TRIBUNBATAM.id - Bangsal rumah riuh sejak pagi sekali mendengar kelakar Hasan. Ia memang lihai menuturkan cerita dengan nada dan ekspresi wajah yang meyakinkan. Sulit untuk membedakan mana yang benar dan mana yang dilebih-lebihkan. Apalagi, batang rokok masih keluar masuk di mulutnya, menandakan kelakarnya akan semakin panjang.
Hasan datang ke Ranai untuk mengurus uang bantuan dari pemerintah untuk pekerja yang gajinya di bawah lima juta. Rencananya ia akan di Ranai selama tiga hari, sekalian berlibur sebelum ada panggilan kerja lagi.
Dari pintu dapur, Erna menyuruh Yadi mengajak Hasan untuk mengobrol di ruang dapur. Air panas baru saja dituangkan ke dalam mug berisi teh celup dan bubuk kahwa. Sebenarnya, Erna juga ingin ikut mendengarkan kelakar mereka berdua tanpa harus meninggalkan pekerjaan dapur.
Dengan tas pinggang melingkar, Hasan masuk ke rumah dan duduk di salah satu kursi di meja dapur, lalu menyalakan sebatang rokok. Erna mengambil asbak rokok dari bawah lemari yang memang disediakan untuk situasi seperti ini agar piring kecil atau gelas tidak tiba-tiba dijadikan asbak.
Yadi duduk berhadapan dengan Hasan, siap mendengar cerita selanjutnya. Yadi, yang sudah pensiun dari pegawai dua tahun lalu, kini hanya menyibukkan diri mengurus rumah kontrakan dan mengajar di kampus keagamaan pada malam hari.
Untuk menghangatkan pertemuan yang jarang terjadi ini, Erna sudah menyajikan sepiring sepuh pisang hijau. Setandan pisang hijau diambil hari Minggu kemarin saat memantau kebun milik Yadi yang sudah menjadi miliknya sejak sepuluh tahun silam.
“Bujong itu pisang hijau, Ngah,” kata Hasan sambil mengangkat sepuh pisang yang sudah digigitnya setengah, “luarnya terlihat keras, dalamnya lembut.” Lalu, sisa pisang di tangannya habis dalam sekali telan.
Orang-orang kampung di Serasan punya julukan “pisang hijau” untuk suami yang terlihat patuh dan nurut pada istri.
Suatu kali, saat acara kenduri di kampung, di tengah ramainya tamu undangan, Bujong membawa tas milik istrinya. Itu adalah hal yang dihindari lelaki jantan seperti Hasan karena dianggap merendahkan martabat laki-laki di kampung, bahkan membuat malu. Saat itu Hasan dan Bujong duduk berdampingan sambil berbincang, tiba-tiba, Rika, istri Bujong, memberi isyarat dengan kode anggukan kepala yang berarti mengajak pulang.
Rokok yang masih sisa sebatang dibuang begitu saja. Bujong bersalaman dan pamit meninggalkan Hasan. Jelas, tidak hanya Hasan yang melihat Bujong kembali membawa tas milik istrinya.
Hasan berhenti sebentar untuk dua kali meneguk kahwa dan memakan sepotong sepuh pisang. Yadi ikut menyesap tehnya yang hampir habis. Setelah semua pisang selesai digoreng, Erna duduk di sebelah Yadi dan ikut menikmati hidangan pagi itu.
Padahal sebelum Hasan datang, Erna berniat mengurus bunga di teras depan tapi cerita Hasan mampu menempelkan punggungnya ke kursi dapur.
Setiap kali berangkat kerja sebagai tukang, Hasan selalu melewati rumah Bujong. Aktivitas luar rumah yang dilakukan oleh Bujong dapat dilihat oleh Hasan. Satu kejadian yang Hasan ingat jelas adalah saat Bujong sedang memegang sapu, satu pantangan bagi kebanyakan laki-laki, termasuk Hasan.
Tugas menyapu bagi Hasan adalah urusan istrinya. Ketika melewati rumah Bujong, dua-tiga kali Hasan menoleh ke arah Bujong untuk memastikan benar atau tidak. Ternyata, Bujong begitu lihai dalam mengayunkan sapu sementara istrinya tidak pernah terlihat melakukannya.
