Kita belajar dari sejarah, jangan biarkan bangsa ini kembali terluka karena pemimpin abai mendengar. Seharusnya pemimpin hadir sebelum rakyat menjerit, bukan setelahnya

Kuala Lumpur (ANTARA) - Gelombang demonstrasi yang melanda Jakarta dan berbagai wilayah di Indonesia harus menjadi bahan renungan nasional bagi para pemimpin di Indonesia.

Para pemimpin bangsa selayaknya menjadikan momen ini sebagai teguran moral untuk berkontemplasi dan berbenah, dan cita-cita kemerdekaan harus kembali dijadikan kompas dalam setiap langkah politik.

Demonstrasi yang melanda Jakarta dan sejumlah daerah di Indonesia belakangan ini berawal dari kekecewaan rakyat atas wacana kenaikan tunjangan para anggota Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia (DPR RI) yang dinilai sudah tidak wajar.

Kekecewaan publik memuncak saat sejumlah anggota legislatif merespons kenaikan tunjangan tersebut dengan perbuatan dan pernyataan yang dianggap tidak mewakili rakyat, seperti berjoget-joget.

Tindakan dan pernyataan tersebut memicu protes massa dari berbagai macam kalangan dan berujung pada turunnya mahasiswa, buruh, hingga elemen masyarakat sipil ke jalan untuk menyuarakan keresahannya.

Menteri Dalam Negeri Tito Karnavian melaporkan, aksi terjadi di 107 titik pada 32 provinsi dengan sebagian berlangsung secara damai dan kondusif.

Namun, terdapat juga aksi di beberapa daerah yang berakhir rusuh hingga menimbulkan kerusakan, penjarahan, dan korban jiwa.

Fenomena aksi penjarahan dan vandalisme yang merebak di berbagai daerah bagaimanapun tidak boleh dibenarkan terjadi.

Di lain sisi, hal tersebut adalah tanda bahaya yang seharusnya menjadi bahan kontemplasi bagi para pemimpin bangsa.

Vandalisme yang merugikan masyarakat luas itu tidak bisa kita justifikasi. Munculnya fenomena ini adalah teguran keras: ada aspirasi rakyat yang mungkin tidak tersampaikan melalui jalur resmi. Itu peringatan keras bagi kita semua untuk membuka telinga lebih lebar.

Indonesia perlu meniru beberapa negara lain yang berani mengambil langkah untuk berbenah setelah krisis kepercayaan publik terjadi.

Korea Selatan, misalnya, setelah skandal politik besar pada tahun 2016, negara itu memperketat aturan transparansi parlemen yang hasilnya skor indeks persepsi korupsi mereka naik dari 40 pada tahun 2008 menjadi di atas 60 pada tahun 2020.

Sementara itu Inggris, setelah terjadinya skandal pengeluaran parlemen pada tahun 2009, membentuk lembaga independen pengawas tunjangan (IPSA) yang hingga kini menjadi standar akuntabilitas baru di negara tersebut.

Kedua contoh itu menunjukkan hal sederhana: rakyat kembali percaya ketika pemimpinnya berani berkaca dan memperbaiki diri.

Perlu diingat bahwa keberanian tertinggi seorang pemimpin bukan hanya mengambil keputusan besar, tapi juga berani mengoreksi diri sendiri.

Sejarah Indonesia telah mencatat momen ketika keresahan rakyat berubah menjadi peristiwa tragis besar.

Pada tahun 1998, krisis moneter melanda Indonesia disertai dengan demo besar-besaran yang pada akhirnya mengguncang sendi politik nasional. Walau menghasilkan reformasi, dampak sosial dan ekonomi yang ditinggalkan sangat berat bagi masyarakat kecil.

Kita belajar dari sejarah, jangan biarkan bangsa ini kembali terluka karena pemimpin abai mendengar. Seharusnya pemimpin hadir sebelum rakyat menjerit, bukan setelahnya.

Saatnya pemimpin berbenah

Dalam menyikapi aksi protes yang semakin memanas, Presiden Prabowo Subianto menegaskan bahwa kebijakan tunjangan anggota DPR RI, yang sebelumnya menjadi pemicu aksi demonstrasi, dibatalkan.

Para pemimpin DPR RI menyampaikan bahwa akan dilakukan pencabutan beberapa kebijakan DPR RI, termasuk besaran tunjangan anggota DPR RI dan juga moratorium kunjungan kerja ke luar negeri.

Beberapa partai politik bahkan mengambil langkah tegas dengan menarik atau menonaktifkan anggota DPR RI yang menjadi pemicu aksi demonstrasi.

Ketika rakyat turun ke jalan merupakan alarm yang tidak bisa diabaikan. Suara rakyat perlu didengar. Cita-cita bangsa adalah keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia, bukan hanya sekadar kemewahan untuk elite parlemen dan pemerintahan.

Kericuhan yang terjadi bukan peristiwa biasa, tapi memperlihatkan rapuhnya kepercayaan rakyat, lemahnya kepemimpinan moral, dan jauhnya cita-cita kemerdekaan bangsa.

Keresahan terhadap protes tersebut juga sampai ke luar negeri. Masyarakat Indonesia di luar negeri pun menaruh harapan besar. Kami ingin melihat DPR RI dan para pemimpin pemerintahan berdiri tegak dengan wajah yang jujur di hadapan rakyat. Karena politik sejati bukan perebutan kursi, tapi pengabdian untuk Indonesia.

Di sisi lain, aksi solidaritas yang dilakukan oleh kawan-kawan aliansi mahasiswa Malaysia bersama perkumpulan masyarakat sipil yang telah menggelar aksi damai di depan Kedutaan Besar Republik Indonesia (KBRI) Kuala Lumpur beberapa waktu lalu, juga perlu diapresiasi.

Mereka telah berhasil menunjukkan dukungannya kepada rakyat Indonesia yang melakukan demonstrasi di beberapa wilayah Indonesia serta mengungkapkan rasa empati terhadap kejadian yang tengah melanda negara tetangganya tersebut.

Bukan hanya itu, gerakan memesan makanan secara sukarela melalui aplikasi ojek online yang dilakukan oleh rakyat Malaysia, Brunei, Singapura serta negara-negara ASEAN lainnya untuk diberikan secara massal bagi para pengemudi ojek online di Indonesia sebagai bentuk simpati dan dukungan moral mereka terhadap wafatnya Affan Kurniawan, adalah suatu bukti nyata dan konkret kepedulian masyarakat dunia terhadap situasi yang dihadapi oleh rakyat Indonesia.

Oleh sebab itu sudah saatnya para pemimpin kembali mendengar nadi rakyat dan berbenah. Bukan hanya meredam protes semata, melainkan untuk menata kembali arah perjalanan negeri ini dengan mengambil kebijakan yang adil, menggunakan kerendahan hati, dan menjunjung tinggi moral serta keberpihakan nyata pada rakyat.

*) Tengku Adnan merupakan Diaspora muda Indonesia sekaligus Ketua Badan Perwakilan Komite Nasional Pemuda Indonesia (BP KNPI) di Malaysia