Laporan Wartawan Tribuncirebon.com, Eki Yulianto
TRIBUNCIREBON.COM, CIREBON- Deru kendaraan di Jalan Siliwangi, jantung Kota Cirebon, tak pernah benar-benar berhenti.
Gedung-gedung tinggi berlapis kaca berdiri gagah, hotel-hotel mewah menancapkan namanya di langit kota.
Namun di tengah kemegahan itu, berdiri sebuah rumah tempo dulu, berpintu dan berjendela kayu besar, bergaya klasik, dengan cat yang mulai pudar. Nomor rumahnya 57.
Di halaman yang rindang, bunga dan tanaman hias tumbuh rapi.
Dua mobil terparkir, satu di antaranya mobil lawas yang tampak masih setia menemani sang pemilik, Darma Suryapranata (83), yang akrab disapa Surya.
Rumah ini adalah peninggalan keluarga, saksi puluhan tahun perubahan wajah kota.
Namun kini, Surya bukan sedang menikmati masa senja dalam damai.
Rumah tuanya mendapat tagihan Pajak Bumi dan Bangunan (PBB) yang melonjak gila-gilaan, dari Rp 6,2 juta pada 2023 menjadi Rp 65 juta pada 2024.
“Kalau terdampak (kenaikan PBB) ya semua terdampak."
"Cuma saya terasa sekali naiknya, malah istilahnya gila-gilaan,” ujar Surya, duduk di ruang tamu dengan meja kayu tua dan tumpukan buku di sudut, Kamis (14/8/2025) sore.
Ia mengaku, kabar kenaikan PBB itu awalnya ia tahu dari teman-teman.
Saat bertemu Sekda dalam halal bihalal, ia langsung menyampaikan keresahan warga.
“Saya bilang, ‘Pak hati-hati, masyarakat resah PBB-nya kok naik banyak’. Terus beliau jawab, ‘Oh ya nanti kita diskusikan’,” ucapnya.
Ketika diundang ke Balai Kota, Surya membawa data.
Di kawasan Pengampon, ia melihat sendiri angka di Surat Pemberitahuan Pajak Terutang (SPPT).
“Saya kaget, Rp 65 juta. Kalau dilihat dari tagihan 2023, kenaikannya 1.000 persen,” jelas dia.
Surya menegaskan, perjuangannya bukan untuk dirinya saja.
"Saya protes untuk masyarakat semuanya. Banyak yang kaget melihat kenaikan begitu besar. Saya bilang, ‘tolong ini bisa diubah’."
"Tapi katanya enggak bisa, ini sudah ada perdanya. Saya bilang, ‘Undang-Undang Dasar 45 saja bisa diubah, masak ini enggak bisa’,” katanya, menggeleng pelan.
Yang membuatnya kecewa, kebijakan sebesar itu lahir tanpa melibatkan warga.
"Tahu-tahu keluar perdanya. Kalau Rp 65 juta saya mampu bayar, tapi saya enggak makan."
"Ini rumah tempat tinggal, bukan bisnis. Pajak sebesar itu untuk tempat tinggal sangat menyiksa,” ujarnya.
Luas rumahnya 800 meter persegi, berdiri di salah satu jalan termahal di Kota Cirebon.
Namun bagi Surya, itu bukan alasan untuk dipajaki tanpa mempertimbangkan kemampuan warga.
“Kewajiban boleh ada, tapi jangan menjadi beban. Kalau beban, hidup tidak bisa harmonis."
"Silakan dihitung kembali supaya wajar. Rakyat mampu bayar, pemerintah dapat dana, jadi sama-sama win-win,” ucap Surya.
Tahun 2024, ia sempat membayar Rp 13 juta setelah nominalnya direvisi dan diberi diskon 50 persen dari tagihan awal Rp 26 juta.
Tetapi, di balik keringanan itu, ia tetap menyimpan rasa getir.
Dari luar, rumah Surya tampak seperti potongan sejarah yang bertahan di tengah arus modernisasi.
Tapi di dalamnya, ada kisah seorang warga yang berusaha mempertahankan bukan hanya rumahnya, melainkan juga rasa keadilan untuk seluruh masyarakat.