Hukum Rimba di Perkebunan Tembakau Deli Zaman Belanda, Sungguh Tak Manusiawi
Moh. Habib Asyhad September 18, 2025 03:34 PM

Seorang advokad Medan berkebangsaan Belanda membongkar hukum rimba di perkebunan tembakau Deli, Sumatera Timur, awal abad 20. Dari perlakukan tidak manusiawi bingga skandal seks.

---

Intisari hadir di WhatsApp Channel, follow dan dapatkan berita terbaru kami di sini

---

Intisari-Online.com -Gara-gara Mr. J. van den Brand menulis brosur "Jutaan dari Deli" pada 1902, seluruh masyarakat perkebunan di sekitar Medan jadi heboh.

Van den Brand adalah seorang advokat Medan yang merasa terpanggil untuk menegakkan keadilan. Dengan mengambil risiko kehilangan nafkahnya sebagai pengacara, dia menggugat ordonansi kuli (semacam undang-undang), yang menjadi biang keladi keabsahan menghukum kuli dengan sewenang-wenang.

Sebenarnya protes sosial yang mengecam penganiayaan kuli Deli sudah banyak ditulis di koran-koran sebelumnya. Tapi suara koran itu tidak digubris dan dianggap fitnah.

Mengapa brosur Advokat an den Brand diperhatikan? Tidak lain karena ketika itu ada semacam titik balik di kalangan pemerintah Belanda. Dari cara berpikir kolonial ke cara berpikir politik etis. Mereka merasa berutang budi pada tanah jajahan yang sudah sekian lama menguntungkan negara (Belanda).

Jadi perlu pendekatan yang lebih manusiawi. Dari sikap tidak menggubris, berubah menjadi prihatin. Agar dapat menilai tulisan Van den Brand, banyak yang kemudian ingin tahu, apa sih yang diributkan ini?

Gara-gara tertipu

Pada pertengahan abad ke-19, pemerintah Belanda mulai menarik diri dari kegiatan mengeduk untung secara langsung di negeri jajahan. Mereka memberi kesempatan para investor swasta, untuk giliran memeras laba.

Muncullah kemudian usaha perkebunan tembakau di Keresidenan Sumatera Timur (kini bernama Provinsi Sumatera Utara itu). Pelopor yang membuka hutan untuk dijadikan kebun tembakau adalah J. Nienhuys, yang datang ke Deli tahun 1863. Menurut mitos yang beredar, dia datang di kawasan yang tak berpenduduk, sehingga terpaksa membuka hutan sendiri. Tapi agaknya mitos ini keterlaluan. Sebab, sudah sejak dulu para raja pesisir Tanah Melayu mencoba menjajah penduduk pedalaman daerah Batak.

Jadi penduduk asli Deli itu ada, tapi tidak ada yang bersedia bekerja sebagai buruh perkebunan di lahan bekas hutan. Nienhuys kemudian mencari tenaga kerja ke Penang dan memperoleh 190 orang kuli Cina. Semuanya diajak tidur di rumah kebesarannya sebagai administrateur perkebunan. Juga controleur yang diangkat sebagai penuntut umum oleh pemerintah di Deli, mula-mula mondok di rumah "tuan besar" ini.

Tembakau Deli sangat laku di pasaran Eropa, untuk industri cerutu. Untuk memenuhi permintaan pasar yang meningkat, perkebunan harus diperluas dan tenaga kerjanya ditambah. Pada tahun 1869 dikerahkan 900 orang kuli. Di samping orang Cina dari Penang, juga didatangkan orang Keling dari Koromandel, India; orang Siam dari Muangthai dan orang Jawa dari Bagelen, Jawa Tengah.

Jumlahnya senantiasa kurang saja, karena tidak sebanding dengan luas lahan yang digarap. Tenaga kuli jadi langka, lebih langka daripada tanah. Jadi perlu paksaan, agar bisa diikat di tempat kerjanya. Ini diusahakan dengan memberi persekot pada saat kuli itu meneken kontrak dengan cap jempolnya dan meninggalkan desanya, menuju ke Deli. Kebanyakan adalah orang-orang yang tadinya tenggelam dalam utang. Persekot ini untuk melunasi utang lama itu.

