Poin Penting:
Laporan Wartawan Tribun Jatim Network, Bobby Koloway
TRIBUNJATIM.COM, SURABAYA - Masyarakat kawasan pesisir Surabaya masih resah mendengar keberlanjutan pembangunan Surabaya Waterfront Land (SWL).
Satu di antara kekhawatiran mereka, bencana hidrologi seperti Bali pada awal September lalu yang berpotensi turut terjadi di Surabaya.
Pada Kamis (21/8/2025), Kementerian Lingkungan Hidup (KLH) menggelar rapat koordinasi membahas izin reklamasi proyek SWL.
Berlangsung melalui virtual, pertemuan ini menghadirkan perwakilan pemerintah provinsi, pemerintah daerah, calon pengembang, para akademisi, praktisi, hingga perwakilan elemen masyarakat lainnya.
Mengutip sejumlah pihak yang hadir pada pertemuan tersebut, forum ini membahas izin Analisis Mengenai Dampak Lingkungan (AMDAL) yang menjadi salah satu persyaratan kegiatan reklamasi.
Izin AMDAL dapat diurus apabila pengembang telah mendapatkan izin Persetujuan Kesesuaian Kegiatan Pemanfaatan Ruang Laut (PKKPRL) dari Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP).
Mengetahui masih berlanjutnya proses perizinan reklamasi tersebut, memantik masyarakat pesisir resah. Elemen masyarakat yang tergabung dalam Forum Masyarakat Madani Maritim (FM3) pun mendatangi Pemkot Surabaya setelahnya untuk meminta kepastian sikap pemerintah daerah.
Bagi masyarakat pesisir, SWL tidak memiliki urgensi untuk dilanjutkan.
"Para ahli yang ikut di forum kementerian tersebut juga sudah mengatakan penolakan," kata Koordinator Umum Forum Masyarakat Madani Maritim (FM3), Ramadhani Jaka Samudra mengutip para pihak yang ikut dalam forum tersebut.
Satu di antara alasan mendasar bagi masyarakat pesisir adalah potensi bencana hidrologi seperti banjir. Membangun pulau baru di kawasan muara berpotensi menutup saluran dari pusat kota.
Dampaknya, seluruh kawasan di Surabaya akan merasakan bencana banjir seperti halnya di Bali pada awal September lalu. "Pulau ini kan nanti berdiri itu tepat di depan 9 muara sungai yang ada di Surabaya," kata Rama.
"Nah, 9 muara sungai ini merupakan ujung dari sungai-sungai kecil yang ada di Surabaya. Jadi ketika pulau ini berdiri di depan muara sungai, pasti itu akan mengganggu sistem drainase kita," kata Rama.
Tak hanya itu, material reklamasi dikawatirkan berpotensi membuat pendangkalan di kawasan pantai. Sekalipun pulau buatan berjarak 300 meter dari pantai, kawasan pesisir bisa tetap dilanda banjir rob.
"Sampai saat ini, tiap 2 sampai 3 bulan sekali itu warga sudah pasti kena Rob yang tingginya 30 sampai 50 cm. Nah, apalagi kalau lagi musim penghujan, masyarakat pesisir itu sudah bisa dipastikan kena air laut yang pasti langsung masuk," katanya.
Rama mengingatkan, Surabaya jangan sampai menjadi lokasi banjir seperti Bali. Banjir yang melanda beberapa wilayah di Bali pada awal September 2025 merendam tujuh wilayah kabupaten/kota dan menyebabkan 18 korban jiwa.
Membandingkan dengan kawasan reklamasi di Bali, Rama membayangkan efek yang lebih besar bisa diterima Surabaya raya. Mengingat, rencana reklamasi di kawasan pesisir Surabaya yang mencapai lebih dari seribu hektar.
"Kemarin, kejadian di Bali itu kan yang direklamasi kurang lebih 80-an hektar yang direklamasikan itu. Tapi, kemarin kena banjir yang sangat luar biasa," katanya.
"Mengutip data pemerintahan di BPBD setempat, salah satu titik (banjir) terbesarnya di daerah yang direklamasi. Sudah seharusnya, muara itu bisa langsung bebas mengalir ke laut tapi terhalang oleh pulau buatan itu," tegasnya.
