Jemputan Terakhir untuk Mendiang Cak Munir, Dalang di Balik Pembunuhannya Masih Misterius
Moh. Habib Asyhad September 07, 2025 04:34 PM

Munir Said Thalib, aktivis HAM Indonesia, dibunuh oleh tangan-tangan jahat pada 7 September 2004 di pesawat dalam perjalanan Jakarta-Amsterdam. Hingga kini siapa di balik pembunuhannya masih misterius.

Penulis: Tasnim Yusuf, berdasarkan surat-surat dari Sri Rusminingtyas di Belanda. Sri adalah orang yang sedianya menjemput Munir setiba di Belanda.

---

Intisari hadir di WhatsApp Channel, follow dan dapatkan berita terbaru kami di sini

---

Intisari-Online.com -7 September 2004 lalu, pejuang Hak Asasi Manusia, Munir Thalib dibunuh oleh tangan-tangan jahat di pesawat dalam perjalanan Jakarta-Amsterdam. Meski sudah ada yang ditetapkan jadi tersangka, tapi siapa dalang sebenarnya di balik pembunuhan pria asal Malang, Jawa Timur, itu masih misterius.

Majalah Intisari pernah menaikkan artikel tentang Cak Munir yang ditulis Tasnim Yusuf berdasarkan surat-surat dari Sri Rusminingtyas di Belanda. Mbak Sri adalah orang yang menjemput Cak Munir di Bandara Schiphol, Amsterdam.Artikel ini tayang pada September 2010.

JEMPUTAN TERAKHIR UNTUK MUNIR

Saat pesawat Garuda mendarat di Bandara Schiphol, saya tidak kunjung menjumpai Munir di antara penumpang yang datang. Yang harus saya hadapi kemudian, sahabat kami itu telah terbujur kaku tak bernyawa.

Sampai hari ini, setelah enam tahun kepergian Munir, saya masih tetap yakin jika permintaan teman saya Poengky Indarti (Direktur Imparsial - LSM di bidang HAM -Red.) untuk menjemput Munir di Schiphol memang skenario yang sudah diatur dari Atas. Waktu itu saya berpikir, mengapa seorang Munir yang sangat independen, blebar-bleber keluar negeri sendirian, perlu dijemput oleh seorang perantau yang baru menetap tiga bulan di Belanda. Namun begitulah skenario yang sebaiknya terjadi, dan saya diminta sebagai salah satu pelakon.

Jumat, 3 September 2004, Poengky menelpon untuk memastikan jika empat hari lagi Munir akan tiba di Belanda. Kata Poengky, "Saya titip Munir ya Mbak! Tenan lo (bener lo), saya titip dia. Kalau ada apa-apa tolong dibantu ya."

Spontan saya menjawab bersedia. Tapi setelah itu saya membatin, seorang Munir yang sangat mandiri perlu dititipkan ke saya? Soal titip-menitip Munir ini, saya baru tahu belakangan, ternyata Munir juga malah ketawa lebar di hadapan Poengky ketika dia tahu bahwa saya akan menjemputnya. Dengan gayanya yang jenaka, kepada Poengky, dia berkata, "Mbak Sri kuwi wis dadi wong Londo ta? Kok ndadak methuk aku bamng nang Schiphol." (Mbak Sri itu sudah jadi orang Belanda to? Kok pake jemput saya segala di Schiphol.)

"Pokoke sampeyan kudu dijemput sama mbak Sri. Sampeyan wis tak titipke mbak Sri. Ora usah kakehan omong.” (Pokoknya kamu harus dijemput Mbak Sri. Kamu sudah saya titipkan Mbak Sri, enggak usah banyak bicara)."

Munir menganggap itu lucu. Dia lalu bercerita kalau dulu dia pernah cuma diberi peta dan karcis oleh organizer dan berbekal peta itu dia bisa ke mana-mana sendirian. Tak perlu diantar jemput waktu harus ke Eropa. Sekarang malah harus dijemput segala. Tapi Poengky tetap ngotot kalau Munir harus saya jemput di Schiphol.

Hingga Senin, tanggal 6 September, saya belum memperoleh kabar apa pun dari Munir. Pagi itu langsung saya hubungi ke telepon genggamnya, suara Munir yang khas menjawab dari seberang. Riang dengan logat Jawa Timur-nya yang kental. Saya tanyakan kepastian jadwal penerbangannya ke Belanda. Usai berbicara di telepon, Munir mengirim pesan singkat bahwa dia akan naik Garuda dan mendarat di Schiphol, Selasa tanggal 7 September 2004. Dia juga menulis jam kedatangannya lengkap. Sayang ponsel itu hilang, jadi pesan terakhir Munir tersebut ikut lenyap.

