TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Revisi Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) memantik kekhawatiran serius terhadap potensi penyalahgunaan kekuasaan oleh aparat penegak hukum.
Muhammad Hafiz, Direktur Centra Initiative, sebuah lembaga advokasi kebijakan publik dan hak asasi manusia di Indonesia, menyoroti bahwa revisi KUHAP saat ini cenderung menyimpang dari prinsip konstitusional dan berisiko memperkuat dominasi satu institusi dalam proses hukum.
"Potensi penyalahgunaan aparat penegak hukum sebagai alat politik penguasa cukup besar jika kekuasaan yang ada pada aparat penegak hukum menjadi dominan dan absolut," katanya, dalam sebuah diskusi publik bertajuk "Konstitusionalisme KUHAP: Relevansi Asas Diferensiasi Fungsional dalam Penegakan Hukum", kemarin.
Ia menilai saat ini pembahasan terkait KUHAP tidak mengindahkan konstitusi.
Menurutnya hal tersebut akhirnya menyebabkan setidaknya dua hal.
"Pertama, Revisi KUHAP potensial melampaui rumpun pemisahan lembaga negara yudikatif dan eksekutif, dengan adanya perluasan kewenangan kendali perkara pada satu institusi."
"Kedua, agenda penguatan HAM dalam KUHAP tidak terakomodasi, terutama terhadap penyandang disabilitas, yang seharusnya diatur di dalam KUHAP adalah kepentingan masyarakat dan kelompok rentan, malah terlupakan," ujarnya.
Menurut Hafiz, jika merujuk pada Konstitusi, balancing of power dalam penegakan hukum harus dijaga dalam KUHAP.
Tidak boleh ada satu institusi yang terlalu powerfull untuk memegang semua proses penegakan hukum, karena pasti akan mengakibatkan adanya abuse of power.
Untuk itu, sambungnya, KUHAP seharusnya konsisten dengan prinsip check and balances agar potensi-potensi penggunaan kekuasaan untuk kepentingan politik bisa dihindari.
"Untuk yang kedua, karena terlalu ambisius memperluas kewenangan, kelompok disabilitas berhadapan dengan hukum tidak diatur secara komprehensif dalam KUHAP. Padahal konsep hukum terkait disabilitas sudah berkembang dengan baik," katanya.
Implikasinya, person with disability bisa terkena hukuman maksimal seperti hukuman mati. Contohnya dalam kasus Rodrigo warga negara Brasil yang dieksekusi mati, padahal secara medis dia terkonfirmasi skizofrenia.
Lebih lanjut, berkenaan dengan kewenangan Penyitaan dan Penyadapan, ada dua hal yang perlu diperhatikan.
Di satu sisi, penyitaan itu perlu dipastikan apakah prosesnya sudah akuntabel dan transparan.
Perlu untuk diperhatikan apakah ada potensi-potensi barang sitaan kemudian hilang, defisit atau susut akibat ulah dari penegakan hukum itu sendiri.
Politik Militer
Masih dalam diskusi yang sama, Akademisi Fakultas Hukum Universitas Trisakti Bhatara Ibnu Reza menilai bahwa KUHAP yang sedang direvisi pemerintah dan DPR dapat dibaca sebagai bagian dari penyempurnaan politik militer yang telah berlangsung sejak lama.
Menurutnya, sejak awal kemerdekaan, militer tidak hanya berfungsi sebagai alat pertahanan negara, tetapi juga memainkan peran signifikan dalam politik dan pemerintahan.
Bhatara menyebut pada masa Orde Lama, keterlibatan militer dilegitimasi melalui doktrin "Dwifungsi ABRI" yang kemudian dipertahankan dan diperkokoh di era Orde Baru, dimana militer menguasai berbagai jabatan sipil, memengaruhi pembentukan kebijakan hukum, dan menjaga kekuasaan eksekutif.
"Pola ini tidak sepenuhnya hilang pascareformasi, tetapi justru bertransformasi ke dalam bentuk-bentuk baru yang lebih soft melalui regulasi dan kebijakan hukum," ujar Bhatara.
Polemik RUU KUHAP
Sorotan terhadap RUU KUHAP meningkat sejak awal 2025, ketika DPR RI menetapkan revisi KUHAP sebagai RUU inisiatif, dengan target diberlakukan bersamaan dengan KUHP baru pada 1 Januari 2026.
Ada beberapa hal yang menyebabkan publik menganggap RUU KUHAP ini bermasalah.
Mulai Minimnya Mekanisme Check and Balances hingga pengabaian hak penyandang disabilitas.
1. Pemusatan Kewenangan
Revisi KUHAP membuka ruang bagi satu institusi untuk mengendalikan proses hukum secara absolut, melampaui batas pemisahan kekuasaan antara yudikatif dan eksekutif.
2. Minimnya Mekanisme Check and Balances
Tidak ada jaminan mekanisme kontrol yang cukup terhadap kewenangan penyadapan, penyitaan, dan penahanan, sehingga berisiko disalahgunakan untuk kepentingan politik.
3. Pengabaian Kelompok Rentan
Hak-hak penyandang disabilitas, tersangka, dan terdakwa belum diatur secara komprehensif, meskipun Indonesia telah meratifikasi berbagai konvensi internasional tentang HAM.
Potensi Kriminalisasi dan Abuse of Power KUHAP yang terlalu longgar dalam pengaturan prosedural bisa menjadi alat untuk menekan oposisi atau kelompok kritis terhadap pemerintah.