Laporan Wartawan Tribuncirebon.com, Eki Yulianto
TRIBUNCIREBON.COM, CIREBON- Geramnya warga Kota Cirebon atas kenaikan tarif Pajak Bumi dan Bangunan (PBB) yang disebut mencapai 1.000 persen, akhirnya mulai mendapat tanggapan serius dari Pemerintah Kota Cirebon.
Wali Kota Cirebon, Effendi Edo mengaku, pihaknya sedang menyiapkan langkah penurunan tarif tersebut, namun realisasinya baru bisa dilakukan pada 2026.
"Kami sedang mengupayakan penurunan tarif yang dikeluhkan masyarakat Kota Cirebon pada tahun 2026 nanti," ujar Effendi Edo, usai Rapat Paripurna DPRD Kota Cirebon dalam rangka Sidang Tahunan MPR RI dan Sidang Bersama DPR RI dan DPD RI, Jumat (15/8/2025).
Menurutnya, evaluasi tarif PBB harus melalui pembahasan revisi Peraturan Daerah (Perda) sebagai landasan hukum.
Penurunan tahun ini tidak memungkinkan, karena akan berdampak pada rancangan APBD yang sudah disusun.
"Kalau dipaksakan harus sekarang, nanti merubah semua rancangan APBD," ucapnya.
Edo menegaskan, kenaikan tarif hingga 1.000 persen itu bukan kebijakannya, melainkan berlaku pada masa kepemimpinan Pj Wali Kota sebelum ia menjabat.
"Kenaikan tarif itu sebelum saya menjabat. Jadi, saya juga tidak tahu alasannya," jelas dia.
Meski demikian, ia memberikan perhatian khusus dengan menerapkan diskon pembayaran PBB sebesar 50 persen dalam rangka peringatan Hari Kemerdekaan RI.
"Sekarang kita berlakukan diskon sebesar 50 persen," katanya.
Namun, langkah tersebut belum meredakan kekecewaan warga yang tergabung dalam Paguyuban Pelangi Cirebon.
Puluhan orang kembali berkumpul di sebuah rumah makan di Jalan Raya Bypass, Rabu (13/8/2025) malam, untuk menegaskan tuntutan mereka, yakni membatalkan kenaikan PBB hingga 1.000 persen.
Juru Bicara Paguyuban Pelangi Cirebon, Hetta Mahendrati, mengatakan perjuangan sudah berjalan sejak Januari 2024.
Mereka telah melakukan hearing dengan DPRD, turun ke jalan, mengajukan judicial review (JR), hingga mengadu ke Presiden Prabowo Subianto dan berbagai lembaga negara, namun belum ada hasil.
"Semua keluhan sudah kami sampaikan, tapi sampai detik ini belum ada satu pun jawaban," ujar Hetta.
Hetta mencontohkan, salah satu warga mengalami kenaikan PBB 1.000 persen, ada yang 700 persen, bahkan kasus ekstrem kenaikan 100.000 persen akibat kesalahan pemerintah.
"Orang itu sampai harus berutang ke bank untuk bayar PPHTB dan mengurus AJB. Apakah itu bijak?" ucapnya.
Paguyuban membawa empat tuntutan utama, termasuk membatalkan Perda No. 1 Tahun 2024 dan mengembalikan tarif PBB seperti tahun 2023, menurunkan pejabat yang bertanggung jawab, memberi tenggat satu bulan bagi Wali Kota untuk bertindak, serta mengingatkan agar pajak tidak dijadikan sumber utama PAD.
"Kalau di Pati bisa batalkan kenaikan PBB, kenapa di Cirebon tidak? Kami akan terus berjuang sampai tuntutan ini dikabulkan," jelas dia.
Wakil Ketua I DPRD Kota Cirebon, Harry Saputra Gani, memastikan revisi Perda No. 1 Tahun 2024 masuk Program Pembentukan Peraturan Daerah (Prolegda) 2025, dengan target pengesahan September nanti.
"DPRD dan Pemkot sepakat tarifnya tidak lagi 0,5 persen, tapi maksimal 0,3 persen."
"Nanti akan kita simulasikan lagi, bisa jadi 0,25 persen," kata HSG, sapaan akrabnya.
Menurutnya, lonjakan hingga 1.000 persen terjadi di beberapa titik akibat penyesuaian Nilai Jual Objek Pajak (NJOP) yang sudah belasan tahun tidak diperbarui.
"Kalau NJOP naik, otomatis PBB ikut naik. Tapi itu hanya terjadi di satu-dua titik," ujarnya.
HSG menambahkan, pemerintah sudah sempat memberikan diskon 50 sampai 70 persen untuk mengurangi beban masyarakat.
"Biar pengalinya nggak besar. Kita mau pastikan masyarakat tidak lagi terbebani seperti kemarin," ucap dia.