Mengapa Praktik Suap dan Intimidasi Subur di Tubuh Kepolisian?
raka f pujangga September 24, 2025 05:32 AM

TRIBUNJATENG.COM,SEMARANG -  Anggota kepolisian di wilayah hukum Kepolisian Daerah (Polda) Jawa Tengah  yang tersandung kasus pidana diduga melakukan intimidasi dan suap untuk membungkam para korban dan keluarganya.

Ini bisa dilihat dari beberapa kasus di antaranya kasus Gamma Rizkynata Oktavandi dan kasus kematian Darso.

Para korban tersebut meregang nyawa di tangan polisi. 

Pengakuan dari para keluarga korban tersebut sempat mendapatkan intimidasi dan suap dalam proses mencari keadilan.

Pakar Hukum Universitas Katolik Soegijapranata (Unika)  Semarang Theo Adi Negoro mengungkap, merujuk dari beberapa penelitian praktik suap dan intimidasi sebagian aparat adalah produk dari masalah struktural, budaya organisasi "teman jaga teman", dan lemahnya mekanisme pengawasan.

Beberapa praktik tersebut akan sangat bermasalah jika dibarengi dengan kasus dugaan extrajudicial killing.

Hal ini menciptakan ruang impunitas yang mendorong oknum-oknum aparat penegak hukum untuk menyimpang. 

Dalam kerangka hukum tata negara, hal ini bertentangan dengan rule of law dan due process, karena negara berkewajiban melindungi hak hidup dan keselamatan warga sebagaimana dijamin oleh konstitusi, sehingga penyalahgunaan wewenang menandakan kegagalan institusional.

Suburnya praktik suap dan intimidasi juga bisa lahir dari budaya organisasi dan insentif.

Budaya “hasil cepat” disertai tekanan atasan, nepotisme, upah yang tidak memadai, atau normalisasi kekerasan dalam praktik kepolisian dapat mendorong oknum mencari jalan pintas. 

“Jalan pintas itu termasuk jika terdapat dugaan suap untuk menutup kasus atau intimidasi untuk menghalangi saksi,” ungkap Theo, Rabu (17/9/2025).

Ia menilai, praktik suap dan intimidasi yang dilindungi organisasi secara jelas mencerminkan adanya praktik impunitas. 

Praktik-praktik tersebut di antaranya  secara sengaja dan terbukti untuk menutup jejak, melindungi pelaku lain, menghalangi penyidikan lewat tekanan, suap, atau pembungkaman saksi.

“Hal ini justru menimbulkan preseden buruk, bahwa hukum tumpul kepada orang-orang tertentu saja,” terangnya.

Menurut Theo, praktik impunitas dari perspektif Hukum Tata Negara dan konstitusi merupakan hal yang serius.

Sebab,  impunitas meruntuhkan rule of law, menghapuskan equality before the law, dan melemahkan legitimasi negara.

“Solidaritas internal menjadi risiko institusional kalau tidak ada mekanisme pengawasan yang efektif dan kerelaan hati untuk mengikuti hukum meskipun yang tersandung hukum adalah teman sejawatnya sendiri,” jelasnya.

Ia mendesak kepada para polisi yang terbukti melakukan dugaan penyuapan atau intimidasi yang berkaitan dengan pembunuhan, maka hal demikian dapat menjadi pertimbangan Hakim untuk menambah beban hukuman mereka.

Hukuman lebih berat karena pelaku bisa mendapatkan beberapa pasal sekaligus, seperti penghalangan proses peradilan, penyuapan, pemaksaan, dan intimidasi. 

“Penindakan secara tegas itu justru dapat memulihkan legitimasi negara karena dianggap negara telah menjamin terlaksananya pelaksanaan hukum sesuai dengan prinsip rule of law dan due process of law. Hal ini mengisyaratkan bahwa aparat penegak hukum juga tidak kebal terhadap hukum,”  katanya. 

Kepala Bidang Hubungan Masyarakat (Kabid Humas) Polda Jawa Tengah, Komisaris Besar Polisi Artanto membantah soal adanya praktik suap dan intimidasi yang dilakukan anggotanya manakala terlibat kasus. 

Pihaknya justru mengklaim sebaliknya yakni menindak tegas anggota yang bersalah. 

“Kalau ada pelanggaran atau pidana yang dilakukan oleh oleh anggota tentunya itu harus diproses sesuai dengan aturan yang berlaku,” terangnya, Kamis (18/9/2025). (Iwn)

© Copyright @2025 LIDEA. All Rights Reserved.