Ketua IPSM Jabar: Ironi, Negara Religius Gagal Menjadi Adil
GH News September 12, 2025 08:11 AM

TIMESINDONESIA, BANDUNG – Di negeri ini, agama hadir begitu dominan. Masjid, gereja, vihara, dan rumah ibadah lain selalu ramai. Doa mengalun setiap hari, khutbah dan ceramah bergema di berbagai ruang publik.

Namun di balik gegap gempita ritual keagamaan itu, terselip ironi yang sulit dipungkiri: semakin religius suatu bangsa, semakin sulit pula ditemukan keadilan yang nyata.

“Keadilan sejatinya merupakan inti dari agama. Al-Qur’an sendiri menegaskan bahwa Allah memerintahkan manusia untuk berlaku adil dan berbuat kebajikan. Rasulullah ﷺ mengangkat tinggi kedudukan pemimpin yang adil hingga menempatkannya kelak di mimbar cahaya. Tetapi realitas yang kita saksikan justru sebaliknya. Simbol-simbol agama begitu menonjol, sementara substansinya kerap terpinggirkan," ungkap Subchan Daragana, Ketua IPSM Jabar, Senin (08/09/2025).

Subchan Daragana, akademisi yang kritis menyoroti fenomena ini, menyebut bahwa agama di negeri ini sering hanya berhenti pada simbol.

Ia kerap dijadikan alat politik untuk meraih kekuasaan, bukan ruh yang menuntun kebijakan. Hasilnya, rumah ibadah penuh, doa-doa bergema, namun korupsi merajalela. Peringatan hari besar agama rutin dilakukan, tetapi hukum masih tebang pilih. Agama seolah dipeluk dengan mulut, namun diabaikan dalam praktik sosial.

Ia menekankan sekaligus setengah bertanya, mengapa justru negara-negara yang secara formal sekuler, bahkan nyaris tanpa tradisi agama, bisa lebih adil dan makmur?

Sang pengusaha ini pun menjelaskan bahw, “kuncinya bukan pada label, tetapi pada praktik nilai keadilan itu sendiri. Negara-negara tersebut menegakkan hukum tanpa pandang bulu, melindungi hak rakyat, menghargai waktu, bekerja dengan profesional, dan menanamkan integritas,” ulasnya.

“Ibnu Taimiyah berabad-abad lalu sudah menegaskan, Allah menegakkan negara yang adil meskipun kafir, dan tidak akan menegakkan negara yang zalim meskipun Muslim. Ungkapan ini seolah menampar kesadaran kita: negara kafir yang adil bisa berdiri tegak, sementara negara Muslim yang zalim hancur, meskipun penuh doa dan ibadah,” kata Subchan.

“Fakta di negeri ini seringkali mengafirmasi pernyataan tersebut. Hukum kerap tajam ke bawah namun tumpul ke atas. Rakyat kecil dihukum keras karena pelanggaran sepele, sementara pejabat yang terbukti korup bisa melenggang bebas dengan alasan formalitas hukum. Agama seharusnya melahirkan integritas, tetapi jika hanya berhenti pada seremonial, wajar bila ketidakadilan, kezhaliman, korupsi, dan kriminalitas justru merajalela di negeri yang mengaku beragama,” imbuh sang entrepreneur dari Bandung.

Subchan mengingatkan, kondisi ini tidak boleh dibiarkan. Harapan besar seharusnya ada di negara dengan mayoritas masyarakat beragama. Justru merekalah yang semestinya bisa lebih makmur, karena agama mengajarkan adab, moral, dan aturan ilahi. Tetapi itu semua hanya mungkin terwujud jika agama benar-benar dihayati, bukan sekadar dipolitisasi.

Dirinya juga mengatakan bahwa pemimpin dalam hal ini memegang peranan penting. Sabda Nabi ﷺ yang menyatakan sebaik-baik manusia adalah yang paling baik dalam menegakkan keadilan seharusnya menjadi rujukan utama. Keadilan harus menjadi napas setiap kebijakan. Pemimpin yang adil akan menciptakan masyarakat yang damai, dan masyarakat yang damai akan melahirkan peradaban yang kuat.

Pesan Subchan sederhana namun mendasar: agama bukan sekadar pakaian, melainkan energi untuk menegakkan keadilan sosial. Bila nilai adil benar-benar menjadi karakter bangsa, barulah doa-doa di rumah ibadah menemukan maknanya dalam kehidupan nyata. Tanpa itu, ritual keagamaan hanya menjadi gema kosong yang tidak mengubah keadaan.

“Kita hidup di sebuah negara yang kerap berbangga dengan religiusitas masyarakatnya. Namun kebanggaan itu akan menjadi hampa jika tidak dibarengi dengan kesungguhan menegakkan keadilan. Negeri ini membutuhkan lebih dari sekadar simbol. Ia butuh pemimpin yang amanah, penegak hukum yang berintegritas, serta masyarakat yang menolak membiarkan agama dijadikan alat kekuasaan,” ulasnya.

“Ketika nilai keadilan benar-benar ditegakkan, agama akan menemukan wajah sejatinya. Ia bukan lagi sekadar retorika atau alat politik, melainkan sumber energi moral yang menjaga bangsa tetap berdiri. Dan pada saat itu, doa-doa di rumah ibadah akan menjelma menjadi kenyataan yang dirasakan di jalan, di pasar, di kantor, dan di seluruh ruang kehidupan masyarakat,” pungkas Subchan menutup uraiannya.(*)

© Copyright @2025 LIDEA. All Rights Reserved.