Jakarta (ANTARA) - Wakil Ketua Komisi III DPR RI Ahmad Sahroni menilai wacana Wahana Musik Indonesia (WAMI) untuk menagih royalti jika memutar atau menyanyikan lagu komersil pada pesta pernikahan rawan premanisme dalam praktik penagihannya.
Ia juga menilai wacana tersebut sudah tidak sesuai dengan semangat perlindungan hukum yang adil bagi masyarakat.
“Kalau begini caranya, saya lihat wacana royalti musik ini makin lama makin ngelantur. Semua sektor mau dikenain, bahkan pesta pernikahan yang jelas-jelas bersifat non-komersil. Ini sudah ngaco, dan sangat membebani masyarakat," kata Sahroni dalam keterangannya di Jakarta, Jumat
"Bahkan saya lihat beberapa musisi juga menolak jika wacananya sejauh ini. Dan jika diteruskan, penagihan royalti oleh LMK ini sangat rawan akan tindak premanisme, terlebih beberapa LMK diduga dimiliki oleh individu yang memiliki latar tindak premanisme, sangat rawan,” ujarnya lagi.
Menurut Sahroni, kebijakan tersebut juga kurang disosialisasikan kepada publik. Akibatnya, masyarakat kaget dan merasa dipaksa tunduk pada wacana aturan baru tanpa adanya masa transisi.
“Kalau memang ada wacana aturan baru, harusnya disosialisasikan dulu dengan baik. Jangan tiba-tiba masyarakat disuguhi hal yang sifatnya memukul rata. Ini yang bikin gaduh. Jangan terlihat hanya berpihak pada kepentingan industri, sementara rakyat kecil, UMKM, sampai keluarga yang sedang menikah dibikin pusing, semuanya dikenain," ujarnya.
Sahroni menyatakan bahwa perlindungan hukum itu harus seimbang: hak musisi dihargai, tetapi rakyat juga jangan diperas.
Pernyataan WAMI tersebut juga menjadi jawaban atas kehebohan royalti di masyarakat, apakah berlaku juga di pesta pernikahan atau tidak.
Untuk besarannya sendiri, royalti yang harus dibayarkan yakni dua persen dari biaya produksi, yang mencakup sewa sound system, backline, fee penyanyi atau penampil, dan lain-lain yang berkaitan dengan musik tersebut.