Tak terkira kepedihan di dada Samen, ketika itu masih 56 tahun, ibunda Sumanto. Betapa tidak, tingkah laku anak sulungnya itu menggegerkan masyarakat, yaitu mencuri dan makan mayat. Berikut ungkapan kegeraman dan duka lara ibu lima anak ini pada NOVA, Kamis, 23 Januari 2003.
Ditulis oleh Rini Sulistyati berdasarkan dari penuturan Samen, ibu sumanto, dengan judul "Curahan hati ibunda Sumanto"
---
Intisari hadir di WhatsApp Channel, follow dan dapatkan berita terbaru kami di sini
---
Intisari-Online.com -"Biar saja aku kehilangan anak," begitulah reaksiku ketika tahu Sumanto disebut suka makan daging mayat.
Sungguh aku sangat terkejut, heran, dan ketakutan ketika orang-orang di desaku Srengseng, Palumutan, Purbalingga, Jawa Tengah, mengabarkan ada mayat hilang dari kuburan. Mayat Mbah Rinah (81) hilang Minggu, 12 Januari 2003.
"Kok bisa mayat hilang dari liang kubur," pikirku. Kasus mayat hilang ini benar-benar sangat menggegerkan desa.
Dua hari kemudian, dadaku terasa mau rontok. Bayangkan, Sumanto, anak sulungku, ditangkap polisi. Dia dituduh mencuri dan memakan mayat Mbah Rinah. Makan mayat? Sungguh bulu kudukku merinding. Kelakuan anakku, kok, tidak umum. Perbuatannya benar-benar tidak seperti manusia. Aku hanya bisa menangis.
Sebagai ibunya, aku malu luar biasa. Betapa tidak, semua orang datang dan membicarakan perbuatan terkutuknya. Ke mana-mana aku mendengar kelakuan buruk Manto jadi pembicaraan orang. Buntutnya, namaku juga dibawa-bawa.
Ah, kalau tahu dia bakal makan orang, mending dia tidak kulahirkan saja. Atau begitu lahir langsung saya cekik sampai mati dan langsung aku buang. Aku benar-benar geram mendengar kelakuannya yang bejat. Itu sebabnya, aku tak mau lagi menerima Manto. Mau matiku pun aku tidak peduli lagi. Lebih baik dia pergi jauh dari hadapanku. Aku juga enggak mau menjenguk dia di tahanan.
Perbuatan Manto sungguh mengecewakanku. Padahal, sebelumnya aku menyayanginya. Penampilannya memang seperti gembel dan bau. Kadang, dia juga pelit sama adiknya. Tapi, namanya saja anak. Betapa pun aku sayang padanya.
Sehari-hari, aku tidak tinggal bersama Manto. Dia tinggal bersama ayahnya, Mulyo Wikarto, beberapa puluh meter dari rumahku. Aku memang sudah lama pisahan dari suamiku. Habis dia pemalas. Maunya makan, tidur, dan ingin hidup enak. Aku enggak sudi dibebani lelaki macam itu. Kami enggak resmi cerai. Habis sudah tua. Aku cuma menyingkiri dia.
RAJIN BEKERJA
Bicara soal Manto, tak pernah terlintas dalam benakku dia bakal seperti ini. Masa kecilnya biasa saja. Sebagai orang tak punya, dia tak pernah menuntut apa-apa. Namanya anak-anak, dia sering minta uang jajan. Meski aku tak memberinya uang, dia diam saja.
Pergaulannya dengan teman sebaya juga normal-normal saja. Soal ibadah, sejak kecil dia juga biasa-biasa saja, tak terlalu rajin. Cuma pas bulan puasa dia ikut salat tarawih. Tiba Lebaran, dia juga minta maaf padaku.
Lulus SMP, Manto pamit mau merantau ke Lampung. Kutangisi kepergiannya. Bagaimana enggak nangis, anak masih ingusan, kok, mau merantau. Padahal tidak ada sanak-saudara di sana. Mau kerja apa dia juga belum tahu. Aku hanya bisa memberi uang saku seadanya.
Lima tahun di Lampung, dia tak pernah memberi kabar apa pun. Sampai akhirnya, dia pulang ke desa. Entah kenapa, dia memilih tinggal dekat ayahnya. Dia mendirikan bangunan semi permanen di bekas reruntuhan rumah kakek dan neneknya. Tapi, dia sering main ke rumah. Hanya saja, kami jarang bercakap-cakap. Aku tawari makan dia juga enggak mau. Dia bicara hanya mau masuk rumah dan pamit pulang saja.
Terkadang Manto minta uang untuk membeli sebatang rokok. Pernah aku tak memberinya. Habis aku enggak punya uang. Eh, dia jadi marah-marah. Pernah dia mengumpat. Katanya, aku yang menghabiskan harta benda ayahnya.
Sambil marah-marah, dia suka melempar batu atau tanah ke arahku. Aku hanya bisa mengelus dada melihat tingkahnya.
Meski sikapnya kasar, aku tak sakit hati. Apalagi aku melihat dia rajin bekerja. Orang-orang desa sering menyewa tenaganya untuk mencangkul atau menunggu sawah. Karena rajin bekerja, banyak anak-anak yang suka padanya.
RELA DIHUKUM MATI
Entah apa sebabnya, lambat laun sikapnya berubah. Yang gampang dilihat, dia tidak pernah mandi dan ganti pakaian. Tak heran, bau badannya tak sedap. Anak-anak di sini jadi menyingkir bila dekat dengannya. Anak-anak suka mengolok, "Bau badanmu bau!" Tapi, Manto tenang-tenang saja.
Waktu berlalu, sampai akhirnya kudengar kelakuan Manto yang begitu mengiris hatiku. Belakangan kudengar dia suka makan daging mentah. Pantas saja tetangga sekitar rumah sering kehilangan ayam dan anak kambing. Namun, waktu itu tak ada yang menuduh Manto. Sungguh aku tak mengira, dia suka makan daging mentah, apalagi makan mayat! Huh, membayangkan saja aku jijik.
Sungguh aku menyesalkan sikapnya. Apalagi, perubahan itu terjadi setelah dia pulang dari Lampung. Belakangan aku tahu, dia ke Lampung untuk mencari ilmu. Kenapa jadi begini? Ya sudah, biar ditanggung sendiri. Aku tidak mau turut campur.
Aku juga tak peduli, masyarakat sekitar tak mau menerima kedatangan dia di desa. Biar saja. Aku tak mau menghalangi. Sebaliknya aku malah senang. Biar saja aku kehilangan satu anak. Seandainya dia kelak dihukum mati, aku juga rela.
Memang benar aku kesal dengan sikapnya. Namun, jujur saja aku sering menangis melihat nasibnya. Sembilan bulan aku mengandung. Dengan perjuangan dia kulahirkan. Dan dengan susah payah aku membesarkan dia. Kenapa, kok, jadinya malah seperti ini. Manto … Manto ....