TRIBUNJAKARTA.COM - Lebih dari 150 peneliti dan pemerhati burung berkumpul di IPB University, Bogor, untuk mengikuti Konferensi Peneliti dan Pemerhati Burung di Indonesia (KPPBI) ke-7.
Mengangkat tema "Harmonisasi antara Burung, Manusia, dan Lingkungan", konferensi ini berlangsung dari 8-10 Agustus 2025, menekankan pentingnya keseimbangan antara keanekaragaman hayati, pengelolaan manusia, dan pelestarian lingkungan.
Indonesia, dengan 1.835 spesies burung atau 16,7 persen dari total spesies global, menempati peringkat keempat sebagai negara dengan jumlah spesies burung tertinggi di dunia. Dari jumlah tersebut, 542 spesies adalah endemik dan 276 spesies merupakan burung migran.
Namun, data Kementerian Kehutanan periode 2016-2025 menunjukkan bahwa 184 spesies burung di Indonesia masuk ke dalam daftar spesies terancam punah secara global berdasarkan IUCN. Di antaranya adalah 22 spesies burung berstatus Kritis (Critically Endangered), 96 spesies Genting (Endangered), dan 66 spesies Rentan (Vulnerable).
Konferensi ini membahas beragam topik penting meliputi ekologi, manajemen dan konservasi burung di hutan, etno-ornitologi (budaya, penangkaran, perdagangan, ekowisata), taksonomi, genetika dan perilaku burung, pengetahuan dan teknologi terkini dalam penelitian burung.
Selain itu, dibahas pula topik lainnya seperti keberlanjutan burung migran (raptor, burung pantai, dan lainnya), serta keberadaan burung di wilayah perkotaan dan area yang didominasi manusia.
Direktur Jenderal Konservasi Sumber Daya Alam dan Ekosistem Kementerian Kehutanan, Prof. Dr. Satyawan Pudyatmoko, S.Hut, M.Agr. Sc., menyoroti ancaman serius terhadap populasi burung, termasuk penurunan kualitas habitat, perubahan penggunaan lahan, perburuan dan perdagangan ilegal, dampak perubahan iklim, hingga zoonosis.
“Untuk mengatasi hal ini, Kementerian Kehutanan telah merumuskan kebijakan konservasi burung yang meliputi penyusunan strategi dan rencana aksi, mendorong keterlibatan pihak swasta, sinergi pemerintah dan mitra, penguatan penegakan hukum, penguatan basis data nasional, pendekatan One Health, serta perluasan dan penguatan kawasan konservasi,” ujar Prof Satyawan Pudyatmoko saat memberikan sambutan.
Sedangkan, Dekan Fakultas Kehutanan dan Lingkungan IPB University, Prof. Dr. Ir. Nareswoto Nugroho, M.S, menambahkan bahwa pertemuan berkala para ahli burung di Indonesia ini memiliki peran yang sangat vital.
"Konferensi ini adalah rumah intelektual dan pusat referensi bagi seluruh peneliti, pemerhati, pengamat, dan ahli burung dalam menjaga keanekaragaman hayati Indonesia, khususnya burung dan dapat menjadi inspirasi dan motivasi bagi para peserta," kata Prof. Nareswoto
.
KPPBI ke-7 diharapkan dapat menghasilkan rekomendasi praktis untuk memperkuat upaya konservasi burung di Indonesia dengan tetap memperhatikan aspek sosial, ekonomi, dan budaya masyarakat serta kelestarian lingkungan.
KPPBI ke-17 ini merupakan kolaborasi dari berbagai universitas dan Perhimpunan Ornitholog Indonesia dan tidak mungkin berjalan tanpa dukungan dari BRIN, Burung Laut Indonesia, Universitas Atma Jaya Yogyakarta, Universitas Udayana Bali, Universitas Negeri Semarang, Yayasan Eksai, Rekam Nusantara, Rangkong Indonesia, Burung Indonesia, dan RSPB.
Kegiatan ini juga tidak mungkin berlangsung tanpa sokongan dari Global Messenger, The Royal Society for the Protection of Birds (RSPB), Yayasan KASI, PT Indocement Tunggal Prakarsa, Yayasan Kehati, ExxonMobil, Pertamina Patra Niaga, Rekam Nusantara, Rangkong Indonesia, Burung Laut Indonesia, Optisan Optic, Konservasi Kakatua Indonesia, dan Bogor Naturalist.