7 September Kelabu

Pagi-pagi kami sudah bangun. Leo, suami saya berjanji mengantar saya ke Rotterdam Centraal Station supaya bisa naik kereta menuju Bandara Schiphol. Sebelum berangkat, saya memanggang baguette isi tuna untuk untuk bekal perjalanan. Masih terlalu pagi untuk mencari sarapan dan mungkin belum tentu ada toko yang menjual makanan di Schiphol. Selain itu pasti mahal. Saya bikin empat roti tuna, dua tangkup untuk saya dan sisanya akan saya berikan kepada Munir.

Belum pukul 06.00 kami sudah berangkat ke Rotterdam Centraal Station. Leo ngedrop saya di samping stasiun. Pada waktu itu saya sempat berpikir lebih baik beli tiket pulang-pergi karena lebih murah. Tapi kemudian saya membatalkan dan cukup membeli karcis sekali jalan saja. Pikir saya, siapa tahu harus mengantar Munir ke Utrecht atau ke Almere tempat Munir sekolah mengambil gelar master. Ternyata, saya memang tidak pulang lewat stasiun yang sama.

Angin bulan September membawa gigil hingga ke tulang. Walaupun sudah lebih dari pukul 06.00 tapi masih gelap sebab di Belanda sudah memasuki musim gugur. Nanti kalau saya ketemu Munir saya akan bilang begini ke dia, "Kalau bukan kamu, saya enggak mau jemput. Lha dingin sekali." Saking dinginnya, teh hangat yang saya bawa hanya sanggup menghangatkan badan sementara.

Tiba di Schiphol masih terlalu pagi. Pesawat Garuda yang saya tunggu masih belum mendarat. Namun tidak terlalu lama, papan pengumuman elektrik bandara memberitahu jika Garuda sudah mendarat, saya raba roti tuna jatah Munir di tas, hmm... selamat datang di Belanda.

Saya menunggu Munir di pintu kedatangan. Saya membayangkan dia keluar mendorong troli sambil cengar-cengir seperti biasa. Hampir satu setengah jam menunggu, saya mulai bertanya-tanya dalam hati, kenapa penumpang Garuda belum juga muncul. Awalnya saya pikir, mungkin masih antre di imigrasi, terus ambil bagasi dan mengurus keperluan lain di kedatangan. Tapi herannya kenapa tak satu pun penumpang Garuda keluar. Mungkinkah antrean di imigrasi panjang sekali?

Tiba-tiba ada pengumuman dalam bahasa Belanda yang menyebutkan kata "Munir". Waktu itu bahasa Belanda saya masih belepotan, jadi saya tidak tahu apa yang sebetulnya diumumkan. Saya hanya bergumam, Munir belum keluar kenapa mesti diminta ke Informasi? Ternyata pengumumannya berbunyi: "Bagi siapa yang menjemput Munir, harap menghubungi meja informasi."

Setelah lama sekali menunggu barulah keluar satu dua penumpang Garuda. Saya yakin itu karena mereka orang Indonesia. Tapi kemudian ada jeda lagi dengan jarak yang sangat lama, baru keluar lagi penumpang. Di antara penantian itu, tiba-tiba Poengky menelepon menanyakan saya sedang berada di mana. Suara Poengky sepertinya bingung dan panik. Dia ingin memastikan apakah saya sudah bertemu Munir di Schiphol, karena di Jakarta ada informasi bahwa Munir meninggal di pesawat dalam perjalanan dari Singapura ke Belanda. "Mungkin rumor, mengingat tekanan ke Munir sebelum dia berangkat, tolong carikan informasi ya, Mbak," pintanya.

Ditanyai polisi

Saya tetap menunggu Munir di depan pintu gerbang itu. Semakin banyak wajah-wajah Indonesia yang keluar dari sana. Tapi saya tidak melihat Munir. Ada pengumuman lagi dalam bahasa Inggris yang menyebutkan kata Munir, kali ini pun luput dari perhatian saya, sebab masih berharap Munir keluar dari gerbang bersama trolinya. Saya tak percaya rumor, saya masih yakin Munir tidak meninggal. Akhirnya ada rombongan kru pesawat Garuda yang keluar, saya cegat mereka dan bertanya tentang kabar kematian Munir. Pramugari yang saya tanyai menyuruh saya menghubungi Garuda.