Sebagai penebus persekot, dia wajib bekerja di perkebunan terus-menerus, sampai persekot (utang baru)nya lunas. Kontrak berlaku satu tahun, tapi dengan sendirinya dapat diperpanjang, kalau pada akhir kontrak kuli itu masih mempunyai utang (atau berutang lagi yang baru).

Mengapa ada orang yang mau teken kontrak kerja di Deli?

Biasanya karena tertipu. Ada salah paham tentang istilah ringgit, yang sengaja dibiarkan salah terus. Di Pulau Jawa, ringgit berarti rijksdaalder yang bernilai dua setengah gulden (uang perak zaman Belanda yang bulat). Padahal di Deli, ringgit berarti dolar Meksiko, yang nilainya hanya satu perak lima belas sen.

Jelas para calo kuli itu tahu, tapi orang-orang Jawa calon tenaga kerja, tidak. Kalau calon kuli ini diimingi-imingi gaji 6 ringgit sebulan, bayangannya di angan-angan adalah 15 gulden, padahal sebenarnya hanya bernilai 7 gulden.

Sialnya, calo-calo kuli itu tidak mau menerangkan upah yang sebenarnya. Soalnya, kalau jujur, dia tak akan berhasil membujuk kuli sebanyak-banyaknya.

Dengan membanting tulang dan bercucuran keringat, kuli itu kemudian bekerja dari subuh hingga petang, 14 hari lamanya. Selama itu dia tidak boleh meninggalkan perkebunan. Baru pada hari ke-15, yang memang hari gajian dan istirahat, dia bebas dan akan berekreasi, sesudah terkekang sekian lama. Dia kecewa berat, ketika menerima gaji. Bukannya uang perak seperti dibayangkan waktu teken kontrak, tapi kertas kupon yang hanya bisa dibelanjakan di toko perkebunan. Yaaah, mengapa gajinya berupa kertas? Bukannya kepingan-kepingan perak?

Hukum "rimba" perkebunan

Sialnya, menurut adat Melayu, perkebunan yang sudah memberi persekot sebagai tanda jadi itu berhak menghukum kalau kuli yang bersangkutan melanggar kontrak. Ini ditafsirkan oleh para "tuan besar" pekebun sebagai "boleh menindak sendiri" pelanggar itu.

Sialnya lagi, pemerintah Hindia Belanda diam seribu bahasa, melihat penafsiran ini. Seharusnya yurisdiksi itu dijalankan sendiri oleh Sultan, tapi Yang Mulia lebih senang menyerahkannya kepada para pekebun masing-masing. Maka, untuk menjaga ketertiban di wilayahnya masing-masing, para pekebun merasa "boleh bertindak tegas".

Dari "boleh menindak sendiri" berubah menjadi "boleh bertindak keras". Kalau tidak, malah dilecehi. Tidak ada polisi di tempat-tempat terpencil itu. Polisinya para tukang pukul "tuan besar" sendiri. Dari kebiasaan bertindak tegas dan keras inilah lama-lama timbul kebiasaan bertindak sewenang-wenang dan main hakim sendiri.

Baru pada tahun 1873, pemerintah Hindia Belanda mengangkat seorang asisten residen sebagai pejabat pemerintah yang menegakkan hukum untuk kawasan Deli. Dia mewakili hakim yang berwenang memutuskan perkara, yang diajukan oleh kontrolir sebagai jaksa penuntut umum. Mula-mula di Labuan, tapi kemudian pindah ke Medan pada tahun 1879.

Sayang, perubahan ini boleh dikatakan tak ada artinya, karena kurangnya aparat penegak hukum di lapangan. Polisi Deli hanya terdiri atas seorang mandor (sekarang kapolsek) dan 12 orang opas (sekarang prajurit). Regu ini harus menjaga ketertiban di daerah seluas karesidenan (sekarang provinsi).

