SURYA.co.id - Kebijakan kenaikan Pajak Bumi dan Bangunan (PBB) di Kabupaten Pati, Jawa Tengah, memicu gejolak sosial besar pada Rabu (13/8/2025).
Kenaikan hingga 250 persen yang ditetapkan Bupati Pati, Sudewo, mengundang penolakan keras warga.
Aksi protes pun meledak di depan Kantor Bupati, menjadi sorotan nasional, dan menjadi pelajaran penting bagi kepala daerah di seluruh Indonesia.
Meski Sudewo akhirnya membatalkan kebijakan tersebut, massa tak lantas membubarkan diri. Tuntutan agar sang bupati mundur tetap menggema di jalanan.
Kehadiran Bupati Picu Kemarahan Warga
Situasi semakin panas saat Bupati Sudewo muncul di tengah kerumunan massa untuk mendengar langsung aspirasi mereka.
Alih-alih meredam emosi, kehadirannya justru memicu kemarahan, ditandai dengan lemparan sandal dan botol plastik ke arahnya.
Kericuhan membesar hingga berujung pembakaran sebuah mobil.
Aparat kepolisian turun tangan membubarkan massa dan mengamankan 11 orang yang diduga sebagai provokator.
Istana Ingatkan Pejabat Publik Tidak Arogan
Menteri Sekretaris Negara sekaligus Juru Bicara Presiden, Prasetyo Hadi, menegaskan bahwa peristiwa di Pati menjadi pengingat bagi semua pejabat publik untuk bijak dalam membuat dan menyampaikan kebijakan.
“Berkali-kali pemerintah pusat mengimbau, baik pejabat di pusat, provinsi, maupun daerah, agar berhati-hati dalam menyampaikan kebijakan yang berdampak pada masyarakat,” kata Prasetyo di Istana Merdeka, Jakarta, Rabu, dikutip dari Antara.
Menurutnya, kemampuan komunikasi publik menjadi kunci. Kebijakan yang dianggap memberatkan, apalagi disampaikan dengan cara arogan, berpotensi memicu gejolak sosial.
Ia menambahkan, Presiden Prabowo Subianto memantau langsung situasi di Pati dan menyayangkan terjadinya kericuhan.
Prasetyo juga mengimbau semua pihak agar menahan diri demi meredakan tensi.
“Kami sudah berkomunikasi dengan Bupati Pati, juga dengan Gubernur Jawa Tengah. Semoga segera ditemukan jalan keluar terbaik,” ujarnya.
DPR Dorong Kepala Daerah Gali PAD Secara Kreatif
Wakil Ketua Komisi II DPR RI, Bahtra Banong, melihat kejadian di Pati sebagai peringatan bahwa kepala daerah perlu mencari sumber Pendapatan Asli Daerah (PAD) dengan cara kreatif tanpa membebani rakyat.
“Jangan sampai target PAD dicapai dengan menaikkan pajak berkali-kali lipat,” kata Bahtra.
Ia mencontohkan, potensi PAD bisa dioptimalkan melalui kinerja Badan Usaha Milik Daerah (BUMD) atau pengembangan sektor pariwisata.
Menurutnya, Komisi II DPR juga rutin mendorong Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri) untuk membina pemerintah daerah dalam menemukan sumber pendapatan yang inovatif.
Bahtra mengungkapkan, banyak daerah yang mengandalkan dana transfer dari pemerintah pusat, bahkan mencapai 60–70 persen dari total anggaran.
"Daerah-daerah yang kuat fiskalnya hanya 11 provinsi dari 38 provinsi yang ada," katanya.
Karena itu, ia meminta kepala daerah memutar otak agar PAD meningkat tanpa membuat rakyat menjerit.
"Nah itulah mungkin yang menjadi alasan sehingga kepala daerah harus berpikir keras," tuturnya.
Bisakah Bupati Pati Sudewo Langsung Dicopot?
Pakar Hukum Tata Negara Universitas Andalas, Feri Amsari, menilai kasus ini tak hanya soal protes pajak. Menurutnya, kebijakan Bupati Sudewo sudah menyentuh ranah pelanggaran sumpah jabatan.
Dalam undang-undang, kepala daerah bisa diberhentikan karena beberapa alasan, salah satunya jika melanggar sumpah dan janji jabatan atau gagal melaksanakan tugas dengan baik.
“Ketika kepala daerah menaikkan pajak tanpa mempertimbangkan kondisi sosial, apalagi tidak mengakomodasi aspirasi publik, itu bisa dikategorikan melanggar sumpah jabatan,” jelas Feri dalam program Sapa Indonesia Pagi Kompas TV, Rabu (13/8/2025).
Feri menambahkan, seorang kepala daerah memiliki kewajiban menjaga ketertiban masyarakat.
Namun dalam kasus ini, kebijakan Sudewo justru memicu keresahan dan memanaskan situasi.
Berdasarkan Pasal 77-79 UU Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah, yang berwenang menilai dan memberhentikan kepala daerah adalah DPRD dan Menteri Dalam Negeri.
Feri menjelaskan, proses di DPRD biasanya memakan waktu karena harus melalui sidang paripurna dan pembahasan panjang mengenai alasan pemberhentian.
Namun Mendagri memiliki ruang untuk bertindak lebih cepat, terutama jika terdapat bukti kuat atau desakan publik yang konsisten.
“Keputusan ini tetap sangat politis. Tapi jika tekanan publik terus berlanjut, peluang pencopotan kepala daerah akan semakin besar,” ujar Feri.
"Di konstruksi Pasal 77, 78. 79 UU Nomor 23 Tahun 2014 Tentang Pemerintahan Daerah, yang bisa melakukan itu (memutuskan kepala atau wakil kepala daerah melanggar sumpah) tentu saja DPRD dan Menteri Dalam Negeri."
"Dan dalam berbagai konteks bahkan Menteri Dalam Negeri bisa memberhentikan langsung. Misalnya dia terbukti melakukan korupsi dan lain-lain. Nah konstruksinya jadi sangat luas. Tapi sekali lagi itu akan sangat ditentukan oleh politik, kekuatan publik pasti diperhitungkan, kemudian apalagi keberlanjutan aksi, ketidaknyamanan publik."
"Maka Menteri Dalam Negeri atau DPRD, demi keberlanjutan pemerintahan daerah ya memang akan melakukan upaya-upaya pemberhentian. Hanya kalau di DPRD itu akan cukup panjang, karena harus paripurna dulu dan memastikan apa alasan-alasan sang bupati harus diberhentikan," pungkasnya.