“Pernah sekali, waktu para lelaki di kampung berkumpul di warung Dayang Na, ponsel milik Bujong berdering. Semua sudah mengira pasti yang menelepon adalah istrinya tercinta. Benar saja, setelah menutup panggilan, Bujong langsung pamit dengan alasan istrinya minta dibelikan sesuatu. Kalau aku, kubiarkan saja. Istri pasti mengerti aku sedang bertemu dengan kawan-kawan. Memang Bujong tidak bisa diajak berkelakar lama-lama. Sepuh pisang hijau di meja malam itu pun hanya kami yang makan. Sepertinya, lidah Bujong tidak bisa memakan sesamanya.”
Suasana dapur kali itu tidak dapat lagi membendung tawa.
“Sudah benar-benar jumok, Bujong, ya.” Erna membayangkan jika Bujong memang pisang hijau yang sudah masak.
“Bukan jumok lagi tapi sudah mengka.”
Dengan nada yang dalam, Hasan malah menyebut Bujong seperti buah yang terlalu matang. Ia menambahkan cerita yang ia lihat sendiri. Saat hampir siang, Hasan masuk ke rumah Bujong, bermaksud meminjam parang untuk membelah kelapa karena parang di rumahnya tidak tahu ke mana.
Begitu masuk, pemandangan pertama yang ia lihat adalah Bujong sedang menggoreng ikan. Kata Bujong, istrinya sedang sibuk bersama ibu-ibu PKK kecamatan.
“Sampai-sampai tidak sempat menyiapkan sarapan untuk suaminya,” ungkap Hasan.
Bagi Hasan, itu bukan bentuk rasa sayang dan saling melengkapi, melainkan tanda laki-laki yang tidak berdaya di depan istri, yang dengan mudahnya diatur ini-itu. Tidak semua kemauan istri perlu dituruti dan itu tidak akan menimbulkan perpecahan.
Keluarga menjadi tanggung jawab suami dan istri tetap sebagai pendamping. Lelaki seperti Hasan di Kampung Serasan, masing-masing punya cara sendiri agar tidak terperangkap dengan gelar pisang hijau.
Hasan menghidupkan lagi satu batang rokoknya lalu ia menyambung, “Kalau aku sudah lelah bertukang. Istri mengajak keluar pun tidak aku layani. Soal rokok, istriku tidak mau melarang. Ya, begitu tanda sayang.” Bibir Hasan tertarik ke atas.
Pembicaraan mungkin akan berlanjut lebih jauh kalau saja istri Hasan tidak meneleponnya saat itu, “Besok ada kapal. Pulang!” Hasan tiba-tiba melihat Yadi dan Erna.
Ia lupa menonaktifkan pengeras suara dari layar gawai.
“Ceh, pisang hijau juga rupanya dia.”
Yadi tertawa lepas sekali seperti Erna. Hasan buru-buru mengakhiri obrolan itu dengan alasan membeli tiket kapal sebelum habis, sebelum Yadi dan Erna menyerangnya dengan gelar pisang hijau.
Yadi sedang mengarih gawainya. Erna memandang ke Yadi lalu terdengar kata-kata yang mencekiknya, “Cucian di belakang sudah selesai?”
Oleh:
Destriyadi Imam Nuryaddin
Pendiri Komunitas Natunasastra
Bintan, 14 Agustus 2025 — Dalam rangka meningkatkan mutu pembelajaran bahasa, kegiatan Peningkatan Kemahiran Berbahasa Indonesia (PKBI) bagi guru SD/sederajat di Kabupaten Bintan diselenggarakan oleh Kantor Bahasa Provinsi Kepulauan Riau pada 13–14 Agustus 2025 secara luring di Resor Awandari, Bintan. Kegiatan ini merupakan bagian dari rangkaian PKBI yang dirancang untuk memperkuat kemampuan guru dalam menggunakan bahasa Indonesia secara baik, benar, dan santun di lingkungan pendidikan. Selain itu, program ini diharapkan dapat memberikan bekal praktis yang dapat langsung diterapkan guru dalam kegiatan belajar mengajar di sekolah.