TRIBUNJATENG.COM, SEMARANG – Komisi B DPRD Kota Semarang angkat bicara soal kondisi Pasar Johar yang relatif sepi tiga tahun pascadirevitalisasi.
Ketua Komisi B DPRD Kota Semarang, Joko Widodo, menyoroti sejumlah persoalan dalam pengelolaan Pasar Johar, mulai dari kondisi sarana dan prasarana yang belum optimal, hingga keluhan pedagang terkait menurunnya jumlah pengunjung.
Fenomena sepinya pasar tradisional, menurut Joko Widodo, tak lepas dari perubahan pola konsumsi masyarakat yang kini lebih memilih berbelanja secara daring.
"Kami beberapa waktu lalu berdialog dengan para pengurus PPJP (Persatuan Pedagang dan Jasa Pasar) Pasar Johar dan memang ada beberapa keluhan, di antaranya masalah sarana dan prasarana. Kemudian yang kedua, keluhan sepi,” kata Joko Widodo kepada Tribun Jateng, Minggu (21/9/2025).
“Ini memang banyak fenomena pasar tradisional yang mengalami beberapa kelesuan, karena perubahan pola hidup masyarakat, baik dalam pola konsumsi maupun pola belanjanya," sambungnya.
Sebagai langkah adaptif, Joko Widodo menyampaikan, Komisi B mendorong para pedagang untuk mulai menggabungkan sistem penjualan offline dan online.
Upaya ini, menurutnya, penting dilakukan agar pasar tradisional tetap bisa bersaing dengan platform digital dan pusat perbelanjaan modern.
"Pekan kemarin dari Kementerian, mereka menghadirkan influencer dan yang lainnya untuk bagaimana membikin sajian (berjualan) online. Tentu kita juga berupaya bagaimana pasar ini dikelola dengan lebih baik," ungkap politikus Partai Keadilan Sejahtera (PKS) tersebut.
Joko juga menilai, meskipun penjualan daring menawarkan kemudahan, pasar tradisional tetap memiliki keunggulan tersendiri karena pembeli bisa melihat dan menilai langsung kualitas barang.
"Pasar tradisional tetap punya kelebihan, dalam arti bahwa barang mereka itu bisa dilihat dulu di timbang-timbang dulu kualitasnya seperti apa sebelum orang membayar," kata Joko.
"Nah, sehingga mudah-mudahan dengan demikian menggabungkan atau meng-hybrid-kan antara penjualan online dengan offline itu menjadi nilai lebih dari teman-teman para pedagang tradisional," ungkapnya.
Tantangan
Mengenai meningkatnya jumlah pusat perbelanjaan modern atau mal di Kota Semarang, Joko Widodo tidak menampik bahwa hal tersebut turut menjadi tantangan bagi eksistensi pasar tradisional, termasuk Pasar Johar.
Namun, ia juga melihat fenomena menarik yang menunjukkan bahwa tidak semua pengunjung mal datang untuk berbelanja produk.
"Kalau melihat dinamika yang ada, di mal-mal itu sebenarnya juga menjadi fenomena. Sekarang ini mall sebenarnya lebih menjadi tempat hiburan, tempat kuliner," ungkapnya.
Fenomena tersebut dikenal dengan istilah guyonan yang berkembang di masyarakat, yaitu rojali (rombongan jarang beli) dan rohana (rombongan hanya nanya), yang merujuk pada kebiasaan masyarakat yang sekadar datang ke mal untuk melihat-lihat tanpa membeli apa-apa.
Menurut Joko, kondisi ini justru bisa menjadi peluang bagi pasar tradisional untuk mengambil ceruk pasar yang benar-benar membutuhkan produk dengan harga terjangkau.
"Nah, kalau membandingkan dengan di mal, sebenarnya kan dengan kualitas barang yang sama, di pasar itu barang bisa lebih murah. Karena mungkin aspek sewa tempatnya yang tentu berbeda," terangnya.
Ia menyampaikan, dengan memanfaatkan keunggulan ini, pasar tradisional tetap bisa bersaing, apalagi jika mampu beradaptasi dengan perilaku konsumen masa kini.
Di sisi lain, terkait kontribusi Pasar Johar terhadap Pendapatan Asli Daerah (PAD), Joko mengungkapkan hingga pertengahan September 2025, capaian retribusi pasar secara umum di Semarang baru mencapai 34 persen dari target tahunan, jauh dari idealnya 70 persen.
"Saya belum melihat detail untuk Pasar Johar. Namun secara global, 8,6 bulan ya, kalau setahun itu kan berarti sudah 70 persen tetapi retribusi kita dari perdagangan itu baru 34 persen dari target," paparnya.
