Jakarta (ANTARA) - Dokter Spesialis Radiologi lulusan Universitas Indonesia dr. Yonathan William, Sp. Rad membeberkan sejumlah tantangan yang dihadapi sektor kesehatan untuk mengembangkan sistem Magnetic Resonance Imaging (MRI) di Indonesia.
"Berita BBC Inggris ini katanya dunia terus kehabisan helium. Sekarang ada perlombaan untuk mempersiapkan diri menghadapi kekurangan berikutnya," kata Yonathan dalam konferensi pers di Jakarta, Jumat.
Yonathan mengatakan tantangan pertama yakni jumlah helium terus berkurang di seluruh dunia bahkan dalam kurun waktu 10 tahun terakhir. Helium adalah gas yang paling banyak ditemukan di alam semesta dan bentuknya sangat ringan, sehingga mudah untuk menyebar di atmosfer.
Proses pemisahan helium dengan gas alam lainnya sangat sulit dan tidak efisien. Belum lagi pemasok helium terbesar yakni Amerika Serikat, Qatar, Rusia, Algeria, China, Kanada dan Polandia, beberapa di antaranya sedang sangat rentan terhadap isu geopolitik.
"Sehingga begitu, barusan salah satu pipa minyak Rusia kemarin dua hari yang lalu di bomnya. Ukraina karena perang. Kita tidak tahu kapan itu produsen gasnya kena bom juga. Bisa tiba-tiba supply heliumnya jatuh karena perang di Rusia," katanya.
"Memang ada calon-calon supply baru dari China, Tanzania, Iran, dan Qatar, tapi kita bisa lihat nama-namanya juga sangat rentan terhadap isu geopolitik dan pengguna paling banyak adalah otomatis kesehatan," tambahnya.
Tantangan berikutnya yakni adanya ruangan untuk meletakkan MRI beserta desainnya. MRI merupakan alat dengan magnet raksasa, yang penggunaannya harus dibatasi sebisa mungkin tidak menyebar ke luar ruangan, sehingga memerlukan ruangan khusus yang telah diukur dan tidak bisa dimasuki oleh sembarang orang.
Zona ruangan pun dibagi secara berlapis guna mencegah kebocoran yang dapat menyebabkan kerusakan pada alat elektronik lain dan berdampak pada kesehatan manusia.
MRI juga sangat rentan dengan kerusakan yang diakibatkan oleh air, mati lampu yang berkepanjangan, quench pipe atau pipa yang dipasang pada sistem MRI untuk membuang gas helium cair mendidih secara mendadak.
Sumber daya manusia di negara berkembang seperti Indonesia juga menjadi tantangan karena kurangnya jumlah radiolog yang mengerti penggunaan MRI.
Belum lagi kebutuhan MRI kian waktu menjadi sangat tinggi di saat kapasitas alat masih terbatas seperti di Indonesia.
Merujuk pada kondisi MRI tersebut, dia menyarankan bahwa di masa depan Indonesia harus bisa menghadirkan MRI yang canggih dan tidak ketinggalan zaman, serta sistem manajemennya yang baik.
Sistem harus kuat dan tidak rentan terhadap situasi apapun seperti gempa, banjir ataupun badai. Selain itu alat MRI harus menawarkan fleksibilitas dalam pemasangan.
"Terutama di rumah sakit-rumah sakit yang mungkin di daerah yang belum pernah punya pengalaman pemasangan ini. Makin sederhana pemasangannya akan sangat bermanfaat untuk mengatasi kebutuhan nasional kita," kata Yonathan, yang bekerja di Rumah Sakit EMC Tangerang itu.
Sistem, katanya harus didesain semudah mungkin untuk dipakai pengguna karena sumber daya manusia di Indonesia belum setara dengan negara lain yang lebih maju.