Anggaran besar untuk pendidikan pada tahun 2026 adalah peluang emas, tapi juga ujian. Kita harus memastikan bahwa investasi ini benar-benar mengubah wajah pendidikan Indonesia

Jakarta (ANTARA) - Presiden Prabowo Subianto menegaskan bahwa pendidikan merupakan pilar utama dalam mencetak sumber daya manusia unggul dan berdaya saing global.

Komitmen ini tercermin dalam alokasi anggaran pendidikan tahun 2026 mencapai Rp757,8 triliun, angka tertinggi dalam sejarah Indonesia, setara dengan 20 persen dari APBN sebagaimana amanat konstitusi.

Anggaran besar ini juga membawa harapan besar: sekolah yang lebih baik, guru yang lebih sejahtera, dan generasi muda yang lebih siap menghadapi tantangan dunia.

Di balik gemerlap angka-angka mercusuar itu, muncul pertanyaan: apakah dana sebesar itu benar-benar mengubah wajah pendidikan Indonesia, atau sekadar jadi monumen statistik tapi kosong?

Filosofi pendidikan, sebagaimana diajarkan Ki Hajar Dewantara, adalah proses memanusiakan manusia, menumbuhkan jiwa merdeka, kritis dan kreatif. Namun, realitas di lapangan seringkali bertolak belakang.

Anggaran Rp178,7 triliun untuk gaji, kompetensi, dan kesejahteraan guru serta dosen, terdengar sangat menjanjikan. Begitu pula alokasi Rp150,1 triliun untuk renovasi 13.800 sekolah dan 1.400 madrasah, distribusi 288.000 layar pintar, serta penguatan program Indonesia Pintar dan KIP Kuliah untuk jutaan siswa dan mahasiswa, cukup memberi harapan.

Tanpa pengelolaan yang tepat sasaran, dana sebesar ini dapat tersesat pada ruang birokrasi dan berpotensi bocor.

Namun, tantangan tetap ada. Distribusi layar pintar, misalnya, tidak akan banyak berarti jika infrastruktur internet di pelosok negeri masih tertatih-tatih. Distribusi teknologi harus dibarengi dengan penguatan infrastruktur digital, terutama di daerah terpencil. Ketimpangan akses internet perlu diatasi agar anak-anak di pedalaman juga bisa menikmati pembelajaran berkualitas, termasuk dari “guru terbaik secara virtual.” Ini bukan sekadar tantangan teknis, melainkan panggilan moral untuk memastikan kesetaraan dalam pendidikan.

Pendidikan vokasi, yang menjadi salah satu fokus pemerintah, patut diapresiasi. Penyelarasan kurikulum dengan kebutuhan industri adalah langkah strategis untuk membekali generasi muda dengan keterampilan relevan.

Namun, yang perlu diwaspadai adalah risiko reduksionisme. Pendidikan tetap harus menjadi ruang pembentukan karakter, kreativitas, dan kepekaan sosial, karena kita tidak hanya mencetak tenaga kerja, tetapi membentuk manusia yang mampu berpikir kritis dan berkontribusi secara bermakna.

Keberpihakan pada rakyat miskin

Program Sekolah Rakyat dan Sekolah Unggul Garuda yang ditujukan untuk anak-anak dari keluarga kurang mampu, adalah ide mulia. Keberhasilan program ini akan sangat bergantung pada eksekusi yang transparan dan akuntabel.

Sementara itu, Lembaga Pengelola Dana Pendidikan (LPDP) yang menargetkan beasiswa untuk 4.000 mahasiswa di universitas terbaik dunia juga patut diapresiasi, sembari tetap memastikan agar para penerima beasiswa kembali dan berkontribusi bagi Indonesia, bukan justru memperkaya negara lain dengan talenta mereka.