Mudah dimengerti, bahwa disiplin sosial lalu amat rendah. Begitu juga disiplin kerja. Kalau ada pembangkangan besar-besaran, perkebunan tidak hanya rugi kehilangan tenaga kerja dan uang persekot, tapi juga terancam keamanannya di daerah terpencil yang benar-benar dibiarkan hidup atau mati sendirian itu.

Kuli-kuli yang meninggalkan tempat kerja biasanya membentuk gerombolan perampok sekuat 20 - 40 orang. Kuli-kuli yang masih (terpaksa) bekerja terus di perkebunan yang dirampok, biasanya tidak tinggal diam, tapi ikut merusak karena dendam kesumat akibat perlakuan buruk sebelumnya. Yang jadi sasaran adalah gudang pengeringan tembakau yang mudah sekali terbakar.

Toh, kerja merampok itu tidak langgeng. Suatu ketika, kalau tidak ada yang dirampok lagi, ada di antara kuli-kuli itu yang kemudian menyesali dosanya, dan kembali ke majikannya lagi untuk meminta maaf. Pertimbangannya, kelak kalau kontrak sudah habis, dia bisa pulang ke Jawa sebagai orang bebas lagi.

Tetapi apa yang mereka terima? Bukannya maaf, tapi pukulan rotan dan hukum kurungan dalam sel selama berhari-hari sebelum dipulihkan hak dan kewajibannya sebagai kuli.

Menurunkan Jadel

Dalam keadaan tertib, di kalangan kuli ada semacam hierarki, berdasarkan prestasi kerja. Kelompok terpenting di antara mereka adalah kuli ladang yang mendapat sebidang tanah untuk dikelola sebagai tempat bertanam tembakau. Upah diberikan borongan, pada waktu panen nanti.

Tingginya produksi dan mutu tembakau sangat bergantung pada kerajinan dan kesungguhan kerja mereka. Ada yang bekerja dari pagi sampai petang di ladang, karena keyakinan bahwa hanya dengan rajin menyirami tanaman muda dan memberantas ulat atau hama tanaman saja, hasil tembakau bisa memberi uang banyak, sesudah bekerja berbulan-bulan.

Dalam kerja borongan ini ia dibantu oleh kongsikang (sejumlah kuli yang tidak mempunyai pengalaman), yang dikerahkan untuk mencangkul-cangkul, mendangir, mengurus air dan mencari kutu.

Juga kuli yang dinilai bodoh, malas dan "banyak omong" tapi enggan bekerja, diperbantukan pada kuli ladang (pemborong) yang lebih cakap itu. Kalau ada kuli pemborong, yang karena sikapnya tak berkenan di hati tuan kecil (asisten kebun), pembantu tuan besar (administratur), akan dipindahkan dan diturunkan derajatnya menjadi kuli pembantu.

Sebaliknya, kalau di antara kuli pembantu yang campur aduk jenisnya ini kemudian ada yang cakap, patuh pada aturan dan tidak banyak bikin perkara, dia pun dinaikkan pangkatnya menjadi kuli pemborong. Dia diberi tanah yang sudah ditanami tembakau, lalu ditugasi memelihara tanaman ini sampai panen. Sampai taraf tertentu, orang semacam ini merasa dirinya lebih tinggi kedudukannya daripada kuli pembantu.

Sebagai pemimpin para kuli diangkat tandil (kalau dia orang Cina) dan mandor (kalau dia orang Jawa). Selain memimpin pekerjaan 20 - 40 orang kuli, dia juga bertanggung jawab atas ketertiban mereka dalam kelompok. Selain mengawasi, dia juga menjadi penghubung antara tuan besar yang membagi tugas dalam bahasa Melayu dan masyarakat kuli yang tidak berbahasa Melayu. Kadang-kadang tuan besar membagi tugas melalui tuan kecil bangsa Eropa kepada mandor.

Para mandor dikoordinasikan oleh opzichter (opseter) yang tugasnya memata-matai sepak terjang kuli berikut mandornya dan menyampaikannya ke tuan kecil.

