SURYAMALANG.COM, MALANG - Kabupaten Malang merupakan penghasil buah salak terbesar se-Jawa Timur (Jatim). Produksi salak dari Kabupaten Malang pada tahun 2024 mencapai 3,5 juta kuintal.
Produksi buah salak di Kabupaten Malang yang terbesar ada di Kecamatan Dampit, Kecamatan Ampelgading, dan Kecamatan Pagelaran. Produksi salak dari Kecamatan Dampit sebanyak 2,6 juta kuintal, Kecamatan Ampelgading sebanyak 811.000 kuintal, dan Kecamatan Pagelaran sebanyak 12.000 kuintal.
Mayoritas salak yang ditanam di Kabupaten Malang berjenis salah pondoh. Hanya Kacamatan Pagelaran yang memiliki salak khas, yaitu salak Suwaru yang berasal dari Desa Suwaru.
Seiring berjalannya waktu, keberadaan Salak Suwaru hampir punah. Dari tahun ke tahun produksi Salak Suwaru kian turun.
Sesuai data Badan Pusat Statistik (BPS) Jatim, produksi salak di Kecamatan Pagelaran pada 2021 sebanyak 167.436 kuintal, lalu turun menjadi 34.838 kuintal pada 2022, sebanyak 50.589 kuintal pada 2023, dan turun menjadi 11.935 kuintal pada 2024.
Turunnya produksi salak Suwaru dikarenakan banyak warga yang beralih ke tanaman tebu. Warga Desa Suwaru, Suyono mengatakan salak dari Desa Suwaru memiliki rasa manis, sedikit asam dan sepat, kandungan air banyak, dan berdaging tebal.
"Dulu setiap rumah memiliki tanaman salak, tapi sekarang banyak yang beralih ke tanaman tebu," kata Suyono kepada SURYAMALANG.COM, Sabtu (9/8).
Suyono masih mempertahankan pohon salak yang ditanam di pekarangan samping rumah milik orang tuanya. Suyono memiliki belasan pohon salak di lahan seluas sekitar 400 meter persegi.
Rata-rata usia pohon salak sekitar 25 tahun. Suyono dan kakaknya masih rutin merawat pohon salak untuk mempertahankan Salak Suwaru yang selalu dirindukan warga asli Pagelaran. "Orang yang tahu salak Suwaru pasti langsung mebeli ke rumah-rumah," terangnya.
Menurutnya, harga salak Suwaru semakin anjlok. Pada saat kejayaannya dulu, salak Suwaru bisa laku seharga Rp 10.000 per kilogram (Kg). Sekarang setiap Kg salak Suwaru hanya seharga Rp 3.500.
"Makanya banyak warga yang dulunya menanam salak beralih ke tanaman tebu karena hasil panennya jauh lebih menjanjikan," imbuhnya.
Keberadaan salak Suwaru hampir punah. Kepala Desa Suwaru, Tedjo Sampurno mengatakan di masa kejayaannya dulu, banyak warga yang mengetahui Desa Suwaru dari salak.
"Ikon Desa Suwaru adalah salak. Dulu setiap saya ada kegiatan ke luar desa, pasti yang ditanyakan adalah salaknya," kata Tedjo.
Dulu hampir setiap rumah pasti pemiliki pohon salak, baik di depan maupun belakang rumah. Namun sekarang hanya sekitar 20 petani yang masih mempertahankan buah salak Suwaru.
Tedjo menyebutkan masa kejayaan salak Suwaru redup sejak belasan tahun terkahir. Banyak warga mulai tukar guling ke taman tebu karena harga jual salak begitu rendah. "Kalau panen salak, sulit cari uang Rp 5 juta. Tapi kalau panen tebu, setiap panen bisa mendapat antara Rp 50 juta sampai Rp 60 juta per hektare," terangnya.
Belum lagi saat musim panen raya pada Desember, Januari, sampai Februari, harga jual salak hanya dibanderol Rp 2.000 sampai Rp 3.000 per Kg. Makanya banyak petani yang membiarkan buah salak yang siap panen jatuh.
"Kadang tengkulak dari sekitar sini saja yang datang. Sebenarnya ada penjual salak di pinggir jalan raya, tapi itu bukan salak Suwaru asli. Biasanya itu salak pondoh, tapi dibilang salak Suwaru. Kalau mau yang salak Suwaru, bisa datang ke rumah-rumah warga," terangnya.
Dibandingkan salak Pondoh, salak Suwaru lebih cepat busuk karena kandungan airnya lebih banyak sehingga tidak bisa bertahan lama. "Dari segi ukuran, salak Suwaru lebih besar dari salak Pondoh, dan rasanya lebih manis," terang Tedjo.
Tedjo tidak bisa berbuat banyak untuk mempertahankan keberadaan salak Suwaru tersebut. Saat berkunjung ke Desa Suwaru, Bupati Malang, Sanusi sempat minta Tedjo untuk mempertahankan salak Suwaru.
"Saya tidak menjamin bisa mempertahankan salak Suwaru. Rata-rata warga beralih dari salak Suwaru karena faktor masalah ekonomi," imbuhnya.