TRIBUNJATENG.COM, SEMARANG - Di lereng Gunung Ungaran yang rimbun dan sejuk, banyak orang melihat hutan sebagai tempat wisata, sumber air, dan paru-paru hijau bagi masyarakat sekitarnya.
Namun, bagi Supolo, warga Ngesrepbalong, Limbangan, Kendal, hutan bukan sekadar panorama indah.
Hutan adalah rumah yang harus dijaga, meski menjaga rumah ini penuh tantangan.
Supolo sudah bertahun-tahun berkecimpung dalam upaya pelestarian alam. Ia memahami betul betapa sulitnya merawat keanekaragaman hayati yang ada di hutan Ungaran.
Kendala terbesar, menurutnya, justru datang dari manusia. Ironisnya, bukan hanya dari para perambah atau pemburu liar biasa, tetapi juga dari oknum pemangku yang seharusnya menjadi tonggak utama penjaga hutan.
“Seharusnya mereka jadi teladan dalam menjaga alam, tetapi yang terjadi malah sebaliknya. Mereka ikut berburu. Binatang di hutan hilang satu per satu,” ujar Supolo, Sabtu (27/9/2025).
Di kawasan hutan Ungaran, berbagai satwa liar seperti burung, reptil, hingga mamalia kecil dulu dapat dengan mudah ditemui.
Kini, keberadaannya semakin jarang terlihat. Aktivitas perburuan membuat satwa memilih bersembunyi lebih dalam atau bahkan hilang dari habitatnya.
Supolo menuturkan bahwa menjaga kelestarian hutan tidak bisa dilakukan sendirian.
Dibutuhkan konsistensi, kesadaran, dan kerja sama yang nyata dari banyak pihak. Ia sendiri sering terlibat dalam kegiatan penanaman pohon, patroli kecil bersama warga, hingga edukasi lingkungan untuk anak-anak muda di desanya.
Namun, menurutnya, upaya ini tidak akan berarti jika masih ada pihak yang memiliki kuasa justru menyalahgunakan wewenang untuk merusak hutan.
“Melestarikan hutan itu pekerjaan panjang. Tidak bisa hanya satu dua tahun. Kita butuh dukungan dari semua pihak, mulai dari masyarakat, pemerintah, sampai pemangku kepentingan yang benar-benar peduli. Kalau tidak, hutan hanya tinggal nama,” katanya.
Supolo mengibaratkan hutan sebagai warisan. Seperti halnya warisan yang dititipkan dari orang tua kepada anak-anaknya, hutan juga harus dijaga agar bisa dinikmati oleh generasi berikutnya.
Menurutnya, hutan Ungaran menyimpan nilai kehidupan yang sangat besar: air yang mengalir ke desa-desa, udara segar yang dirasakan ribuan orang setiap hari, hingga suara satwa yang menandakan ekosistem masih hidup.
“Kalau kita biarkan hutan hilang, berarti kita merampas masa depan anak cucu kita. Mereka tidak akan pernah lagi melihat satwa yang dulu pernah kita lihat, tidak akan mendengar suara burung di pagi hari, atau merasakan sejuknya rimba,” tuturnya.
Kisah Supolo menggambarkan kenyataan bahwa menjaga alam tidak hanya berbicara tentang program penghijauan atau kegiatan penanaman pohon.
Lebih dari itu, ada perjuangan menghadapi perilaku manusia yang kadang tidak bertanggung jawab. Alam bisa pulih, tetapi hanya jika manusia berhenti merusaknya.
Gunung Ungaran, dengan segala kekayaan hayatinya, adalah aset penting bagi Jawa Tengah. Namun tanpa konsistensi dan keberanian untuk melawan perburuan liar, hutan ini bisa kehilangan identitasnya.
Apa yang diungkapkan Supolo menjadi pengingat bahwa konservasi bukan sekadar tanggung jawab satu pihak, melainkan kerja bersama yang menentukan masa depan lingkungan kita semua. (*)