Menurutnya, pihaknya akan mendalami hal tersebut dengan pihak terkait mengenai faktor-faktor penyebabnya agar bisa segera dicarikan solusi.
"Nanti rapat ke depan dengan (Dinas) Perdagangan akan kita tanyakan ini ada problem apa di lapangan," ungkapnya.
Integrasi dengan Kota Lama
Mengenai adanya dorongan Pasar Johar bisa diintegrasikan dengan kawasan wisata Kota Lama, menurut Joko, hal ini bisa menghidupkan kembali aktivitas ekonomi di pasar sekaligus menjadikannya bagian dari paket wisata Kota Semarang.
"Kemarin kita sampaikan juga ke Dinas Perdagangan untuk kemudian bisa kerja sama dengan pihak terkait yang mengelola kota lama. Jadi, kita melihat tempat-tempat lain bagaimana bisa memadukan antara wisata dengan belanja ya. Kalau di Jogja misalnya Beringharjo yang nempel dengan Malioboro," katanya.
Sebagai upaya penataan ke depan, ia menyebut pentingnya membangun jalur penghubung (connecting) antara Pasar Johar dan Kota Lama, misalnya melalui pembangunan jembatan penyeberangan di atas Kali Semarang.
"Connecting ini kemarin kami sarankan juga agar kemudian bisa disiapkan mulai dari melakukan desainnya. Connecting-nya seperti apa agar dari pasar Johar dengan Kota Lama ini bisa ada jalurnya itu," katanya.
Selain soal infrastruktur, menurut Joko, agar Pasar Johar relevan sebagai bagian dari destinasi wisata, perlu ada penyesuaian jenis dagangan.
Produk khas Semarang seperti batik, kerajinan tangan, dan oleh-oleh lokal juga perlu lebih ditonjolkan.
"Konsekuensi dari penggabungan itu, dengan menjadikan dagangannya itu adalah dagangan yang tepat untuk oleh-oleh orang berwisata. Ya, tentu dia akan menjadi daya tarik itu sendiri," kata Joko.
"Tentu ke depan harus kerja sama dengan mungkin produsen-produsen, karena biasanya kalau orang wisata itu kalau belanja cari yang murah, karena dia beli lebih banyak untuk hadiah oleh-oleh," imbuhnya.
Treatment khusus
Sementara itu, anggota Komisi B DPRD Kota Semarang, Mararas Apuwara menilai pengelolaan Pasar Johar sejauh ini sudah berjalan cukup baik, namun masih menyisakan ruang untuk perbaikan, terutama dalam hal menarik perhatian dari masyarakat sebagai konsumen.
"Pengelolaan Pasar Johar secara prinsip sudah baik, namun bisa lebih ditingkatkan lagi dengan upaya Pemkot lebih fokus kepada ‘catch attention’ customer terhadap pedagang di Pasar Johar," ungkap Mararas.
Menurut Mararas, fenomena sepinya pasar fisik bukan hanya terjadi di Semarang, melainkan fenomena global yang juga dialami oleh pasar tradisional di berbagai negara.
Bahkan, menurutnya, mal sekalipun akan sulit bertahan jika tidak mampu berinovasi.
Berangkat dari hasil diskusi dan forum dialog bersama pedagang, Mararas menilai, Pasar Johar memerlukan perlakuan khusus agar mampu bertransformasi menjadi pusat ekonomi dan budaya yang menarik bagi warga maupun wisatawan.
"Saya pernah dalam FGD dengan para pedagang menyerap aspirasi dari mereka. Di Pasar Johar perlu treatment khusus. Jadi peningkatan kemajuan Pasar Johar harus melibatkan berbagai stakeholder mulai dari pemerintah, pedagang dan komunitas," terang politikus Partai Golkar tersebut.
Mararas menambahkan, satu di antara keunikan dan kekuatan utama Pasar Johar adalah lokasinya yang strategis dan nilai historisnya sebagai bangunan heritage.
"Value dari pasar johar yang utama adalah tempat serta heritage-nya yang ‘trademark’ dimiliki oleh Pasar Johar. Dengan adanya event atau kegiatan yang melibatkan komunitas di sana, disertai dengan beragamnya barang yang dijual oleh para pedagang diharapkan akan memacu giat perekonomian Pasar Johar," ungkapnya.
Sementara itu, mengenai usulan integrasi Pasar Johar dengan paket wisata Kota Lama, Mararas menyebut hal tersebut sudah masuk dalam tahap kajian dan penelitian.
Ia menyebut dalam beberapa pertemuan bersama sejumlah tokoh dan pedagang, gagasan ini sudah mulai dirumuskan bersama.
"Nanti kita tunggu hasil penelitian dan kajian upaya tersebut apakah bisa menjadi solusi memghidupkan kembali pasar," imbuhnya. (Idayatul Rohmah)