Program MBG Bikin Was-was, Pengamat Sebut Tingkat Kepercayaan Publik Mulai Berkurang
Eko Setiawan September 10, 2025 03:30 AM

TRIBUNBATAM.id, PEKANBARU - Menu MBG di Batam dinilai mulai asal-asalan. bahkan ada disajikan sudah dalam keadaan basi.

Seharusnya Program Makan Bergizi Gratis (MBG) bisa menjadi satu nilai gizi tambahan bagi pelajar di Indonesia.

Namun berjalannya waktu, bukan lebih baik melainkan banyak keluhan di sejumlah wilayah.

Salah satunya di Kota Batam, akibat hal ini kini anggota DPRD kota Batam juga turun tangan.

Namun, di balik semangat tersebut, kita melihat banyak persoalan dalam implementasinya di lapangan. 

Fakta menunjukkan pelaksanaannya belum merata di seluruh sekolah, bahkan di beberapa daerah, seperti Inhil, Pekanbaru, dan Kampar terjadi keracunan makanan pada anak secara massal.

Keterbatasan cakupan ini tentu bisa dimaklumi karena MBG merupakan program pusat yang dijalankan secara bertahap sesuai target Badan Gizi Nasional (BGN).

Namun, sejak awal terlihat bahwa kesiapan teknis di daerah belum sepenuhnya matang.

Seharusnya, sebelum program diluncurkan secara masif, aspek regulasi, infrastruktur, serta standar pengawasan sudah terjamin dengan baik.

Lebih jauh, masalah besar muncul ketika menu MBG yang disajikan kurang disukai peserta didik.

Banyak siswa lebih memilih membawa bekal dari rumah daripada mengonsumsi makanan program.

Ini menunjukkan ada kesenjangan antara tujuan program dengan penerimaan di lapangan.

Seharusnya preferensi anak juga dipertimbangkan agar makanan tidak sekadar disediakan, tetapi benar-benar dimakan.

Yang paling mengkhawatirkan adalah terjadinya kasus keracunan di beberapa daerah, termasuk di Tembilahan, Pekanbaru, dan Kampar.

Data mencatat bahwa dalam delapan bulan penyelenggaraan, sudah lebih dari 4.000 siswa mengalami keracunan akibat MBG.

Angka ini jelas tidak bisa dianggap remeh. 

Bagaimana mungkin program yang bertujuan meningkatkan gizi justru menghadirkan ancaman kesehatan?

Kasus-kasus ini membuat banyak daerah akhirnya menunda pelaksanaan MBG.

Lebih parah lagi, muncul rasa takut dan keengganan dari siswa serta orang tua untuk mengonsumsi makanan tersebut. 

Di titik ini, kita bisa mengatakan program MBG gagal menciptakan rasa aman dan kepercayaan publik.

Tanpa kepercayaan, mustahil program ini dapat berjalan efektif.

Kita harus jujur mengatakan bahwa dengan adanya keracunan di beberapa daerah, program MBG di Riau belum bisa dikategorikan berhasil.

Tujuan mulia mewujudkan anak sehat, tumbuh kembang optimal, dan prestasi akademik lebih baik justru berbalik arah menjadi sumber keresahan.

Menyebut program ini sukses jelas naif jika melihat kondisi di lapangan.

Karena itu, pemerintah, khususnya BGN, harus melakukan evaluasi serius. Regulasi dan petunjuk teknis pelaksanaan perlu ditinjau ulang, terutama terkait aspek pengawasan pangan, standar proses memasak, serta distribusi makanan. Ini menjadi titik rawan yang tidak boleh dibiarkan.

Selain itu, saran dan pengawasan dari pihak terkait juga harus menjadi rujukan utama. Jangan sampai rekomendasi teknis diabaikan.

Program yang menyangkut kesehatan anak didik harus dijalankan dengan prinsip kehati-hatian yang sangat tinggi.

Lebih mendasar lagi, Presiden perlu turun tangan langsung dengan memanggil Kepala BGN serta pihak terkait lainnya.

Reformasi tata kelola MBG sudah sangat mendesak.

Tanpa pembenahan mendasar, risiko keracunan akan terus membayangi, dan program ini hanya akan menjadi catatan kegagalan.

Harapan kita sederhana, makanan yang disajikan harus benar-benar sehat, enak, dan aman.

Dengan begitu, orang tua tidak lagi khawatir, siswa tidak lagi enggan, dan tujuan utama peningkatan gizi benar-benar terwujud.

Jika reformasi tata kelola ini segera dilakukan, MBG masih berpotensi menjadi program strategis yang berimplikasi positif bagi tumbuh kembang generasi muda Riau. Semoga saja. (Tribunpekanbaru.com/Alexander)

© Copyright @2025 LIDEA. All Rights Reserved.