Di balik senyum ramah para pelaku pariwisata dan meriahnya event di berbagai destinasi, ada satu hal yang sering luput diperhatikan, wisata belanja.
Bagi Deputi Bidang Pemasaran Kementerian Pariwisata, Ni Made Ayu Marthini, wisata belanja adalah jantung yang diam-diam memberi energi besar bagi perekonomian Indonesia.
"Karena sebetulnya ekonomi kita itu memang di- gitu ya, , oleh tiga hal, tourism, trade, and investment. Itu yang membuat pertumbuhan kita hidup," ungkap Ni Made dalam forum Jakarta International Investment, Trade, Tourism, Small and Medium Enterprise Expo (JITEX) 2025.
Tahun lalu, Indonesia kedatangan 14 juta wisatawan mancanegara. Tahun ini, targetnya lebih tinggi yakni antara 14,6-16 juta orang. Sementara itu, wisatawan nusantara-atau yang akrab disebut wisnus-ditargetkan melakukan 1,08 miliar perjalanan.
Angka itu bukan sekadar statistik. Bayangkan, satu wisatawan domestik rata-rata membelanjakan Rp 2,3 juta sekali berlibur, sementara turis mancanegara menghabiskan sekitar USD 1.390 setiap kali mengunjungi Indonesia.
Miliar rupiah hingga miliaran dolar yang akhirnya berputar, pada akhirnya kembali untuk masyarakat dalam bentuk pembangunan jalan, jembatan, hingga fasilitas publik yang kita nikmati sehari-hari.
"Nah, ini artinya ketika 14 juta wisatawan ada berarti berapa devisa yang masuk? Kenapa devisa ini penting? Untuk ekonomi, untuk membuat jembatan, untuk membuat jalan, untuk membayar kami para ASN untuk Bapak dan Ibu mendapatkan fasilitas negara dan sebagainya. Ini penting sekali. Jadi yang pertama saya bilang wisata itu penting gitu ya. Wisata belanja adalah salah satu cara untuk meningkatkan dari pendapatan atau devisa maupun pergerakan ekonomi," ujarnya.
Faktanya, belanja wisatawan di Indonesia masih didominasi akomodasi serta makanan dan minuman. Sektor lain-seperti suvenir, fashion, hingga produk lokal-masih punya ruang besar untuk berkembang.
"Di industri misalnya souvenir, belanja yang lain-lainnya dan sebagainya. Ini harus ditingkatkan karena Indonesia untuk benchmarking dengan negara lain ya belum terlalu tinggi spending belanjanya,' ujarnya.
Contoh menarik datang dari wisatawan Malaysia. Tak hanya terpesona oleh aneka konser musik di Jakarta, mereka juga menjadikan Bandung sebagai destinasi wajib untuk berbelanja.
Produk-produk lokal seperti kopi, parfum, kosmetik, hingga kue khas Kartika Sari selalu jadi incaran. Bahkan toko buku Gramedia sampai ditanyakan oleh turis Malaysia, "Mereka bilang kenapa belum ada di Malaysia? saking ngetopnya," ujarnya.
Fenomena ini memperlihatkan betapa brand lokal Indonesia sudah menempati ruang khusus di hati wisatawan. Tinggal bagaimana promosi dan pengalaman belanja bisa lebih ditingkatkan agar dampaknya makin besar.