Kelompok lain adalah para kuli perempuan, yang tugasnya memetik daun tembakau, mengangkutnya ke gudang, menyortir dan merentengnya untuk digantung-keringkan. Karena hidup bersama kuli-kuli bangsa lain, ada yang kemudian menemukan jodoh dan membentuk keluarga. Di antaranya juga ada yang kemudian bebas setelah kontrak berakhir, lalu hidup sebagai pedagang kecil di desa di luar perkebunan. Mereka menurunkan generasi baru yang disebut Jadel (Jawa Deli). Orang Jawa yang lahir di Deli.

Sumber ketidakadilan

Para mandor dan tandil kadang-kadang menimbulkan perkara dengan perbuatan mereka yang tidak terpuji, seperti meminjamkan uang dengan bunga mencekik leher. Menjual barang tak bermutu secara kredit dengan harga gila. Atau melakukan skandal seks dengan kuli-kuli perempuan.

Praktik-praktik semacam ini menimbulkan ketidaksenangan yang bisa menyulut pemberontakan. Kalau perkara ini diajukan ke tuan kecil atau tuan besar, selalu yang dipersalahkan kuli yang tidak senang ini. Hukumannya berupa pukulan dengan rotan. Dua puluh lima kali atau lebih, bergantung pada berat ringannya "pelanggaran".

Jarang sekali ada mandor atau tandil yang dihukum karena skandal seks, curang jual kreditan atau curang mengutangi uang, penyebab ketidaksenangan itu.

Sumber ketidakadilan lain adalah fitnah yang dilancarkan karena dendam, keki atau dengki. Informasi yang disampaikan opseter sebagai mata-mata ke tuan kecil, kadang-kadang tidak benar. Kuli yang menjadi korban fitnah digebuki tanpa proses peradilan.

Ordonansi kuli: lebih runyam

Bahwa ada pembangkangan karena salah urus dan skandal macam-macam di Deli, disadari benar oleh pemerintah. Lalu dibuat rancangan ordonansi (keputusan gubernur jenderal, yang berlaku sebagai undang-undang), yang tadinya bermaksud melindungi para kuli, tapi karena tekanan para pengusaha perkebunan, malah menjadi semacam pengesahan atas tindakan menghukum kuli (oleh pimpinan perkebunan). Pada tahun 1889 diundangkanlah ordonansi kuli ini, yang kemudian sempat diperbaiki pada tahun 1898.

Rumusan dalam ordonansi ini memang bagus, tapi pelaksanaannya di lapangan yang konyol. Kuli memang boleh dihukum, kalau dia lari meninggalkan perkebunan, atau mogok bekerja. Tapi sialnya, perbuatan menghina atau mengancam mandor, melawan perintah, berkelahi dan mabuk-mabukan juga dipandang sebagai pelanggaran, meskipun tidak melanggar kontrak kerja.

Sebaliknya, ordonansi itu hanya menyinggung sedikit tentang hukuman bagi tuan kecil, opseter dan lain anggota pimpinan kebun. Tuan besar dan kecil ini hanya dihukum kalau "menyebabkan kuli melanggar kontrak". Misalnya tidak memberi perumahan kepada kuli yang sudah lari tapi kembali lagi. Tapi bagaimana kalau dia melanggar kesusilaan? Atau menganiaya karena jengkel? Tidak ada pasal yang mengatur hukumannya.

Sialnya, kalau sampai ada kuli yang diadili di kantor kontrolir setempat (yang bertugas sebagai penuntut umum) kemudian dinyatakan bersalah, dia dihukum kerja paksa krakal (membuat jalan) di luar perkebunan. Kebun yang bersangkutan kehilangan tenaga kerja. Ini mendorong para pekebun untuk menghakimi sendiri saja pelanggaran-pelanggaran kecil yang dilakukan oleh kuli.

Praktik main hakim sendiri inilah yang kemudian mendorong Advokat Van den Brand untuk menyelidiki keadaan perkebunan Deli itu, sampai akhirnya dia menulis brosur yang membeberkan penderitaan para kuli itu sebagai budak belian.