Gejala serupa sebenarnya telah tampak di Surabaya. Di antaranya dengan adanya banjir pada Desember 2024 lalu. Kawasan-kawasan daerah muara yang merupakan tempat dekat dengan lautan mengalami banjir dengan diperparah curah hujan tinggi bersamaan dengan gejala ombak laut tinggi.
"Pak Wali Kota (Eri Cahyadi) itu sebenarnya sudah mengakui bahwa memang Surabaya ini kan dari ketinggian tanah itu paling rendah dibanding daerah-daerah lain seperti dari Mojokerto, Jombang dan lainnya. Sehingga, ini memang daerah muara," katanya.
"Namun, aktivitas pendangkalan ini kemudian terjadi berlangsung lama. Jadi, posisi sungai-sungai di Surabaya ini ya kejebak. Mau ngeluarkan ke laut enggak bisa, tapi dapat kiriman dari daerah-daerah di luar Surabaya," katanya.
Karenanya, pihaknya mengingatkan Pemkot Surabaya untuk tegas menolak izin SWL. Di antaranya, dengan meminta KKP mencabut Persetujuan Kesesuaian Kegiatan Pemanfaatan Ruang Laut (PKKPRL) dan merekomendasikan agar KLH tak mengeluarkan izin AMDAL. "Kami ingin Pemkot Surabaya tegas mengatakan untuk menolak proyek ini," kata Rama.
Praktisi infrastruktur dari Persatuan Insinyur Indonesia (PII) Jawa Timur, Ali Yusa menjelaskan hal senada. Menurutnya, proyek reklamasi selaiknya turut menyiapkan langkah preventif sebelum dilaksanakan.
"Nggak usah jauh-jauh reklamasi. Tanpa ada reklamasi saja, di kawasan Rungkut hingga Gunung Anyar itu banjir sangat sering terjadi. Beberapa daerah mulai dari Gunung Anyar sampai ke yang sekarang jadi pemukiman itu juga sering terjadi. Kenapa? Karena saluran drainase itu berbeda dengan saluran untuk pengairan," kata Ali dikonfirmasi terpisah.
Banyak kawasan di Gunung Anyar yang sebelumnya digunakan sebagai kawasan resapan berbentuk tambak, dialih fungsikan sebagai perumahan. "Karena nggak dirubah jadi saluran drainase, akhirnya ya itu tadi banjir melanda," katanya.
"Termasuk yang ada di Kenjeran, Bulak, dan lain sebagainya dahulu itu itu dulu adalah bukan saluran drainase, itu dulu adalah saluran tambak. Nah, kalau itu enggak dirubah maka yang terjadi apa? Kawasan itu akan semakin tenggelam," katanya.
Menurutnya, kegiatan reklamasi di Surabaya pernah terjadi sejak era Belanda. Namun menurut Ali, ada sejumlah pertimbangan yang disiapkan dengan matang.
Untuk reklamasi kawasan daratan seluas 6 meter persegi, Belanda lebih dahulu membuat saluran sepanjang 23 km dari Ujung Pangkah itu sampai ke Laut Jawa, memperlebar Sungai Kalimas, hingga breakwater. "Jadi Belanda itu bikin sungai dulu, bikin break water dulu, baru dia reklamasi kawasan yang saya sebut tadi. Nah, yang ini enggak dilakukan (pengembang SWL), tidak melakukan apa-apa moro-moro bangun. Ya rusak," katanya.
Di sisi lain, saat disinggung terkait dengan proses perizinan tersebut, pihak PT Granting Jaya sebagai pengembang, memilih enggan berkomentar secara teknis. "Kami masih rapat," kata Juru bicara PT Granting Jaya, Agung Pramono dikonfirmasi terpisah.
Surabaya Waterfront Land (SWL) menjadi satu di antara 14 Proyek Strategis Nasional (PSN) yang diumumkan pemerintah pusat, pada April 2024 lalu. Diklaim tanpa memakai uang negara, proyek ini akan mengerjakan pembangunan pulau buatan seluas 1.084 hektar yang terbagi dalam 4 blok dengan rincian Blok A 84 ha, Blok B 120 ha, Blok C 380 ha dan Blok D 500 ha.
Merupakan proyek panjang yang diperkirakan membutuhkan waktu hingga 20 tahun, pekerjaan ini akan dilaksanakan PT Granting Jaya. Ide awalnya, proyek ini diklaim bisa mengangkat nilai produksi nelayan, proyek ini baru masuk pengurusan pengurusan Analisis Mengenai Dampak Lingkungan (AMDAL).