RUPIAH Hampir ke Level Rp17.000 Per Dolar AS, Berpotensi Tekan PMI Manufaktur dan Picu Inflasi
Anak Agung Seri Kusniarti September 29, 2025 05:31 AM

TRIBUN-BALI.COM  – Pelemahan nilai tukar rupiah yang hampir mendekati level Rp 17.000 per dolar AS mulai menjadi perhatian kalangan ekonom. Berdasarkan data Jakarta Interbank Spot Dollar Rate (JISDOR)

Bank Indonesia, rupiah tercatat melemah 3,32 persen secara year-to-date (ytd) per Jumat (26/9/2025), ke level Rp 16.775 per dolar AS.

Nilai tukar rupiah yang bergerak fluktuatif sejak awal tahun membuka peluang bagi eksportir. Ketua Umum 

Gabungan Perusahaan Ekspor Indonesia (GPEI), Benny Soetrisno, mengatakan pelemahan rupiah memang memberikan sedikit keuntungan (windfall) bagi pelaku ekspor.

“Selagi harga ekspor lebih kompetitif, maka strategi yang bisa dilakukan adalah memperbanyak volume ekspor,” ujar Benny, Minggu (28/9).

Meski begitu, Benny menegaskan belum dapat menghitung seberapa besar dampak pelemahan rupiah terhadap peningkatan penerimaan ekspor.

Ia juga mengingatkan bahwa pelemahan rupiah tetap harus diwaspadai.  “Yang harus diperhatikan adalah kenaikan komponen rupiah dan biaya produksi serta jasa dalam negeri,” jelasnya.

Lebih lanjut, Benny menilai fluktuasi nilai tukar masih dapat ditoleransi sepanjang perubahannya tidak lebih dari 10 % .

Meski saat ini dampaknya terhadap inflasi impor belum terasa signifikan, risiko lonjakan harga tetap harus diantisipasi, terutama pada sektor energi dan industri manufaktur yang bergantung pada bahan baku impor.

Chief Economist BCA David Sumual mengatakan, pelemahan rupiah secara year to date (YtD) sejak awal tahun 2025 sampai September ini diperkirakan sekitar 4 % . 

Kondisi ini menurutnya belum banyak mengubah harga produk impor dan inflasi masih berada dalam kisaran proyeksi tahun ini. Namun, ia mengingatkan pelemahan lebih lanjut bisa memicu tekanan baru pada harga.

“Inflasi masih dalam rentang outlook tahun ini. Pelemahan rupiah year to date sekitar 4?n harga produk impor relatif belum banyak berubah. Tapi perlu diwaspadai kalau pelemahan rupiah berlanjut,” kata David, Minggu (28/9).

Sementara itu, Global Market Economist Maybank Indonesia Myrdal Gunarto menyoroti potensi imported inflation seiring pelemahan rupiah yang kini mendekati Rp 17.000 ditambah kenaikan harga minyak dunia menuju kisaran US$ 70 per barel.

“Kalau harga minyak terus naik sementara rupiah melemah, maka biaya impor energi meningkat. Ini bisa berdampak pada harga BBM non-subsidi, bahkan membuka peluang penyesuaian pada harga subsidi seperti solar, listrik, dan LPG 3 kilogram,” ujar Myrdal, Minggu (28/9)

Myrdal juga mengingatkan dampak pelemahan rupiah terhadap sektor manufaktur. Industri yang banyak mengandalkan bahan baku impor, seperti farmasi, otomotif, elektronik, besi dan baja, hingga makanan olahan, berpotensi menghadapi kenaikan ongkos produksi. Hal ini dapat menekan Purchasing Managers’ Index (PMI) manufaktur ke depan.

“Banyak industri kita yang mengandalkan bahan baku dari luar negeri. Jadi harus hati-hati. Semua itu akan tertekan jika rupiah terus melemah,” ujar Myrdal.

Meski begitu, ia menilai ruang pemulihan rupiah tetap terbuka. Surplus perdagangan yang konsisten, ekspor hilirisasi, serta potensi arus modal asing (Foreign Direct Investmen/FDI) pada kuartal IV diharapkan mampu menopang stabilitas rupiah.

“Kita masih berharap rupiah bisa kembali ke bawah Rp 16.500 pada akhir tahun, seiring ekspektasi penurunan suku bunga The Fed,” kata Myrdal.

Dengan kondisi tersebut, kalangan ekonom menilai inflasi hingga akhir 2025 masih terkendali. Namun risiko imported inflation dan tekanan biaya produksi harus diantisipasi, karena bisa memengaruhi daya beli sekaligus pertumbuhan industri manufaktur nasional. (kontan)

Hanya Sementara dan Segera Pulih

Niai tukar rupiah tengah terengah-engah melawan dolar Amerika Serikat (AS). Pelemahan rupiah bisa membuat Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) kena dampak.

Menteri Keuangan Purbaya Yudhi Sadewa mengakui depresiasi rupiah terhadap dolar AS yang berlarut-larut akan berpengaruh terhadap sensitivitas APBN.

Namun, Purbaya mengatakan, pelemahan rupiah tersebut hanya bersifat sementara. Purbaya optimistis rupiah akan kembali menguat dalam waktu dekat seiring pertumbuhan ekonomi domestik yang tetap solid.

“Kalau sampai tahun depan seperti itu (depresiasi rupiah) ya berdampak. Tapi saya yakin ketika mereka tahu bahwa kebijakan yang kita jalankan betul-betul bisa membalik arah pertumbuhan ekonomi, itu rupiah akan berbalik dengan cepat,” ujar Purbaya saat ditemui di Gedung Kementerian Keuangan Jakarta, Jumat (26/9/2025).

Purbaya juga menepis isu bahwa pelemehan rupiah itu akibat kebijakan Kementerian Keuangan yang mendorong bank-bank BUMN (Himbara) untuk menaikkan bunga deposito valuta asing sebesar 4 % .

“Enggak ada, enggak ada intervensi itu. Suka-suka mereka (perbankan). Tapi kalau masih naruh angka seperti itu di koran tanpa alasan yang jelas, belum tentu dilaksanakan, itu hanya menimbulkan sentimen negatif. Saya akan minta mereka mengoreksi itu,” kata Purbaya.

Menurut Purbaya, Bank Indonesia (BI) juga menjalankan perannya secara agresif dalam menjaga stabilitas nilai tukar. Ia meyakini dengan kombinasi kebijakan fiskal dan moneter, rupiah akan segera pulih.

“Mungkin pertengahan minggu depan sudah balik. Ini kan kita baru konferensi sekarang, market sudah tutup. Senin mulai, Selasa, Rabu mestinya sudah balik,” jelasnya.

Purbaya menekankan, fondasi ekonomi domestik akan terus membaik, ditopang oleh kebijakan fiskal dan moneter yang selaras. “Bank Sentral juga sinkron dengan kami (Kementerian Keuangan). Tujuannya sama, menjaga stabilisasi ekonomi dan menciptakan pertumbuhan lebih cepat,” imbuhnya.

Purbaya juga menyarankan publik untuk tetap percaya pada rupiah. “Anda pegang rupiah apa dolar sekarang? Sell (jual) dolar lah (beli rupiah),” tandasnya. (kontan)

© Copyright @2025 LIDEA. All Rights Reserved.