TIMESINDONESIA, JEMBER – Fenomena game online seperti Roblox akhir-akhir ini kembali memicu perdebatan hangat. Bukan hanya soal waktu bermain yang berlebihan, tetapi juga karena ditemukan konten yang mengandung unsur kekerasan, bahasa kasar, hingga transaksi uang dalam jumlah besar yang melibatkan anak.
Menanggapi hal ini, Menteri Pendidikan Dasar dan Menengah pun mengambil langkah tegas: melarang murid memainkan Roblox.
Secara kasat mata, larangan ini terlihat sebagai langkah cepat demi menghindari risiko. Namun, seperti pepatah “memindahkan gelas tanpa menutup kran air,” larangan saja tidak cukup.
Dunia digital tidak hanya terdiri dari Roblox. Ada ratusan platform lain, dari TikTok, YouTube, Instagram, hingga mobile games yang mungkin menyimpan risiko serupa.
Maka, yang kita butuhkan bukan hanya memadamkan api di satu titik, tetapi juga membangun sistem pemadam yang siap di mana saja. Dan di sinilah literasi digital menjadi kunci.
Literasi digital sangatlah mendesak, karena kita hidup di era di mana anak-anak “melek layar” sebelum mereka bisa menulis huruf dengan rapi. Mereka tumbuh dengan algoritma yang menyajikan konten sesuai kebiasaan klik mereka.
Tanpa bekal pengetahuan, anak akan mudah terseret arus informasi yang belum tentu sehat, entah itu hoaks, ujaran kebencian, atau normalisasi kekerasan.
Literasi digital bukan sekadar bisa mengoperasikan gawai. Ia mencakup kemampuan memahami cara kerja platform, mengidentifikasi informasi yang valid, mengelola jejak digital, hingga menghindari jebakan transaksi online yang merugikan.
Sayangnya, survei Kemendikbudristek dan beberapa lembaga riset menunjukkan, kemampuan literasi digital anak-anak Indonesia masih berada di kategori “sedang”. Artinya, mereka bisa mengakses informasi, tetapi belum cukup terampil memilah dan mengkritisi konten.
Teknologi bisa jadi pintu, tapi otak yang terlatih berpikir kritis adalah “Filter” di kepala anak menjadi penjaga gerbangnya. Anak perlu belajar untuk bertanya: apakah informasi ini benar?, siapa yang membuatnya?, apa tujuannya?
Dengan berpikir kritis, anak tidak hanya menerima informasi mentah-mentah. Mereka belajar mengidentifikasi bias, menghindari provokasi, dan mengerti konsekuensi setiap klik yang mereka lakukan.
Ini bisa dimulai dari rumah, misalnya dengan berdiskusi santai tentang berita yang muncul di media sosial atau mengajak anak membedah video viral. Guru juga berperan penting dengan mengintegrasikan digital literacy ke dalam kurikulum, bukan sekadar pelajaran teknologi, tapi juga etika dan keamanan digital.
Sistem Verifikasi Konten Ramah Anak
Negara-negara seperti Korea Selatan dan Australia sudah mengembangkan sistem verifikasi usia yang cukup ketat. Platform tertentu hanya bisa diakses setelah melewati age verification yang terhubung dengan data identitas nasional.
Di Indonesia, wacana ini sudah ada, tetapi implementasinya belum merata. Tantangannya jelas: perlindungan data pribadi, biaya infrastruktur, dan kerjasama lintas sektor. Namun, jika serius ingin melindungi anak, investasi di bidang ini tidak bisa ditunda.
Kerja sama lintas sektor dalam perlindungan digital anak bukan hanya tugas pemerintah. Orang tua memegang peran vital, mereka adalah “teman digital” pertama bagi anak.
Guru menjadi pengarah di sekolah. Industri teknologi bertanggung jawab menciptakan ekosistem yang aman. Media punya tugas memberi edukasi publik, bukan sekadar sensasi berita.
Di sisi lain, masyarakat luas pun perlu ikut terlibat. Misalnya, melalui kampanye edukasi, kelas parenting digital, atau komunitas cyber volunteer yang siap memantau dan melaporkan konten berbahaya.
Jujur saja, saat ini Indonesia belum sepenuhnya siap. Literasi digital anak masih perlu ditingkatkan, regulasi masih tambal sulam, dan sistem perlindungan konten belum optimal. Namun, ini bukan alasan untuk pesimis. Justru, kesadaran yang mulai tumbuh adalah modal besar untuk mempercepat perubahan.
Jika kita hanya mengandalkan larangan, anak akan mencari jalan lain, dan sering kali, jalan itu lebih berbahaya. Tapi jika kita membekali mereka dengan pengetahuan, kemampuan kritis, dan dukungan sistem yang kuat, mereka akan punya “kompas” untuk menavigasi dunia maya dengan aman.
Perlindungan digital anak bukan proyek singkat. Ia adalah maraton yang memerlukan konsistensi, kerja sama, dan keberanian mengambil keputusan strategis. Karena pada akhirnya, yang kita lindungi bukan hanya masa kecil mereka, tapi juga masa depan bangsa.
Kalau Anda setuju bahwa literasi digital harus jadi prioritas, mungkin ini saatnya kita mulai dari hal sederhana: mendampingi anak saat online, berdialog, dan memberi mereka bekal agar mereka bisa selamat, bukan hanya di dunia nyata, tapi juga di dunia maya. (*)
***
*) Oleh : M.A. Ghofur, S.Pd., S.A.P., Praktisi Jaring Asesmen Indonesia & Rengganis Indonesia Fundation. Serta Pendidik di SMP Negeri 2 Balung, Jember.
*)Tulisan Opini ini sepenuhnya adalah tanggungjawab penulis, tidak menjadi bagian tanggungjawab redaksi timesindonesia.co.id
*) Kopi TIMES atau rubik opini di TIMES Indonesia terbuka untuk umum. Panjang naskah maksimal 4.000 karakter atau sekitar 600 kata. Sertakan riwayat hidup singkat beserta Foto diri dan nomor telepon yang bisa dihubungi.
*) Naskah dikirim ke alamat e-mail: [email protected]
*) Redaksi berhak tidak menayangkan opini yang dikirim.