadap tentara Jepang, kami sebagai pejuang merasa dongkol sekali. Apalagi latihan ketentaraan yang berdisiplin keras. Namun sebenarnya, secara tak langsung kami belajar kemampuan militansi milik Jepang. Kita diajar tidak takut menghadapi segala sesuatu yang berat, misalnya lari sejauh 15 km. Itu kan namanya senjata makan tuan. Secara tidak langsung kami telah dilatih keberanian. Jadi kami berani melawan Jepang, juga musuh kita lainnya seperti NICA, Inggris, dll."

Dalam menjalani perannya, sering kali Slamet dan teman-temannya menyamar atau mengadakan rapat gelap untuk saling memberi informasi. Slamet yang dilahirkan sebagai anak kembar, mengungkapkan selama perjuangan itu jalinan persahabatan dengan wanita pejuang pun sangat baik. "Kami saling menghormati. Walaupun tidur seruangan, kami tidak pernah saling ganggu. Kami bertekad, kalau mau main-main dengan wanita, janganlah dengan teman sendiri," katanya.

Hal ini juga dibuktikan Slamet ketika ia bertemu dengan calon istrinya, Timur Ilafikusrin, M.Sa, yang saat itu teman sekolah dan anggota Palang Merah yang bertugas menolong pejuang terluka. Begitu kentalnya persahabatan mereka, sampai suatu ketika temannya gugur. Padahal, saat itu sang teman sudah memiliki kekasih. Slamet dan Timur tak tega memberi tahu kabar duka ini. Maka Slamet mengusulkan, agar setiap kiriman surat buat almarhum temannya dari sang kekasih, ditanam saja di dekat kuburan teman mereka.

Tapi rahasia itu tidak bisa disembunyikan terus menerus. Merasa surat kirimannya tidak pernah memperoleh balasan, wanita itu pun bertanya. "Akhirnya, saya terpaksa berterus terang dan kekasih teman saya itu menangis sejadi-jadinya," tutur Slamet.

Akibat tak punya radio

Dalam suasana tak menentu itu, keadaan perekonomian pun semakin parah. Jatah pembelian beras dari 200 g per kepala dikurangi menjadi 150 g setiap hari. Untuk memenuhi tuntutan perut, terpaksa nasi dicampur jagung atau ubi-ubian. Pakaian juga merupakan suatu kemewahan tersendiri.

Meskipun demikian, rasa humor di kalangan pemuda pejuang itu tetap terpelihara. Mereka masih bisa tertawa-tawa ataupun saling ejek, jika sedang berkumpul. Mereka juga tak lupa memikirkan pacar atau gadis idaman.

Ketika ditanya soal proklamasi kemerdekaan, menurut Slamet, umumnya pemuda pada zaman Jepang tidak mempunyai bayangan sama sekali, kapan pelaksanaan kemerdekaan itu. "Bahkan saat itu pun kami tidak tahu apa arti proklamasi. Yang kami tahu hanya merdeka."

Tapi yang diingat Slamet, proklamasi itu jatuh pada bulan puasa. "Saat itu sekolah libur dan saya pulang ke rumah ayah yang menjadi wakil wedana di kota kecil Tanjung, Kabupaten Brebes, Jawa Tengah. Rumah kami terletak di luar kota kewedanaan. Selain belum ada listrik, waktu itu pun kami tidak punya radio. Akibatnya, kami terlambat mendengar berita proklamasi kemerdekaan."

Meskipun kemerdekaan telah tercapai, namun saat itu Republik Indonesia tetap menjadi bulan-bulanan Belanda yang berusaha menjajah kembali. Slamet pun kembali ikut ke kancah peperangan Clash II (1948 - 1949). Pada fase ini dia dan teman-temannya harus bergerilya melawan Belanda. Perang gerilya itu menggunakan siasat antara lain: tidak melakukan pertahanan yang linier, memperlambat setiap serbuan musuh, serta mengadakan pengungsian dan bumi hangus total.

Selain itu dibentuk kantung-kantung di setiap onder-distrik di beberapa kompleks pegunungan. Pasukan dari daerah federal, menyusup ke belakang garis musuh untuk membentuk kantung perlawanan, sehingga seluruh Pulau Jawa akan menjadi medan gerilya yang luas. Siasat ini antara lain dipakai sewaktu mempertahankan daerah pabrik minyak Cepu (Jawa Tengah). Kilang dan tangki minyak terpaksa dihancurkan.

Wilayah gerilya di Karesidenan Pati, tercatat cukup banyak menelan korban. Belanda sempat menduduki Kota Kudus, Juwana, dan Pati. "Selama perjuangan, kami mendapat banyak bantuan dari rakyat. Entah itu makanan, kurir, informan, dsb.," cerita Slamet. Makanan yang paling sering disediakan rakyat adalah nasi goreng dan telur ceplok. "Uang yang diperlukan selama perjuangan disembunyikan dalam besek."

Sang Dwiwarna berkibar

Masa paceklik itu saat paling menyedihkan. Menurut Slamet, saat itu beras habis dan sulit mendapat jagung. Pada saat seperti itu, Belanda sering, menyerang. Sementara TNI sendiri belum banyak memiliki pengalaman melaksanakan perang gerilya. "Kekuatan perang gerilya ternyata tergantung pada rakyat," cerita Slamet dalam Rintihan Burung Kedasih.

"Pejuang dan rakyat sempat cemas, ketika mendengar Bung Karno dan Bung Hatta diasingkan ke Bangka. Sementara Jenderal Spoor sesumbar bahwa dengan didudukinya Yogyakarta dan ditawannya para pemimpin, TNI akan cepat menyerah," tambahnya. Ternyata Belanda kecele. Para pemimpin TNI tetap menggebu-gebu mengobarkan semangat rakyat.

TNI saat itu hanya menyingkir dari kota dan menyusun kekuatan di desa. Kekuatan sengaja dipecah-pecah dalam kesatuan kecil yang mampu bergerak lincah ke mana-mana. Di situ Belanda tidak kuasa menghancurkannya. Pertahanan rakyat yang terdiri atas pemuda desa, tahu bagaimana harus menghadapi Belanda. Hanya saja di kompleks Gunung Muria dan daerah aliran Sungai Juwana, barisan pejuang kurang beruntung karena pasukannya tak bisa mengimbangi gerak patroli Belanda. "Banyak yang tertangkap atau tertembak mati," kenang Slamet.

Kemudian baru saja hendak menyerang Belanda di sekitar daerah Semarang, terdengar adanya pendekatan antara Belanda dan RI. Akhirnya, tanggal 3 Agustus 1949 Presiden Soekarno memerintahkan agar TNI berhenti tembak-menembak. Demikian pula seruan dari wakil Belanda di Jakarta, A.H.J. Lovink. Padahal pada malam sebelum berlakunya gencatan senjata ini, TNI menyerbu Kota Solo. Serangan itu makin gempita, ditambah bunyi kumandang pukulan kentongan, bedug, serta pukulan tiang listrik dan telepon.

Menurut Slamet alias Pandir Kelana, pengalaman yang paling mengharukan saat pejuang menurunkan bendera Belanda, lalu mengibarkan sang Dwiwarna di alun-alun Pati pada pukul 06.45. Meskipun tidak mendengar secara langsung pidato kemerdekaan yang dikumandangkan dari Jakarta, Slamet merasa puasa. “Karena akhirnya kemerdekaan yang diidam-idamkan itu menjadi kenyataan."

© Copyright @2025 LIDEA. All Rights Reserved.