Bahwa mereka benar-benar dipandang sebagai budak, jelas terasa dari pasal-pasal dalam ordonansi kuli dan model kontrak kerja mereka. Dalam pasal 9 dan 10 misalnya, ditetapkan bahwa hukuman bagi kuli yang melanggar kontrak, berupa denda atau kerja paksa. Pada buruh bebas, pelanggaran seperti itu hanya berakibat dipecat saja atau dituntut membayar ganti rugi.

Dalam Burgerlijk Wetboek van Nederlands Indie (Kitab Undang-undang Hukum Pidana) juga kita temui ketentuan dalam pasal 1239, bahwa semua sengketa pelanggaran kontrak diselesaikan dengan ganti rugi. Ini suatu pasal dalam undang-undang. Tapi dalam ordonansi kuli, pasal ini tidak digubris. Bagi kita, mengadili seseorang di luar hukum yang berlaku bagi orang bebas itu, tidak lain adalah mengadili budak belian.

Dalam pasal 11 ordonansi kuli itu lebih jelas lagi kedudukan kuli yang malang itu sebagai budak belian. Yaitu: Barang siapa memberi penginapan kepada kuli yang lari, diancam dengan hukuman. Wah! Hukuman kepada pemberi penginapan orang yang lari dari majikan swasta, hanya berlaku bagi budak belian, seperti di Amerika.

Perlakuan hukum yang berbeda

Kontrolir yang diangkat sebagai penuntut umum itu "dipelihara" baik-baik hubungannya oleh para tuan besar. Hubungan baik ini dipertahankan dengan jalan setiap kali mengundangnya makan, pada pesta-pesta perayaan hari besar keagamaan, hari libur dan hari-hari nasional bukan libur. Maksudnya jelas, agar kontrolir itu suka menutup perkara (istilah sekarang: mempetieskan) pengaduan terhadap kesewenang-wenangan tuan besar terhadap kuli.

Pejabat pemerintah kolonial ini juga disuap secara halus, dengan diberi harga penawaran lelang barang-barangnya yang tinggi sekali, kalau masa dinasnya habis dan ia dipindah-tugaskan ke tempat lain. Pada waktu mau pindah inilah, biasanya barang-barang rumah tangganya dilelang.

Pelelangan bisa menghasilkan uang banyak, kalau dalam masa tugasnya yang lalu dia bersikap luwes terhadap para tuan besar pekebun tembakau, antara lain suka menutup perkara. Ketentuan tak tertulis ini sudah diberitahukan dengan bisik-bisik kepada setiap kontrolir yang bam diangkat.

Kalau ada tuan besar yang diadukan karena bertindak sewenang-wenang menyuruh memukuli kuli sampai luka berat misalnya, dia hanya dihukum membayar ongkos dokter dan perawatan di rumah sakit bagi kuli yang bersangkutan saja. Sudah, habis perkara!

Apakah tidak ada hakim di Deli? Sialnya, tidak. Hakim yang berwenang mengadili orang bule berada di Jakarta. Itulah sebabnya, tidak pernah ada seorang kuli yang berani menuntut tuan besar ke pengadilan. Yang sering terjadi adalah kalau kuli tidak senang dengan tuannya, dia akan mogok kerja. Lalu diajukan ke kontrolir untuk dihukum. Ya, boleh saja dihukum krakal di luar perkebunan. Malah kebetulan. Soalnya, kerja krakal bisa leha-leha, banyak istirahat, ngobrol-ngobrol. Keadaan di dunia luar ini lebih baik daripada di perkebunan.

Kuli-kuli yang melanggar peraturan memang harus dibawa ke kantor kontrolir, dengan dikawal seorang mandor yang membawa surat pengantar. Ini memang resmi, demi santun kedinasan, tapi yang tidak biasa adalah, dalam surat pengantar itu selain nama para kuli, juga dicantumkan jenis hukuman yang harus dikenakan pada terdakwa masing-masing. Tanpa pemeriksaan lagi, kontrolir yang "sudah digarap" itu langsung menghukum kuli yang bersangkutan, sesuai surat tuan besar. Peradilan macam ini sudah lazim di Medan zaman itu.

