SURYAMALANG.COM, MALANG - Buah apel pernah menjadi ikon di Malang Raya. Kalau datang ke Malang, wisatawan pasti pasti memburu apel. Atau warga Malang yang akan bepergian ke luar Malang juga pasti akan membawa apel sebagai oleh-oleh.
Dilansir dari wikipedia, Apel Manalagi (malus sylvestris/apel hutan) adalah nama lain dari Apel Malang atau Apel Batu. Apel ini dibawa oleh orang-orang Belanda dari Australia dan Asia Tengah pada tahun 1930-an, dan perkebunan apel lebih berkembang pesat di dataran tinggi Jawa Timur, khususnya Malang Raya.
Bagi Mulyadi, masa kejayaan apel di Poncokusumo, Kabupaten Malang adalah kenangan manis yang tidak mudah dilupakan. Pedagang apel sejak 1985 ini pernah merasakan buah khas lereng Gunung Semeru itu menjadi penggerak ekonomi desa, menghidupi petani, dan membuat truk-truk pengangkut tidak pernah berhenti melaju.
"Dulu satu pedagang besar bisa berangkat empat truk sehari, masing-masing 4 sampai 6 ton apel. Rata-rata bisa 20 ton per hari. Itu dikirim ke Jakarta atau Medan," kenang Mulyadi kepada SURYAMALANG.COM, Jumat (8/8).
Periode 1985 sampai 1995 menjadi masa paling gemilang. Apel Poncokusumo dikenal unggul dalam kualitas buah yang rasanya khas dan manis.
Namun, badai krisis moneter 1997-1998 mulai mengguncang. Harga obat-obatan pertanian melonjak tajam membuat banyak petani terpaksa menjual barang berharganya demi merawat kebun apel. "Bertahan pun sulit. Biaya operasional dan perawatan tinggi, tapi hasilnya tidak cukup kembali modal," ujarnya.
Mulyadi sempat bertahan dengan merintis pemasaran ke Banjarmasin pada awal 2000-an, . Namun, produktivitas apel menurun secara berlahan.
Fenomena serupa juga terjadi di Kota Batu dan Kabupaten Pasuruan. "Saya belum tahu pasti penyebabnya, mungkin karena penggunaan pestisida atau faktor lingkungan lain," imbuhnya.
Menurunnya produksi apel membuat Mulyadi mengalihkan lahannya ke tanaman jeruk sejak satu dekade lalu. Menurutnya, jeruk lebih menguntungkan daripada apel. "Kalau jeruk bisa panen dua kali dalam setahun. Bahkan kalau umur pohon masih muda bisa panen kecil antara empat sampai lima kali dalam setahun," terangnya.
Mulyadi sudah tidak ingat kapan terakhir kali memakan apel Poncokusumo. Meskipun sekarang Poncokusumo tidak lagi identik dengan apel seperti dulu, Mulyadi melihat pergantian komoditas ini bukanlah akhir. Bagi Mulyadi, perubahan ini memberi pelajaran berharga. Petani harus kreatif, adaptif, dan menjaga keberlanjutan lahan. "Sekarang hanya ikonnya saja yang hilang. Siapa tahu 10 tahun lagi kembali ke apel lagi," urainya.
Tugu Apel
Tugu yang bagian atasnya berbentuk pohon apel berdiri di persimpangan yang berada di Desa Poncokusumo. Tugu itu sebagai penanda bahwa Desa Poncokusumo adalah penghasil apel.
Dulu Desa Poncokusumo dikenal sebagai pusat produksi buah apel di Kabupaten Malang. Kini ribuan pohon apel yang pernah menggerakan perekonomian warga tersebut telah hilang, dan berganti menjadi pohon jeruk.
Seorang warga, Nur Rokhim mengatakan ketika jumlah penduduk tidak sepadat sekarang, banyak berdiri pohon apel di setiap pekarangan rumah warga di Desa Poncokusumo. Namun kini pemandangan seperti itu sudah jarang terlihat. Tidak ada lagi pohon apel yang tumbuh di dekat pekarangan rumah, terutama di Dusun Poncokusumo.
Saat apel masih pada masa kejayaan, petani kecil dahulu bisa memiliki 100 pohon apel di pekarangan rumahnya. "Dulu rumah tidak serapat ini. Depan rumah atau samping rumah dipenuhi pohon apel. Kalau ada hajatan, tenda dipasang di atas pohon, dan apel dibiarkan menggantung," kenangnya.
Kisah itu terjadi di era 90-an saat masa keemasan apel Poncokusumo. Bahkan petani kecil dengan lahan terbatas pun bisa hidup berkecukupan. Anak-anak petani tidak segan meminta motor baru, dan orang tua mereka sanggup membelikan sepeda motor baru. "Sebelum krisis ekonomi tahun 1998, punya 100 pohon apel di samping rumah itu sudah cukup untuk membeli motor baru setiap musim panen," kenangnya.
Rokhim menyebutkan kejayaan apel Poncokusumo terhantam krisis besar sampai tiga kali. Saat krisis moneter tahun 1998, harga apel anjol, dan banyak kebun apel terbengkalai. Pada periode tahun 2010-2011, penyakit menyerang yang membuat apel rontok sebelum matang. "Waktu itu banyak yang menyerah. Penyakitnya susah diatasi, dan hasilnya turun drastis," ujarnya.
Pukulan ketiga datang pada periode 2015-2016. Kali ini penyebabnya buah impor yang membanjiri pasar. Kala itu apel impor dijual Rp 7.000 per kilogram (Kg), sedangkan harga apel lokal antara Rp 17.000 sampai Rp 20.000 per Kg. "Saat itu pemerintah tidak membatasi buah impor. Makanya buah impor membeludak," terangnya.
Sejak saat itu perkebunan apel berganti dengan tanaman sayur dan jeruk. Namun Rokhim masih mempertahankan lahan apelnya dengan harapan kejayaan apel kembali terulang. Rokhim juga mencoba menanam jeruk di sebagian kecil lahannya. "Kalau jeruk tidak diberi pupuk kandang. Kalau apel masih bisa hidup tanpa pupuk kandang tiga tahun lebih, asal dapat nutrisi dari pestisida dan obat yang pas," urainya.