Satu pertanyaan yang sering muncul di masyarakat adalah kenapa pendidikan di Indonesia seolah tak kunjung maju? Satu hal esensial yang patut disorot untuk menjawab pertanyaan ini adalah karena setiap rezim pendidikan berganti, pusat perhatian berubah, cara lama dianggap tidak relevan, lalu tambal sulam aturan yang kadang justru tak menyentuh substansi pendidikan.

Inti pendidikan bukan sekadar memperbarui kurikulum atau mengatur mekanisme ujian. Tujuan pendidikan sesungguhnya adalah bagaimana dapat mendorong perubahan kualitas manusia: membentuk karakter yang utuh dan tangguh, membuka cakrawala pengetahuan, dan mengasah pengalaman hidup menjadi pengetahuan baru yang bermanfaat.

Pendidikan adalah proses menyemai benih potensi menjadi kapabilitas yang siap menghadapi tantangan zaman. Kapabilitas hanya bisa bertumbuh ketika setiap peserta didik diberi ruang untuk belajar dalam kebebasan dan kesetaraan dalam ekosistem pendidikan yang sehat dan bernilai.

Pendidikan bukan hanya mendidik akal, tetapi juga menuntun jiwa untuk memahami tujuan setelah mencapai fase kelulusan. Itulah mengapa dalam pendidikan diperlukan keseimbangan antara pengembangan potensi diri dengan keberagaman kecerdasan, dan dukungan sarana prasarana memadai. Domain dan field harus tersedia: ruang untuk bertumbuh dan medan untuk menjelajah.

Menuju pendidikan unggul

Kemampuan tanpa keberfungsian hanya akan menjadi pelengkap sebuah program. Pendidikan unggul harus membekali manusia untuk bertindak dalam dunia nyata, menghadapi kompleksitas hidup sebagai generalis yang tangguh dengan keahlian khas.

Hal itu menuntut strategi lingkungan yang menopang: politik pendidikan dan meritokrasi yang inklusif.

Kapabilitas yang dibentuk di ruang kelas hanya akan tumbuh bila dipelihara dalam tanah yang menjamin kesetaraan dan membuka jalan inovasi. Maka sistem pendidikan, inovasi, dan ekonomi harus teranyam dalam satu harmoni.

Talenta unggul akan sia-sia tanpa ekosistem yang menumbuhkan. Pendidikan yang unggul tak diukur dari seberapa banyak yang diajarkan, tapi seberapa jauh manusia dibebaskan. untuk mencipta, memperbaiki, dan mengubah dunia.

Pendidikan adalah seni memahat manusia --membentuk karakter tangguh, membuka cakrawala pengetahuan, dan mengasah kepekaan jiwa.

Seperti kata filsuf Hannah Arendt, pendidikan adalah “cinta pada dunia,” menyiapkan insan untuk bertindak bermakna di tengah kompleksitas hidup. Inti sebuah pendidikan adalah membebaskan potensi. Teori kecerdasan majemuk dari Howard Gardner mengingatkan kita bahwa setiap individu memiliki keunikan intelektual yang harus dihargai.

Finlandia menjadi studi kasus gemilang: sistem pendidikannya menekankan kebebasan belajar, kesetaraan akses, dan pengembangan holistik, menghasilkan generasi inovatif dan mandiri.

Anggaran besar untuk pendidikan pada tahun 2026 adalah peluang emas, tapi juga ujian. Kita harus memastikan bahwa investasi ini benar-benar mengubah wajah pendidikan Indonesia.

Pendidikan unggul harus menjadi harmoni sistem, inovasi, dan keadilan sosial. Ia tidak diukur dari seberapa banyak yang diajarkan, tetapi dari seberapa jauh manusia dibebaskan --untuk mencipta, memperbaiki, dan mengubah dunia.

Dengan keberanian mereformasi sistem secara mendasar —dari kurikulum yang membebaskan hingga guru yang dihormati sebagai pahlawan bangsa— Indonesia dapat melangkah menuju masa depan yang lebih cerah, adil, dan beradab.

*) Dr. Eko Wahyuanto, dosen Sekolah Tinggi ST-MMTC Komdigi Yogyakarta.