TRIBUNJATIM.COM - Imbas aksi demonstrasi besar-besaran membuat sejumlah anggota DPR Ri dinonaktifkan per Senin (1/9/2025).
Adapun anggota DPR yang dinonaktifkan di antaranya Wakil Ketua Komisi III DPR RI, Ahmad Sahroni.
Kemudian Eko Hendro Purnomo atau yang lebih dikenal sebagai Eko Patrio yang menjabat sebagai Sekretaris Jenderal (Sekjen) PAN, anggota DPR RI sekaligus Wakil Ketua Komisi VI.
Surya Utama atau lebih dikenal Uya Kuya, anggota DPR di Komisi IX.
Wakil Ketua DPR RI, Adies Kadir serta Nafa Urbach anggota DPR di Komisi IX.
Mereka dinonaktifkan oleh partai setelah menjadi sasaran kemarahan publik lantaran melontarkan pernyataan dan sikap yang dianggap melukai hati rakyat.
Lantas apakah dinonaktifkan berarti dipecat dari jabatannya?
Apa perbedaan status DPR yang nonaktif dan dipecat?
Beda status DPR nonaktif dan dipecat
Dikutip dari Kompas.com, anggota DPR yang dinonaktifkan tidak memiliki status yang sama dengan dipecat.
Status nonaktif berarti anggota DPR untuk sementara waktu tidak menjalankan tugas dan kewenangan sebagai wakil rakyat hingga ada keputusan lanjutan.
Status nonaktif pada anggota DPR sama dengan pemberhentian sementara.
Artinya, Ahmad Sahroni, Nafa Urbach, Eko Patrio, Uya Kuya, dan Adies Kadir tidak kehilangan statusnya sebagai anggota DPR. Mereka masih tercatat sebagai anggota dewan aktif.
Lantaran masih anggota dewan aktif, mereka juga tetap berhak menerima gaji serta fasilitas keuangan lainnya.
Hal ini sesuai pada Pasal 19 Peraturan DPR Nomor 1 Tahun 2020 tentang Tata Tertib.
Dalam Pasal 19 ayat 4, disebutkan bahwa anggota yang diberhentikan sementara tetap mendapatkan hak keuangan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
Hak tersebut tidak hanya berupa gaji pokok, melainkan juga berbagai tunjangan.
Berdasarkan Surat Edaran Setjen DPR RI No.KU.00/9414/DPR RI/XII/2010, tunjangan yang dimaksud meliputi tunjangan istri/suami, anak, jabatan, kehormatan, komunikasi, hingga tunjangan beras.
Pemecatan DPR melalui mekanisme lebih panjang
Sementara, pemecatan berarti pencabutan permanen status keanggotaan di DPR yang biasanya melalui mekanisme lebih panjang dan melibatkan partai politik pengusung maupun keputusan resmi lembaga legislatif.
Di Indonesia, presiden dan DPR sesuai konstitusi memiliki kedudukan yang sejajar sebagai lembaga negara.
Keduanya merupakan mitra yang tidak dapat saling menjatuhkan.
Hal ini sebagaimana tertuang dalam Pasal 7C UUD 1945 yang menyatakan presiden tidak dapat membekukan dan/atau membubarkan DPR.
Selain itu, presiden juga tidak bisa memberhentikan anggota DPR dan tidak memiliki kewenangan untuk memecat anggota DPR.
Namun, pemberhentian anggota DPR bisa diusulkan oleh ketua umum partai politik dan sekretaris jenderal kepada pimpinan DPR dengan tembusan kepada presiden.
Dikutip dari Kompas.com (13/10/2020), sejumlah alasan yang menyebabkan anggota DPR dapat diberhentikan, seperti:
Pemberhentian anggota sebagaimana dimaksud dalam poin ketiga, empat, tujuh, dan delapan diusulkan oleh ketua umum partai politik dan sekretaris jenderal kepada pimpinan DPR dengan tembusan kepada presiden.
Presiden kemudian akan meresmikan pemberhentian anggota DPR tersebut.
Selain alasan itu, pemberhentian akan didasarkan pada putusan Mahkamah Kehormatan Dewan (MKD).
MKD akan menyampaikan laporan dalam rapat paripurna DPR untuk mendapatkan persetujuan mengenai pemberhentian tersebut.