Tapi jelas, tidak semua kontrolir berlaku konyol seperti itu. Ada yang baik dan bertanggung jawab, seperti misalnya kontrolir di Serdang, yang kisahnya akan diutarakan di bawah nanti.

Kekejaman "manusiawi"

“Dalam abad ke-20 ini sudah tidak ada kekejaman seperti yang terjadi dalam abad pertengahan dan perbudakan yang lalu,” tulis Van den Brand dalam brosurnya, "Orang masa kini sudah lebih beradab. Kekejaman lebih manusiawi, tapi kekejaman ini toh kekejaman juga."

Di perkebunan tembakau kecil yang terpencil misalnya, pernah ada enam orang kuli Cina melarikan diri, tapi ditangkap kembali. Sebagai hukuman, mereka digebuki punggungnya dengan bambu batangan. Bukan bambu cina yang kecil, tapi bambu apus bergaris tengah 4 cm. Punggung kuli itu babak belur, tapi tuan besar yang menyuruh menggebuki tidak dihukum. Bukankah menghukum pelanggar hukum dengan gebukan seperti itu sudah lazim?

Yang lebih menyedihkan adalah penderitaan kuli-kuli yang sakit. Ada yang lesu karena kurang gizi, ada yang masuk angin. Pokoknya sakit, lalu tidak bersemangat kerja. Apa yang terjadi? Mereka bukannya diberi izin istirahat memulihkan kesehatan, tapi dibawa ke kontrolir di Serdang agar dihukum karena membangkang, tidak mau bekerja.

Untung kontrolir Serdang ini orang baik. Ketika dia bertanya mengapa mereka tidak mau bekerja, dia mendapat jawaban yang memelas, "Tidak kuat bekerja, Tuan, karena sakit. Sungguh sakit, Tuan. Tidak bohong, Tuan." Melihat raut muka mereka yang memelas kekurangan tenaga itu, kontrolir sadar bahwa orang-orang malang ini tidak bohong. Dia menyangsikan kejujuran tuan besar kebun tembakau yang mengajukan perkara kuli-kuli dengan dalih membangkang.

Beberapa hari kemudian dia mengadakan kun-dak (kunjungan mendadak) ke perkebunan itu dan melihat sebuah kamar kecil seperti kandang ternak yang pintunya digembok. Dia terkejut melihat ke dalam melalui jendela berterali. Ada 2 laki-laki Jawa, 6 perempuan Jawa dan satu mayat. Baunya bukan main busuknya. Antara lain bau tinja.

Ternyata mereka terpaksa membuang kotoran di dekat dinding dari kayu yang masih ada celahnya, antara dinding itu dengan tanah. Sebelum membuang hajat, kuli yang bersangkutan menggali tanah dengan tangan dulu. Kalau sudah, hajat yang dibuang itu didorong-dorong dengan tanah galian ini keluar dinding. Tapi baunya jelas tidak bisa ikut keluar.

Lebih terkejut lagi kontrolir itu, ketika menerima penjelasan, bahwa kamar seperti kandang ternak itu adalah rumah sakit perkebunan. Masya Allah!

Yang menerangkan adalah orang-orang sakit di "rumah sakit"' itu sendiri, melalui jendela berterali. Rumah sakit digembok, agar para kuli tidak lari.

Ternyata mereka juga tidak diberi air minum. Kalau sudah tak kuat menahan haus, terpaksa mereka menukar nasi ransumnya dengan air minum dari orang yang lewat. Untuk setengah hari mereka tidak makan, karena jatah makanan sudah ditukar dengan air minum. Ini memang pembunuhan pelan-pelan, karena kuli-kuli itu sudah tidak bisa diperas tenaganya lagi.

Mengapa perlakuan kuli sakit ini begitu mengecewakan? Jawaban yang diperoleh dari tuan besar lebih mengejutkan lagi, "Ah, sebentar lagi mereka juga akan mati."