Saya mulai panik, tapi masih berusaha menahan tangis. Saya berlari mencari meja informasi. Saya sampaikan kalau saya penjemput Munir dan mencari kejelasan informasi apakah benar Munir meninggal di pesawat. Ketika saya bertanya letak kantor Garuda, petugas perempuan yang melayani malah meminta saya menghubungi tiga laki-laki yang berdiri tidak jauh dari saya. Satu orang memakai jas hitam dan dua orang lagi berpakaian baju seragam polisi warna biru. Saya kemudian tahu yang memakai jas hitam adalah Wim van Broekhoven dari Luchthaven Pastoraat. Dari Wim saya mendapat kepastian jika Munir memang telah meninggal.

Saya lepas kontrol, saya sudah tidak bisa menahan tangis. Dia memeluk dan menenangkan saya. Mereka kemudian mengajak saya ke kantornya. Di ruangan yang berada di lantai dua itu, saya diberi minum. Sekuat daya saya berusaha menenangkan diri. Rasanya dada penuh dan sesak. Sulit sekali buat saya mempercayai dan menerima penjelasan petugas Luchthaven Pastoraat jika Munir meninggal di pesawat. Dalam kepanikan dan kesedihan, saya tetap berdoa, pria yang meninggal itu bukan Munir yang sedang saya jemput. Pasti bukan. Dia tidak sakit, dia sehat sekali ketika berbicara dengan saya kemarin pagi.

Setelah saya tenang, mereka mewawancarai saya. Polisi meminta saya memperlihatkan kartu identitas dan saya perlihatkan paspor karena surat menetap masih belum dikeluarkan pejabat setempat. Mereka

bertanya siapa Munir, di mana saya kenal Munir, apakah Munir memiliki masalah kesehatan, apakah Munir mempunyai musuh dan hal detail lainnya. Tampaknya itu adalah pertanyaan-pertanyaan dasar yang perlu diutarakan dalam kasus-kasus kematian di pesawat.

Saya ceritakan tentang Munir yang seorang aktivis HAM, bagaimana saya mengenalnya, dan termasuk salah satu yang hadir dalam pesta perkawinan kami tiga bulan lalu. Saya juga ceritakan tentang bagaimana berkali-kali Munir memperoleh teror pembunuhan (karena Munir juga pernah cerita itu pada saya). Tak lupa saya sampaikan jika Munir juga memperoleh teror bom yang dipasang di halaman rumah orangtuanya di Malang.

Dua orang polisi itu ingin menegaskan kematian Munir ada hubungannya dengan pekerjaannya. "Kemungkinan itu ada, mengingat sepak terjangnya," jawab saya.

Saya tidak ingat berapa lama wawancara itu berlangsung. Begitu wawancara dianggap selesai, saya dipersilakan untuk menghubungi siapa saja yang ingin saya hubungi menggunakan telepon mereka.

Saya hubungi Poengky dan mengabarkan apa yang saya ketahui. Saya lihat polisi yang berbaju biru juga menelpon. Tidak jelas dia berbicara dengan siapa, tapi yang saya dengar dia beberapa kali menyebut nama Munir.

Di antara jeda menghubungi kawan-kawan di Jakarta, suami saya menelepon menanyakan apakah saya sudah sampai di Utrecht. Saya hanya sanggup berkata, "Saya masih di Schiphol. Munir meninggal dunia ...." Tangis saya meledak lagi. Leo kaget luar biasa dan langsung menyusul ke Schiphol.

Saya baru dibawa ke mortuarium tempat Munir disemayamkan setelah Leo datang. Di sana sudah menunggu dua orang detektif dari The Royal Netherlands Marechaussee. Ternyata, polisi berbaju biru yang kami temui sebelumnya menyerahkan kasus ini ke Marechaussee karena dianggap kasus penting. Kematian Munir dianggap cukup mencurigakan. The Royal Netherlands Marechaussee adalah polisi militer dengan tiga tugas khusus: menjaga keselamatan ratu, menjaga perbatasan dan menangani kasus-kasus penting yang berkaitan dengan negara lain.

