TRIBUNJATENG.COM, UNGARAN – Dalam balutan malam yang tenang dan syahdu, ribuan cahaya obor menyala perlahan di Bukit Kendalisodo, Desa Glodogan, Kecamatan Bawen, Kabupaten Semarang.
Ratusan warga berkumpul dalam suasana hening, mengikuti Prosesi Obor Salib 2025 yang digelar oleh Orang Muda Katolik (OMK) Stasi Santa Maria Assumpta Glodogan, Sabtu (2/8/2025).
Dengan mengusung tema Pawening kang Akarya Gesang atau “Keheningan yang Menghidupkan”, prosesi itu bukan sekadar ritual tahunan, tapi peristiwa rohani yang menyentuh batin, menyatukan iman, budaya, dan refleksi spiritual dalam keheningan.
“Tema ini mengajak kita semua untuk menyadari bahwa dalam keheningan, ada kehidupan yang bertumbuh.
Dalam tradisi Katolik, keheningan bukan sekadar diam, tetapi perjumpaan dengan Tuhan.
Ini yang disebut Silentium Incarnatum, keheningan yang menjelma,” kata Pembimbing OMK Glodogan, Nicolaus Kevin Murdy Purnomo.
Menariknya, konsep itu juga bersinggungan erat dengan filosofi Jawa, yakni Suwung.
“Suwung bukan kosong, namun keheningan yang teratur, tempat di mana manusia melepaskan ego dan hasrat duniawi.
Inilah titik temu antara iman dan budaya,” lanjut Kevin.
Tapa Bisu Obor Salib: Iman dalam Langkah dan Api
Acara dibuka dengan penampilan band rohani, puisi, dan tarian teatrikal bertema “Pawening kang Akarya Gesang” yang mengajak umat merenung sejak awal.
Tampak hadir pula berbagai tokoh penting dari unsur Gereja dan Pemerintah, mulai dari Perwakilan Bupati Semarang, anggota DPRD Kabupaten Imam Karsono, Camat Bawen, Lurah Harjosari, serta Vikaris Episkopal Semarang Romo JB Rudy Hardono, Pr.
Simbolisasi penyalaan api obor dilakukan secara khidmat.
Api yang digunakan diambil dari Lilin Paskah, simbol kebangkitan Kristus dan kehidupan abadi.
Api pertama diberikan kepada para pejabat gereja dan pemerintah, sebelum akhirnya diteruskan ke seluruh umat.
Prosesi pun berlanjut dengan Tapa Bisu, sebuah perarakan hening dari depan Gereja Stasi menuju Gua Maria Kendalisodo.
Dalam perjalanan, umat diajak merenungkan makna hidup, penderitaan, syukur, dan harapan, sambil membawa obor salib sebagai simbol iman yang menyala di tengah dunia yang gelap.
Setibanya di pelataran gua, seluruh rangkaian acara ditutup dengan Ibadah Ekaristi, puncak perayaan iman umat Katolik.
Melampaui Batas Gereja
Yang membuat peristiwa itu
tampak lebih istimewa yakni keterlibatan masyarakat lintas latar belakang.
Selain umat dari berbagai paroki sekitar, hadir pula mahasiswa KKN UIN Walisongo Semarang, warga sekitar, hingga tamu dari luar wilayah Stasi Glodogan.
Acara itu mendapat sambutan hangat dan dukungan dari pemerintah setempat.
“Prosesi Obor Salib ini bukan sekadar milik Gereja Glodogan, tapi tumbuh menjadi ruang refleksi bersama, merangkul siapa pun yang ingin menyalakan kembali harapan dan makna hidup,” ujar Kevin.
Warisan Iman dan Karya Orang Muda
Sejak awal, Orang Muda Katolik (OMK) Stasi Glodogan menjadi ujung tombak terselenggaranya prosesi tersebut.
Setiap tahun, mereka menggagas tema, menyusun acara, hingga memastikan seluruh umat bisa terlibat secara aktif.
“Kami berharap, acara ini terus berlanjut dan menjadi tradisi rohani yang semakin hidup dan dicintai banyak orang,” pungkas Kevin. (*)