Tuan besar dari perkebunan itu hanya mau memberi makan kepada kuli-kuli yang masih kuat bekerja. Begitu ada kuli yang tidak punya harapan hidup lagi, dimasukkanlah dia ke dalam rumah sakit perkebunan anno 1890.

Ada seorang kuli perempuan yang ternyata tidak mati-mati. Dia lalu dikirim ke rumah sakit umum di Lubuk Pakam. Beberapa hari kemudian dia meninggal, tapi sebelum meninggal dia sempat menjelaskan kepada kontrolir Serdang, bahwa dulu ketika masih di rumah sakit perkebunan, setiap hari tuan besar menengoknya melalui jendela, lalu menggerutu, "Buset, belum mati juga!"

"Skandal" seks

Namun, kekejaman yang menjijikkan menimpa seorang kuli gadis remaja yang tidak mau melayani ajakan kencan tuan kecil. Seorang saksi menceritakan kepada Van den Brand, bahwa gadis yang kira-kira berumur 16 tahun itu diikat pada tiang di bawah rumah panggung tuan kecil. Pada tiang itu dipakukan balok yang melintang, dan pada balok ini kedua tangan gadis itu diikatkan. Tubuhnya ditelanjangi.

Dari pukul 06.00 - 18.00, dia dijadikan tontonan yang merintih-rintih menyayat hati, meminta ampun kepada Gusti Allah. Seorang pelayan rumah menjelaskan kepada saksi, bahwa gadis itu dihukum karena lebih suka kawin dengan kuli sebangsanya, daripada dirusak kegadisannya oleh tuan kecil.

Sudah tentu "skandal" seks ini dilaporkan ke tuan besar oleh opseter. Tapi apa yang terjadi? Tuan kecil itu hanya dipindahkan ke tempat lain saja. Bukan karena dia melanggar kesusilaan, tapi karena tuan besar khawatir kalau kuli-kuli lainnya yang solider akan berontak.

Di perkebunan tembakau tidak hanya ada kuli Jawa, tapi juga kuli Cina. Kerjanya bagus, tapi tingkah lakunya lebih kasar. Nafsu berahinya juga besar. Kalau tidak ada perempuan, ya sesama jenis pun jadi.

Sialnya, untuk memenuhi kebutuhan biologis mereka, tuan besar mendatangkan ratusan gadis Jawa setiap tahun, untuk diumpankan kepada kuli-kuli Cina itu. Resminya gadis-gadis ini dipekerjakan sebagai tenaga penyortir daun di gudang tembakau, tapi upah mereka begitu rendah sampai tidak cukup untuk membeli pakaian. Maka, untuk itu kuli gadis terpaksa mau dibawa tidur kuli Cina, agar mendapat uang cukup untuk membeli kain.

Yang lebih menyedihkan lagi, mereka tidak diberi perumahan seperti para kuli laki-laki dan perempuan yang sudah dewasa. "Mereka toh bisa tidur di antara orang-orang yang lain," tutur seorang tuan besar kepada Van de Brand, enteng.

Perasaan tuan besar itu sudah tumpul dan karatan, karena lama hidup dengan nafsu rendah di masyarakat perkebunan kasar seperti itu. Mungkinkah dalam waktu luang selagi merenung sendirian di rumah panggungnya dia mendengar bisikan hati nuraninya? Bahwa perlakukan terhadap gadis-gading malang itu tidak berperikemanusiaan?

Laporan Rhemrev

Brosur den Brand berisi kekejaman exploitation de l'homme par l'homme itu mengundang perdebatan di kalangan pers. Koran-koran yang pro pemerintah melontarkan tuduhan, Van den Brand itu memfitnah. Beberapa mantan tuan besar yang pernah karatan di Deli menulis artikel untuk mencuci tangan.

Koran-koran independen mendukung usul Van den Brand untuk menghapus ordonansi kuli. Tapi reaksi paling keras datang dari para blantik (makelar) pengerah kuli. Soalnya, mereka akan kehilangan sumber duit sebagai pedagang budak, kalau pengerahan tenaga kuli tidak boleh lagi.