Leo mengangguk

Saya masih ingat sekali apa yang terjadi pada waktu itu. Saya memasuki ruangan. Jenazah ada di sebelah kiri saya. Saya tidak mau menengok ke arah jenazah tersebut karena pada detik itu pun hati saya masih menolak kalau yang terbaring itu adalah jenazah Munir. Saya memandang ke depan ke arah Leo. Saya menatap mata Leo dan saya masih berharap Leo menggeleng. Tapi ternyata Leo mengangguk. Saya langsung menengok ke kiri, dan betul yang terbaring di tempat tidur itu adalah Munir yang sudah tak bernyawa.

Langsung meledak lagi tangis saya. Kedua detektif itu mewawancarai kami berdua. Kami ceritakan lagi tentang apa saja yang kami ketahui tentang Munir. Detektif memutuskan untuk melakukan autopsi untuk pemeriksaan selanjutnya. Mereka akan memastikan apakah kematian Munir wajar atau tidak.

Leo mewanti-wanti agar tidak seorang pun dapat mengakses barang dan dokumen Munir. Detektif berjanji hanya orang-orang tertentu saja yang bisa akses sebelum keluarganya datang. Jadi pada waktu itu yang bisa akses ke kasus ini selain pihak berwenang adalah kami berdua dan ICCO (lembaga pemberi beasiswa, lihat boks).

Pada hari itu juga kami sudah memperoleh kepastian bahwa Suciwati, Poengky, Usman Hamid, Ucok, serta salah seorang saudara Munir akan tiba di Schiphol tanggal 9 September 2004 untuk menjemput jenazah. Marechaussee dan Meneer Wim van Broekhoven mengatur bagaimana kami semua bisa bertemu.

Saya merasa betapa agungnya skenario Tuhan. Semua sudah diatur dengan sangat detail dan jelimet. Mungkin pihak yang akan mencelakai Munir tidak menyangka kalau Munir akan dijemput di Schiphol Airport. Barangkali dalam rancangan pembunuh, begitu tiba di Schiphol, jenazah akan segera diserahkan ke KBRI oleh pihak Schiphol dan langsung dipulangkan ke Indonesia tanpa ada autopsi sama sekali. Tapi ternyata Tuhan berkata lain.

Setelah enam tahun berlalu, duka pada 7 September itu tetap sulit saya hapus. Apalagi penyelesaian kasus Munir masih dirasakan belum menyentuh keadilan yang diharapkan. Kapankah hukum akan benar-benar menguak kebenaran? Namun demikian, keluarga, sahabat dan para korban kekerasan masih terus berjuang, berdoa, dan berharap bahwa keadilan akan datang. Semangat Munir tidak akan padam. Selamat jalan Munir.

Engkau sudah memberikan lebih dari cukup kepada bangsa dan negara ini. Ucapan terima kasih kami tak kan pernah cukup.


Masih Misteri

Munir Said Thalib atau Munir, bertolak dari Jakarta menuju Amsterdam, melalui Singapura, dengan pesawat Garuda bernomor penerbangan GA-974, yang berangkat pukul 21.55 WIB. Kepergian Munir ke Belanda untuk melanjutkan studi Strata 2 di Fakultas Hukum Universitas Utrecht, atas beasiswa yang diperolehnya dari Interchurch Organization for Development Cooperation (ICCO) atau Organisasi Antar-gereja untuk Kerja Sama Pembangunan.

Dari fakta persidangan atas kasus pembunuhan Munir, terungkap bahwa saat pesawat transit di Singapura, Munir sempat turun dan duduk di Coffee Bean, Bandara Changi. Seorang saksi menyatakan saat itu melihat Pollycarpus Budihari Prijanto membawa dua minuman dan duduk bersama Munir.

Selepas perjalanan dari Singapura, Munir merasa mual dan beberapa kali ke kamar kecil untuk buang air besar. Dia sempat mendapat pengobatan dari dr. Tarmizi Hakim, salah seorang penumpang pesawat. Namun tiga jam menjelang pendaratan, tepatnya di atas Rumania, Munir didapati sudah meninggal dunia.

Januari 2008, Mahkamah Agung akhirnya memutuskan Pollycarpus terbukti telah melakukan pembunuhan atas Munir dan menjatuhkan hukuman 20 tahun penjara. Meski demikian, hingga hari ini, motif Pollycarpus masih misteri. Siapakah di balik pembunuhan ini?

© Copyright @2025 LIDEA. All Rights Reserved.