Hartini adalah satu-satunya istri Bung Karno yang berada di sampingnya saat dia meninggal. Sang istri ke-4 ini memang punya tempat istimewa di hati Bung Besar.
Artikel ini tayang di Majalah Intisari edisi April 2002 dengan judul "Hartini Mengarungi Lautan Cinta BK".
Oleh Shinta Teviningrum
---
Intisari hadir di WhatsApp Channel, follow dan dapatkan berita terbaru kami di sini
---
Intisari-Online.com -Hartini agaknya punya tempat khusus di hati Bung Karno. Buktinya, dalam sebuah surat tertanggal 24 Mei 1965 BK berpesan, "Kalau saya meninggal dunia, maka saya menghendaki agar kelak istri saya Hartini dikubur berdampingan dengan saya. Tempat kuburan bersama itu telah saya tentukan, yaitu dekat Kebun Raya Bogor dekat bekas pemandian yang membukit."
Tak mudah membaca kitab perjalanan hidup Hartini, istri keempat Sukarno. Bila diibaratkan, seperti membaca buku yang tintanya terkadang buram terkadang nyata. Tak banyak orang tahu bagaimana kisah perjalanan hidup Hartini yang sebenarnya. Wajar, karena Hartini dengan sadar memilih menjadi seorang "ratu".
"Banyak suka dan duka selama mendampingi Bapak, tapi saya harus mengambil sikap seorang ratu. Ratu sejati harus menyimpan diam-diam semuanya di dalam hati," kata Hartini suatu ketika (Tempo, 22 Agustus 1999).
Tak berniat jadi ibu negara
Tak banyak cerita tentang masa awal kehidupan Hartini. Kecuali dia adalah anak kedua dari lima bersaudara. Ayahnya Osan, bekerja di Departemen Kehutanan. Setamat SD di Malang, Hartini diangkat anak oleh Oesman yang tinggal di Bandung. Hartini pun mencari ilmu di Sekolah Kepandaian Putri.
Sering tampil dengan rambut dikepang dua, gadis Hartini tak hanya terkenal amat cantik, dia juga sedikit genit. Namun sebagaimana umumnya perempuan di zaman itu, dalam usia amat muda dia dinikahkan dengan Suwondo, karyawan perusahaan perminyakan. Entah bagaimana kisahnya sampai Hartini menjanda pada usia 28 tahun dengan lima anak.
Pertemuan pertama dengan BK terjadi pada 1952, saat BK dalam perjalanan menuju Yogyakarta untuk meresmikan Masjid Syuhada. Saat mampir di Salatiga untuk makan siang, Hartini dan ibu-ibu di kota kecil itu menyiapkan hidangan. Usai acara, BK menyalami semua yang hadir dan BK bertanya pada Hartini, "Siapa namamu?"
Tahun berikutnya dalam peresmian teater terbuka Ramayana di Candi Prambanan, mereka berjumpa kembali. Disusul dengan datangnya, melalui seorang teman, sepucuk surat tulisan tangan untuk Hartini di Salatiga. Bunyinya, Ketika aku melihatmu untuk kali pertama, hatiku bergetar. Mungkin kau pun mempunyai perasaan yang sama. Ttd. Srihana.
Pertemuan itu agaknya sangat berkesan bagi keduanya. Hartini kemudian kerap ke Semarang dan Jakarta untuk menjumpai BK. Hubungan khusus itu akhirnya tercium oleh pers dan menjadi berita hangat yang kerap menghiasi surat kabar.
Secara sederhana, pasangan beda usia 23 tahun itu menikah di Istana Cipanas, 7 Juli 1953. Namun, kabar perkawinan itu baru sampai ke telinga Fatmawati pada 1954. Hubungan BK dan Fatmawati pun merenggang, berujung dengan pindahnya Fatmawati dari Istana ke Kebayoran Baru.
Bukan hanya Fatmawati yang menolak kehadiran Hartini. Penolakan yang lebih keras dilakukan organisasi wanita macam Persit dan Perwari yang anti-poligami. Mereka sampai berunjuk rasa menentang perkawinan itu dan tegas-tegas menolak orang lain selain Fatmawati sebagai first lady.
Meski Hartini mengaku, sejak semula tak punya niat untuk merebut kedudukan Fatmawati sebagai ibu negara. "Saya nrimo untuk dijadikan istri setelah Ibu Fat, karena saya sangat mencintai Bapak," kata Hartini.
Lembut dan telaten
Menjelang diperistri BK, Hartini sadar benar akan dimadu. Dia pun ikhlas bila BK hanya bisa menyediakan waktunya di akhir Minggu, dari Jumat malam hingga Senin pagi.