Setelah timbul krisis politik di parlemen Belanda, akhirnya pemerintah membentuk komisi pencari fakta, yang dipimpin oleh Mr. J.L.T. Rhemrev dari Raad van Justitie di Betawi (sekarang Departemen Kehakiman di Jakarta).

Laporan yang kemudian disusunnya membenarkan apa yang ditulis oleh Van den Brand. Yang terpenting, nasib sedih para kuli Deli itu dinyatakan dengan tegas, gara-gara ordonansi kuli tahun 1898 yang berisi poenale sanctie. Sanksi dalam ordonansi ini berupa ketentuan:

- Barang siapa melanggar kontrak kerja dinyatakan bersalah dan dapat dihukum.

- Kuli tidak boleh meninggalkan pekerjaan, dan kalau lari boleh ditangkap kembali dengan kekerasan.

- Malas kerja juga dipandang sebagai tindak pidana melanggar undang-undang.

Perjuangan untuk menghapus sanksi ini, yang dimulai oleh Van den Brand tahun 1902, akhirnya didukung oleh pemerintah Hindia Belanda tahun karena laporan Rhemrev. Rhemrev sendiri memang pejabat pemerintah Hindia Belanda. Sebelum itu, ordonansi memang akan diperbaiki, tapi perbaikan-perbaikan yang bertujuan meringankan penderitaan para kuli itu mendapat perlawanan keras dari para pekebun. Berkali-kali rancangan perbaikan yang sudah diumumkan di koran tidak jadi digarap lebih lanjut menjadi ordonansi.

Baru pada tahun 1918 itulah diterbitkan ordonansi kuli yang baru, tapi masih tetap berisi semangat poenale sanctie, walaupun versi lunak yang lebih manusiawi. Ordonansi masih dianggap relevan, karena menjamin perkebunan di Deli untuk memperoleh tenaga kerja murah. Tanpa itu mereka terpaksa mencari tenaga kerja bebas yang mahal. Soalnya, tenaga bebas ini membawa keluarganya ke Deli dan minta jaminan perumahan, tunjangan keluarga dan pelayanan kesehatan.

Penghapusan ordonansi akan merombak tata cara menghasilkan tembakau secara besar-besaran. Maka, praktek memeras tenaga kuli yang diributkan oleh Van den Brand dulu itu pun masih berjalan terus, antaran tahun 1918 - 1931.

Pada tahun 1931, berbagai ordonansi kuli dari daerah lain disatukan dengan ordonansi kuli tanah Deli, menjadi ordonansi kuli umum. Di dalamnya, poenale sanctie dihapus secara bertahap. Penghapusan ini sangat dipercepat oleh keputusan bersama para pengusaha tembakau Deli sendiri, untuk tidak memakai kuli kontrak lagi dengan poenale sanctie. Bukan karena mereka sudah tobat dan baik hati, tapi karena ingin mencegah jangan sampai ekspor tembakaunya ke Amerika Serikat ditolak. Waktu itu Amerika memang sedang giat-giatnya memberantas perbudakan dan tidak mau membeli tembakau hasil penganiayaan.

Ditimpa malaise tahun 1930, banyak perkebunan tembakau yang gulung tikar pula, sehingga "zaman meleset" ini merupakan isyarat untuk tidak memakai poenale sanctie lagi sama sekali. Tapi pemerintah baru menarik ordonansi kuli umum tahun 1931 itu secara resmi pada tanggal 1 Januari 1942.

"Enam orang kuli perempuan yang berhasil lepas dari cengkeraman kontrak Deli dan kembali ke Pulau Jawa, terdampar di Kota Semarang. Karena sudah tidak mempunyai uang sepeser pun, mereka terpaksa tidur di bawah pohon asam pinggir jalan. Akhirnya, seorang wartawan Koran De Locomotief menelpon polisi, agar mau menolong orang-orang malang itu, supaya bisa pulang ke kampung halaman masing-masing."

Mereka batal menjadi Jadel, tapi Jadok (Jawa medok).

© Copyright @2025 LIDEA. All Rights Reserved.