"Dalam persidangan tidak ditemukan hal-hal yang dapat menghapuskan pertanggungjawaban pidana, baik sebagai alasan pembenar dan/atau alasan pemaaf serta terdakwa mampu bertanggungjawab, maka terdakwa harus dinyatakan bersalah serta dijatuhi pidana,"

Jakarta (ANTARA) - Hakim anggota II Hiashinta Fransiska Manalu menyatakan pendapat berbeda alias dissenting opinion atas putusan ne bis in idem terkait kasus dugaan tindak pidana pencucian uang (TPPU) dari hasil korupsi penjualan bijih nikel yang berasal dari wilayah izin usaha pertambangan (WIUP) PT Antam Tbk., Blok Mandiodo, Konawe Utara, Sulawesi Tenggara.

Dirinya berpendapat walaupun dakwaan didasarkan pada peristiwa yang sama, tetapi para terdakwa, baik pemilik PT Lawu Agung Mining, Windu Aji Sutanto maupun pelaksana lapangan PT Lawu Agung Mining, Glenn Ario Sudarto, didakwa dengan perbuatan pidana yang berbeda.

"Dalam persidangan tidak ditemukan hal-hal yang dapat menghapuskan pertanggungjawaban pidana, baik sebagai alasan pembenar dan/atau alasan pemaaf serta terdakwa mampu bertanggungjawab, maka terdakwa harus dinyatakan bersalah serta dijatuhi pidana," ungkap Hakim Hiashinta dalam sidang pembacaan putusan majelis hakim di Pengadilan Tipikor pada Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, Rabu.

Dalam pidana pokok, Hakim Hiashinta menyebutkan para terdakwa terbukti melanggar Pasal 2 ayat (1) juncto Pasal 18 ayat (1) huruf b Undang-Undang (UU) Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana diubah dengan UU Nomor 20 Tahun 2001.

Sedangkan dalam perkara TPPU, keduanya didakwa melanggar Pasal 3 atau Pasal 4 UU Nomor 8 Tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang (TPPU) jo. Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP.

Menurut Hakim Hiashinta, masing-masing dakwaan tersebut telah mengandung berbagai unsur tindak pidana berbeda, yang telah diatur dalam UU yang berbeda pula.

Dengan demikian, dikatakan bahwa jaksa penuntut umum, oleh Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP), diberi kebebasan untuk menyusun dakwaan dalam beberapa bentuk, sebagaimana dalam Surat Edaran Jaksa Agung.

"Baik dalam bentuk dakwaan tunggal, altenatif, subsider, kumulatif, maupun kombinasi," tutur Hakim Hiashinta.

Dalam kasus tersebut, Majelis Hakim Pengadilan Tipikor pada PN Jakarta Pusat menjatuhkan putusan ne bis in idem terhadap Windu Aji dan Glenn Ario.

Ne bis in idem merupakan asas hukum yang berarti "tidak dua kali dalam hal yang sama" atau "tidak boleh dituntut dua kali untuk perbuatan yang sama".

Majelis Hakim berpendapat perkara yang didakwakan kepada keduanya kali ini merupakan pengulangan perkara tindak pidana korupsi sebelumnya, yang telah diputus di tingkat kasasi dan telah memiliki kekuatan hukum tetap.

Meski begitu, Windu Aji dinyatakan tetap terbukti menggunakan hasil korupsi untuk membeli tiga mobil mewah menggunakan nama PT Lawu Agung Mining.

Windu Aji juga dinyatakan telah menerima uang dari penjualan nikel dengan total keseluruhan sebesar Rp1,7 miliar melalui rekening orang lain atas nama Supriono dan Opah Erlangga Pratama, yang keduanya merupakan karyawan office boy di Lawu Tower.

Dalam kasus tersebut, Windu Aji sebelumnya didakwa melakukan TPPU dari hasil korupsi penjualan bijih nikel yang berasal dari Wilayah Izin Usaha Pertambangan (WIUP) Antam Blok Mandiodo, Konawe Utara, Sulawesi Tenggara.

Windu Aji menggunakan uang rasuah itu untuk membeli satu unit mobil Toyota Land Cruiser, satu unit Mercedes Benz Maybach, dan satu unit mobil Toyota Alphard, serta menerima uang Rp1,7 miliar.

Sementara Glenn Ario, yang hanya selaku pelaksana lapangan PT Lawu Agung Mining, didakwa justru lebih aktif berperan dalam penambangan bijih nikel hingga melakukan pengangkutan dan penjualan.

Hasil penambangan bijih nikel yang dilakukan PT Lawu Agung Mining pada lahan Antam seharusnya diserahkan kepada Antam, serta tidak dapat dilakukan pengangkutan dan penjualan ke pihak lain, tetapi Glenn diduga membeli dokumen PT Kabaena Kromit Pratama (KKP) dan dokumen PT Tristaco Mineral Makmur (TTM) dengan harga antara 3–5 dolar AS per metrik ton sehingga seolah-olah bijih nikel tersebut berasal dari WIUP PT KKP dan PT TMM dan dapat dijual ke pihak lain.

Windu Aji dan Glenn Ario telah divonis dalam kasus korupsi penjualan bijih nikel tersebut. Berdasarkan putusan tingkat kasasi, Windu Aji divonis 10 penjara dan Glenn Ario divonis 7 tahun penjara, serta denda masing-masing sebesar Rp500 juta subsider 6 bulan kurungan.