Pendidikan tradisional dari kedua orangtuanya melekat benar padanya. Sepanjang hidupnya, Hartini mempraktikkan fungsi istri yang harus juga menjadi ibu, kawan, dan kekasih bagi suami.
Menurut keterangan pelukis Dullah, Hartini telaten meladeni BK, termasuk melayani keinginan BK untuk menyenangkan teman-temannya. BK memang dikenal sangat hafal tentang berbagai hal sepele pada teman-temannya.
"Hei, Dullah, kamu dipanggil Ibu," kata BK suatu saat.
"Ada kepentingan apa, Pak?"
"Biasa, aku ingin makan bersama kamu. Ibumu sudah masak enak."
"Ah, Bapak ada-ada saja."
"Wis ta .... Klangenamnu disediyani," (Sudahlah, kesenanganmu juga disediakan) kata Bung Karno lagi.
Sorenya Dullah ke Bogor. Benar juga, sore itu mereka makan bersama. Tidak lupa terhidang makanan kegemaran sang pelukis, yakni ketan juruh (ketan kinca - Red.).
Dullah yakin, ini pasti bukan gagasan Hartini, tapi BK yang punya mau karena kegemarannya yang satu ini hanya BK yang tahu.
Kelemahlembutan justru menjadi kekuatan Hartini. Kekuatan yang mengikat Sukarno dan menjadikan pengaruh Hartini terhadapnya makin besar. Semenjak dia tinggal di salah satu paviliun di Istana Bogor, beberapa tamu negara dibuatkan acara ke Bogor. Misalnya Akihito, Michiko, Ho Chi Minh, dan Sihanouk.
Di sana pula Hartini berperan bak first lady. Konon ada yang menyebut katebelece Hartini tentang suatu proyek sangatlah berharga.
Bahkan Dubes AS saat itu, Howard Jones, pernah meminta Cindy Adams, penulis buku Sukarno My Friend, untuk mewawancarai Hartini. "Kau harus mewawancarainya, karena pengaruhnya besar terhadap kehidupan Soekarno,” kata Jones kepada Cindy.
Cemburu itu masih ada
Sayang, sebesar apa pun pengaruh Hartini, tetap saja tak mampu mengendalikan BK untuk tak jatuh cinta lagi pada perempuan lain.
"BK memang mudah jatuh cinta. Dia sangat mencintai keindahan, dari lukisan hingga wanita cantik. Cintanya kepada wanita cantik menjadi beban paling berat bagi saya. Tapi saya belajar menerima dia sebagaimana adanya, bukan bagaimana dia seharusnya,” cerita Hartini.
Bukan hanya mencintai keindahan, BK selalu bersikap gallant menghadapi wanita, tak peduli tua atau muda. Gallantery-nya inilah yang pertama-tama akan membuat wanita itu senang, merasa dihargai oleh BK. Misalnya, BK tidak segan mengambilkan sendiri minuman bagi seorang tamu wanita, atau membantu wanita itu sewaktu turun dari mobil.
BK memang bak Arjuna yang dalam hidup terus terlibat persoalan wanita dan secara berani menerapkan politik vivere peri colozo dalam soal asmara (baca Sewindu Dekat Bung Karno, Bambang Wijanarko, PT Gramedia).
Terbukti, setelah delapan tahun Hartini mendampingi BK, bermunculan wanita lain: Ratna Sari Dewi (1961), Hariyatie (Mei 1963), dan Yurike Sanger (Agustus 1964). "Sungguh tidak mudah diatasi. Saya belajar sedikit demi sedikit untuk mengatasinya. Marah, cemburu, itu biasa karena saya hanya manusia normal. Perkawinan saya dengan BK menuntut biaya yang sangat mahal, berupa woman's sacrifice,” katanya.
Saat BK tengah kasmaran, Hartini bisa tiba-tiba saja tahu. "I just know. Saya tahu dari matanya, selain itu saya seperti punya indera keenam,” tuturnya.
Biasanya, sebagai bentuk protes selanjutnya Hartini akan diam, dan BK pun tahu bahwa Hartini sedang cemburu. Pernah suatu saat Hartini mencoba bentuk protes yang lain. Dia ingin menunjukkan bahwa dia pun bisa marah.
"Caranya. Biasanya setiap kali. Bapak datang, saya menyambut dengan ciuman. Tapi kali itu tidak. Bapak lalu mengetuk pintu kamar sambil berkata, ‘Tien, saya datang.’ Tapi tidak saya balas. Selama satu jam saya tidak keluar kamar. Bapak lantas pulang ke Jakarta."
