Jakarta (ANTARA) - Di era keterbukaan informasi, komunikasi publik bukan lagi sekadar tugas teknis, melainkan fungsi strategis dalam tata kelola pemerintahan.

Hampir semua kementerian, lembaga, dan pemerintah daerah di Indonesia memiliki unit komunikasi publik atau biasa juga dikenal sebagai biro hubungan masyarakat atau biro humas, ditambah koordinasi oleh Kementerian Komunikasi dan Digital (Komdigi).

Pertanyaan muncul apakah pola kelembagaan ini cukup untuk menghadapi tantangan komunikasi era digital? Bagaimana pengalaman negara lain bisa menjadi pembanding, dan apa syarat agar komunikasi publik pemerintah lebih efektif?

Struktur komunikasi publik Indonesia masih terfragmentasi. Setiap kementerian memiliki humas sendiri, sementara koordinasi lintas kementerian berada di Kementerian Komdigi. Dalam praktik, koordinasi sering berjalan parsial. Pesan kerap berbeda nada, bahkan saling tumpang tindih. Akibatnya, publik menerima informasi yang tidak konsisten.

Contoh paling nyata terlihat saat penanganan pandemi COVID-19. Pesan pemerintah awalnya simpang siur, dari soal penggunaan masker, hingga kebijakan mobilitas. Baru setelah dibentuk Satgas Penanganan COVID-19 dengan kanal komunikasi terpadu, pesan mulai konsisten. Artinya, kelembagaan yang kuat dengan mandat jelas adalah kunci.

Beberapa negara telah lebih dulu mengonsolidasikan komunikasi pemerintah dalam satu badan khusus. Di Inggris, terdapat Government Communication Service (GCS) di bawah Cabinet Office. GCS mengoordinasikan komunikasi lintas kementerian dengan prinsip one government, one voice. Semua materi komunikasi harus mengacu pada pedoman tunggal, mulai dari gaya bahasa, hingga standar etika.

Singapura memiliki Ministry of Communications and Information (MCI) yang berfungsi ganda: sebagai regulator media dan sebagai pengelola komunikasi pemerintah. MCI membawahi government information service yang memastikan pesan kebijakan terintegrasi, mudah dipahami, dan disampaikan lewat medium digital yang relevan dengan masyarakat urban.

Di Amerika Serikat, Gedung Putih memiliki Office of Communications yang bekerja erat dengan Public Affairs Office di setiap kementerian. Struktur ini menekankan pada konsistensi pesan dan kedekatan dengan media arus utama.

Dari ketiga contoh tersebut, tampak bahwa kunci efektivitas adalah integrasi kelembagaan, mandat tunggal, serta kapasitas sumber daya manusia yang mumpuni.

Peluang di Indonesia

Indonesia memiliki peluang besar untuk meningkatkan kualitas komunikasi publik. Pertama, basis hukum sudah ada. UU Keterbukaan Informasi Publik menjamin hak warga untuk mengetahui kebijakan negara. UU ITE dan UU Penyiaran juga menjadi kerangka dalam distribusi informasi digital.

Kedua, infrastruktur digital berkembang pesat. Dengan lebih dari 220 juta pengguna internet, pemerintah memiliki kanal yang luas untuk menyampaikan pesan langsung ke warga, tanpa harus sepenuhnya bergantung pada media konvensional.

Ketiga, partisipasi publik semakin tinggi. Masyarakat aktif menanggapi, mengkritik, dan bahkan memverifikasi pesan pemerintah. Ini tantangan, sekaligus peluang, jika komunikasi dikelola transparan, partisipasi publik bisa memperkuat legitimasi kebijakan.

Apakah keberadaan Badan Komunikasi Pemerintah bisa menjadi solusi? Dalam perspektif komunikasi publik, peran badan komunikasi pemerintah sejalan dengan teori agenda-setting McCombs dan Shaw (1972). Pemerintah berhak menentukan isu prioritas, tetapi pesan hanya efektif bila konsisten dan relevan dengan kebutuhan publik.

Lebih jauh, model komunikasi dua arah simetris ala James Grunig (1984) mengingatkan bahwa pemerintah tidak bisa hanya menyiarkan pesan sepihak. Ruang partisipasi publik harus dihidupkan agar komunikasi menjadi dialog, bukan monolog. Bahkan, Habermas (1962) menekankan pentingnya ruang publik sebagai arena deliberasi, di mana pesan pemerintah menjadi bahan diskusi kritis warga, bukan sekadar instruksi.

Jadi pilihannya bukan hanya soal struktur, tetapi juga soal orientasi. Apakah komunikasi publik dilihat sekadar alat promosi kebijakan, atau benar-benar sebagai ruang interaksi antara negara dan warganya?

Dan ada tiga faktor utama yang perlu diingat agar komunikasi publik pemerintah meningkat.

Pertama, kepemimpinan dan koordinasi yang kuat. Badan komunikasi pemerintah harus punya otoritas jelas, tidak sekadar koordinator administratif. Tanpa mandat kuat, koordinasi hanya akan menghasilkan tumpang tindih.

Kedua, kapasitas sumber daya manusia. Praktisi komunikasi pemerintah harus menguasai literasi digital, analisis data, dan strategi media. Inggris melalui GCS, misalnya, mewajibkan pelatihan berjenjang bagi setiap pegawai komunikasi. Indonesia juga perlu menyiapkan diklat dan sertifikasi setara agar kualitasnya terjaga.

Ketiga, transparansi dan akuntabilitas. Publik hari ini tidak hanya menuntut informasi cepat, tetapi juga benar dan dapat diverifikasi. Setiap pesan pemerintah harus disertai rujukan data resmi. Tanpa transparansi, komunikasi publik akan mudah dituding sebagai propaganda.

Bagaimanapun, penguatan komunikasi publik pemerintah adalah kebutuhan mendesak. Fragmentasi kelembagaan membuat pesan sering tidak konsisten. Perbandingan dengan Inggris, Singapura, dan Amerika Serikat menunjukkan pentingnya integrasi dan kepemimpinan yang kuat. Indonesia memiliki modal hukum, infrastruktur digital, dan partisipasi publik yang aktif.

Tantangannya kini adalah membangun kelembagaan komunikasi yang solid, meningkatkan kapasitas sumber daya, dan memastikan setiap pesan berlandaskan transparansi. Dengan langkah itu, komunikasi publik tidak hanya sekadar menyampaikan informasi, tetapi juga menjadi instrumen membangun kepercayaan, memperkuat demokrasi, dan menjaga kohesi nasional.

*) MT Hidayat adalah mahasiswa Program Doktor Kepemimpinan dan Inovasi Kebijakan (DKIK) Sekolah Pascasarjana Universitas Gadjah Mada (UGM) Yogyakarta