Loker Kamboja Kembali Makan Korban, Kini Agus Disekap dan Siminta Tebusan Rp 50 Juta
muh radlis August 26, 2025 01:30 PM

TRIBUNJATENG.COM - Agus Hilimi, pria asal Desa Tolotio, Kecamatan Tibawa, Kabupaten Gorontalo, menjadi korban penyekapan di Kamboja.

Ia diminta membayar uang tebusan sebesar Rp50 juta agar dapat kembali ke tanah air.

Melalui panggilan video pada Selasa (26/8/2025), Agus mengungkapkan kronologi bagaimana dirinya terjebak dalam sindikat penipuan berkedok tawaran kerja di luar negeri.

Ia bercerita, pada 7 Agustus 2025 dirinya berangkat dari Gorontalo setelah dibujuk oleh seorang teman bernama Eby.

Agus dijanjikan pekerjaan di Thailand dengan gaji besar, mencapai Rp9 juta per bulan.

"Saat itu kami ditawarkan gaji yang cukup besar," ungkapnya melalui panggilan video yang dilakukan secara sembunyi-sembunyi.

Agus tidak berangkat sendirian. Ia sempat ditemani rekannya, Handi.

Namun, Handi memilih pulang ketika masih berada di Jakarta karena curiga dengan kejanggalan yang ditemui.

Dengan keyakinan penuh, Agus tetap melanjutkan perjalanan seorang diri hingga akhirnya berujung pada penyekapan di Kamboja.

Ternyata, perjalanan tersebut tidak resmi.

Agus dipaksa berbohong saat mengurus paspor, yaitu dengan membuat paspor wisata ke Malaysia, bukan paspor kerja. 

Tanpa menaruh curiga, Agus melanjutkan perjalanan hingga akhirnya terjerumus ke dalam jaringan sindikat.

"Awalnya saya hanya ingin mencari rezeki yang halal, supaya bisa bantu keluarga. Tapi ternyata saya ditipu, saya dibawa ke Kamboja, bukan Thailand," terangnya.

Setibanya di Kamboja, Agus langsung dipaksa bekerja untuk menipu orang lain melalui jaringan online. Ia ditargetkan untuk merekrut korban sebagai "member". 

Jika gagal, ia akan didenda 100 dolar Amerika, atau setara dengan Rp1,6 juta.

"Saya tidak bisa komputer, jadi tidak tahu harus bagaimana. Saya tidak mau kerja menipu orang," kata Agus dengan suara lirih.

Agus mengaku ingin segera pulang ke Gorontalo karena diancam akan dijual ke perusahaan lain. Gaji yang dijanjikan sebesar Rp9 juta juga fiktif. 

Perusahaan ilegal yang menahannya beralasan bahwa biaya tiket dan perjalanan sudah dipotong dari upahnya. 

Jika nekat meminta pulang, ia diwajibkan membayar denda sebesar Rp50 juta.

"Saya sudah tidak tahan. Saya mohon pemerintah Indonesia bisa memulangkan saya. Saya ingin kembali ke orang tua, saya ingin pulang ke Gorontalo," pinta Agus penuh harap.

Sementara itu, keluarga Agus di Gorontalo hanya bisa menangis. Sang ibu, Hadija B. Tuli, mengaku sudah khawatir sejak awal kepergian putranya. "Pas dia mau pergi kami sudah tanya, 'yakin sudah dengan keputusan ini?' Dia bilang iya. Kami hanya bisa pasrah. Tapi ternyata dia hanya dijebak dan disekap di sana," tutur Hadija sambil meneteskan air mata.

Pihak keluarga telah melaporkan kasus ini ke Polda Gorontalo dan berharap pemerintah daerah maupun pusat segera mengambil langkah.

"Kami mohon kepada Bupati Gorontalo, Gubernur Gorontalo, tolong anak kami dipulangkan. Kami takut terjadi hal buruk pada dia di sana," pinta Hadija.

Kasus yang menimpa Agus diduga kuat merupakan bagian dari praktik perdagangan manusia yang marak menjerat anak-anak muda di Indonesia. 

Dengan iming-iming gaji tinggi, korban dijebak, diselundupkan, lalu dipaksa bekerja secara ilegal di luar negeri.


Pemerintah melarang WNI bekerja di Kamboja

Pemerintah Indonesia secara resmi melarang penempatan tenaga kerja Indonesia (TKI) ke tiga negara di Asia Tenggara, yaitu Kamboja, Myanmar, dan Thailand.

Larangan ini diberlakukan menyusul maraknya kasus Tindak Pidana Perdagangan Orang (TPPO) yang menimpa warga negara Indonesia (WNI) di kawasan tersebut.

Menteri Pelindungan Pekerja Migran Indonesia, Abdul Kadir Karding, menegaskan bahwa keputusan ini diambil karena ketiga negara tersebut belum memiliki kerja sama resmi dengan Indonesia terkait penempatan tenaga kerja.

Tanpa adanya payung hukum yang jelas, risiko eksploitasi terhadap TKI di negara-negara itu sangat tinggi.

"Kita ini sama Kamboja, Myanmar, dan Thailand tidak punya kerja sama penempatan. Kalau tidak punya kerja sama penempatan sebenarnya tidak boleh. Dan apalagi di sana banyak warga kita kena TPPO, makanya saya berinisiatif untuk melarang itu," tegas Karding di Solo, Senin (14/4/2025).

Pernyataan tersebut disampaikan Karding usai menandatangani nota kesepahaman (MoU) bersama Pemerintah Kota Solo dan Universitas Sebelas Maret (UNS).

Meskipun larangan diberlakukan di beberapa negara, Karding menyatakan bahwa permintaan terhadap tenaga kerja asal Indonesia masih sangat tinggi.

Saat ini, tercatat ada permintaan sebesar 1,7 juta orang, terutama dari negara-negara seperti Taiwan, Hong Kong, dan Arab Saudi. Namun, dari jumlah tersebut, baru 297.000 orang yang berhasil ditempatkan secara legal.

Pemerintah menargetkan peningkatan penempatan menjadi 425.000 orang pada tahun 2025. "Tahun ini saya menargetkan 425.000 dari 297.000," ungkap Karding.

Ia juga menyebut bahwa Arab Saudi secara khusus meminta jumlah besar TKI. "Arab Saudi itu menghubungi saya minta 650.000 orang tenaga kerja untuk dikirim ke Arab Saudi. Tapi harus dibuka dulu MoU-nya," jelasnya.

Karding memastikan, semua proses penempatan TKI harus melalui mekanisme resmi dan kerja sama bilateral demi menjaga hak dan keselamatan para pekerja migran di luar negeri.

 

© Copyright @2025 LIDEA. All Rights Reserved.