penyidik mendalami terkait rekening penampungan yang digunakan tersangka untuk menampung uang dari para agen TKA
Jakarta (ANTARA) - Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) mengusut permintaan pembelian aset oleh tersangka kasus pemerasan izin kerja tenaga kerja asing (TKA) kepada agen pengurusan izin kerja atau rencana penggunaan TKA (RPTKA).
Juru Bicara KPK Budi Prasetyo menjelaskan pengusutan dilakukan lembaga antirasuah tersebut saat memeriksa Direktur Utama PT Laman Davindro Bahman berinisial YNY pada Selasa (19/8).
“Saksi YNY didalami terkait permintaan pembelian aset oleh tersangka kepada agen yang mengurus RPTKA dimaksud,” ujar Budi kepada para jurnalis di Jakarta, Selasa.
Selain itu, Budi menjelaskan KPK mengusut rekening penampungan terkait kasus dugaan pemerasan dalam pengurusan RPTKA di lingkungan Kementerian Ketenagakerjaan saat memeriksa saksi atas nama MFA selaku karyawan swasta.
“Terhadap saksi MFA, penyidik mendalami terkait rekening penampungan yang digunakan tersangka untuk menampung uang dari para agen TKA,” katanya.
Sebelumnya, pada 5 Juni 2025, KPK mengungkapkan identitas delapan orang tersangka kasus pemerasan dalam pengurusan RPTKA di Kemenaker, yakni aparatur sipil negara di Kemenaker bernama Suhartono, Haryanto, Wisnu Pramono, Devi Anggraeni, Gatot Widiartono, Putri Citra Wahyoe, Jamal Shodiqin, dan Alfa Eshad.
Menurut KPK, para tersangka dalam kurun waktu 2019–2024 telah mengumpulkan sekitar Rp53,7 miliar dari pemerasan pengurusan RPTKA.
KPK menjelaskan bahwa RPTKA merupakan persyaratan yang harus dipenuhi oleh tenaga kerja asing agar dapat bekerja di Indonesia.
Apabila RPTKA tidak diterbitkan Kemenaker, penerbitan izin kerja dan izin tinggal akan terhambat sehingga para tenaga kerja asing akan dikenai denda sebesar Rp1 juta per hari. Dengan demikian, pemohon RPTKA terpaksa memberikan uang kepada tersangka.
Selain itu, KPK mengungkapkan bahwa kasus pemerasan pengurusan RPTKA tersebut diduga terjadi sejak era Abdul Muhaimin Iskandar atau Cak Imin menjabat Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi pada periode 2009–2014, yang kemudian dilanjutkan Hanif Dhakiri pada 2014–2019, dan Ida Fauziyah pada 2019–2024.
KPK lantas menahan delapan tersangka tersebut. Kloter pertama untuk empat tersangka pada 17 Juli 2025, dan kloter kedua pada 24 Juli 2025.