Jejak Uang Haram Kuota Haji, Nama Wasekjen Ansor Muncul di Radar KPK
Acos Abdul Qodir September 18, 2025 02:32 AM

Ringkasan Utama

KPK mendalami dugaan korupsi kuota haji 2023–2024 yang berawal dari temuan di rumah eks Menag Yaqut Cholil Qoumas. Wakil Sekjen GP Ansor, Syarif Hamzah, diperiksa karena diduga mengetahui aliran dana haram. KPK memperkirakan kerugian negara dalam kasus ini mencapai lebih dari Rp1 triliun dan membuka kemungkinan pemanggilan pihak lain di luar pemerintahan.

 
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA – Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) terus mendalami dugaan korupsi dalam pembagian kuota haji tahun 2023–2024. Salah satu titik krusial dalam penyidikan adalah penggeledahan di rumah mantan Menteri Agama Yaqut Cholil Qoumas, yang menghasilkan dokumen dan barang bukti elektronik (BBE) yang mengarah pada dugaan aliran dana tidak sah.

Berangkat dari temuan tersebut, KPK memeriksa Wakil Sekretaris Jenderal Pimpinan Pusat Gerakan Pemuda (GP) Ansor, Syarif Hamzah Asyathry, pada Kamis, 4 September 2025. Pemeriksaan dilakukan di Gedung Merah Putih KPK, Jakarta.

“Pemeriksaan kepada yang bersangkutan adalah atas pengetahuan atau yang diketahuinya terkait dengan konstruksi perkara ini, khususnya terkait dengan dugaan aliran uang tersebut,” kata Juru Bicara KPK, Budi Prasetyo, Rabu (17/9/2025).

Budi menjelaskan bahwa meskipun fokus penyidikan saat ini menyasar pejabat Kementerian Agama, KPK tidak menutup kemungkinan untuk menelusuri keterlibatan pihak lain di luar pemerintahan, termasuk organisasi keagamaan seperti GP Ansor.

“Sejauh ini pemanggilannya adalah kepada pihak-pihak yang memang diduga mengetahui konstruksi perkaranya. Jadi nanti pihak-pihak siapa pun ya tidak dibatasi.

Artinya, penyidik memandang, menduga bahwa misalnya yang bersangkutan mengetahui dan memang keterangannya dibutuhkan, maka nanti bisa dilakukan pemanggilan,” ujar Budi.

KPK menduga penyelewengan terjadi dalam pembagian 20.000 kuota tambahan haji yang diberikan oleh pemerintah Arab Saudi.

Berdasarkan aturan, kuota tersebut seharusnya dibagi 92 persen untuk haji reguler dan 8 persen untuk haji khusus. Namun, dalam praktiknya, pembagian dilakukan secara tidak proporsional: masing-masing 10.000 untuk reguler dan khusus.

“Ini tidak sesuai aturan. Seharusnya 92 persen untuk reguler dan 8 persen untuk khusus, tapi dibagi rata 50:50. Itu menyalahi aturan yang ada,” kata Pelaksana Tugas Deputi Penindakan dan Eksekusi KPK, Asep Guntur Rahayu.

Akibat pembagian yang tidak sesuai ketentuan tersebut, KPK memperkirakan kerugian negara mencapai lebih dari Rp1 triliun.

Nilai tersebut berasal dari potensi selisih harga antara kuota haji reguler dan kuota haji khusus yang dijual dengan harga jauh lebih tinggi.

Selain memeriksa Syarif Hamzah, KPK juga telah mencegah tiga orang bepergian ke luar negeri: Yaqut Cholil Qoumas, eks staf khusus Ishfah Abdul Aziz, dan pengusaha travel Fuad Hasan Masyhur.

Penyidik KPK membuka kemungkinan pemanggilan petinggi GP Ansor lainnya jika keterangan mereka dianggap relevan.

Desakan publik pun muncul agar KPK turut memanggil Ketua Umum GP Ansor dan tokoh PBNU, mengingat keterkaitan struktural dan historis dengan Yaqut yang pernah menjabat sebagai Ketua Umum GP Ansor periode 2015–2020.

Pakar hukum pidana dari Universitas Bung Karno, Hudi Yusuf, menilai bahwa jika terbukti ada aliran dana dari kasus korupsi ke organisasi seperti PBNU maupun GP Ansor, maka dana tersebut seharusnya disita oleh KPK, baik masih dalam bentuk tunai maupun telah berubah menjadi aset lain.

KPK menegaskan bahwa penyidikan dilakukan secara menyeluruh dan tidak terbatas pada satu institusi.

“Kami sedang melakukan follow the money, ke mana saja uang itu mengalir,” ujar Asep Guntur.

 

© Copyright @2025 LIDEA. All Rights Reserved.