Tapi celaka, ngambeknya Hartini justru seakan menelanjangi kecemburuannya. "Seluruh Bogor dan Indonesia tahu, bahwa Ibu Hartini cemburu. Bagaimana tidak, jadwal Bapak di Bogor adalah Jumat - Senin. Namun hari itu Bapak langsung kembali ke Jakarta setelah satu jam."
Hartini pun kapok.
Kepergok juga
Ada kecenderungan pada setiap wanita untuk bersikap posesif, memandang suami sebagai miliknya seorang. Namun, sikap itu bisa hapus seketika manakala berkaca pada kerelaan Hartini berbagi dengan wanita lain.
Bagaimanapun, tanpa sadar, ego untuk unjuk pengaruh pernah muncul juga. Pada masa itu, banyak kalangan yang dekat BK mengalami kesulitan dalam menjalin hubungan dengan para istri BK. Seorang asisten yang dekat sekali dengan Fatmawati, berisiko tidak disenangi oleh Hartini. Sebaliknya, orang dekat BK yang istrinya sering ke Bogor untuk bertemu Hartini juga harus siap tidak disenangi Fatmawati.
"Kasus" itu terjadi tanpa para istri sempat bertatap muka. Bagaimana kalau sampai mereka bersirobok?
Sepandai-pandai tupai melompat, sekali-sekali pasti jatuh juga. "Kecelakaan" bertemunya para istri BK, yang sebenarnya sebisa mungkin dihindari BK, pernah terjadi juga. Pada Mei 1963, pesawat Electra dari Irian Barat yang membawa BK dan Hariyatie dari melawat ke New Guinea mendarat di Lapangan Udara Kemayoran.
Mereka disambut meriah oleh masyarakat, pejabat pemerintah, dengan upacara kemiliteran. Entah bagaimana, salah seorang di antara penyambut adalah Hartini. Dia rupanya kurang berkenan Hariyatie diajak oleh BK. Memang saat itu Hariyatie belum resmi dinikahi, meski telah resmi dilamar dan diumumkan ke publik.
Dalam perjalanan menuju Istana Merdeka, Hartini ikut masuk istana. BK tidak membela salah seorang di antara mereka, dan tetap tenang dan diam sewaktu mereka duduk bertiga di ruang tamu resmi Istana Merdeka.
Baru kemudian BK membuka pembicaraan, "Tie, kuwi Hartini kepingin omong karo kowe." (Tie, itu Hartini mau bicara denganmu.)
Lalu, Hariyatie langsung menjawab, "Mbakyu, di depan kita adalah Bapak Presiden, bukan suami kita. Di luar pintu para pejabat tinggi negara menunggu dengan berdebar. Jadi, kalau Mbakyu ingin membicarakan masalah kita mengenai urusan suami-istri, bukan di sini tempatnya, mari kita bicara di luar istana....” Hariyatie pun pamit kepada BK (Hariyatie Soekarno, The Hidden Story, Grasindo).
Enam belas tahun bukan waktu yang singkat menghadapi lautan luas kehidupan mendampingi BK. Bahkan saat maut merenggut BK, Hartini-lah satu-satunya istri yang berada di sampingnya.
"Mengapa saya terus bertahan, karena ini takdir Tuhan. Tuhan Maha Adil. Kalau kekuatan saya ibaratnya senilai 10 perak, saya juga akan dianugerahi kesenangan senilai sepuluh perak. Akan selalu ada keseimbangan."
Perjuangan Hartini membuktikan kesetiaan dan cintanya kepada BK memang akhirnya berbuah manis. Hati Fatmawati memang tidak luluh, namun anak-anaknya ikhlas membuka pintu hati untuk Hartini.
Prinsip Hartini, sebagai orangtua sebisa mungkin harus bersikap bijaksana. "Orangtua harus tahu bagaimana menempatkan diri. Itulah suatu rahasia hidup yang harus dijalani dengan ikhlas."
Pada 12 Maret 2002, bukan hanya anak-anak kandung Hartini, namun juga anak-anak Fatmawati turut mengantar kepergiannya menghadap Sang Khalik. Ikatan emosional itu begitu nyata, "Ibu mengajarkan kesabaran, kesederhanaan, kedisiplinan pada kami," tutur Rachmawati di sela sedu tangisnya. Kitab perjalanan hidup Hartini pungkas sudah. Sayangnya, pesan BK untuk bersanding nisan dengan sang garwo belum kesampaian.