BANJARMASINPOST.CO.ID- MENTERI Lingkungan Hidup Hanif Faisol melarang pengelolaan sampah dengan sistem insinerator atau tempat pembakaran. Sistem tersebut dianggap memiliki dampak buruk yang lebih besar, seperti pencemaran udara.
Penggunaan insinerator tanpa kaidah memadai justru berisiko memicu penyakit hingga bencana lebih besar dibanding sampah yang diolah.
Kebijakan tersebut berdampak ke daerah. Pada awal tahun 2021, Pemko Banjarmasin berencana membangun insinerator untuk limbah medis. Namun, rencana pembangunannya di kawasan TPA Basirih belum juga terealisasi karena terkendala izin Analisis Mengenai Dampak Lingkungan (Amdal), oleh Kementerian Lingkungan Hidup (KLH). Rencana itu pun dipastikan batal karena ada kebijakan baru tersebut.
Padahal jika insinerator itu terealisasi, maka bisa dilakukan penghematan sekitar Rp 1,3 miliar setiap tahunnya untuk pengelolaan sampah medis. Sebab selama ini rumah sakit di Banjarmasin memercayakan pengelolaan sampah medisnya pada pihak ketiga.
Lalu apakah ketiadaan insinerator akan berdampak pada pengelolaan sampah di Kota Banjarmasin? Seperti diketahui, kota ini masih berjibaku menyelesaikan masalah sampah.
Sementara itu, TPA Basirih yang sempat ditutup KLH saat ini memang sudah dibuka, tapi hanya untuk dibenahi, bukan untuk membuang sampah. Sampah warga kota ini tetap dibuang di TPA Regional Banjarbakula.
Pemerintahan Wali Kota dan Wakil Wali Kota Banjarmasin, H M Yamin HR - Hj Ananda selama ini getol menyosialisasikan Tempat Pengolahan Sampah Reduce-Reuse-Recycle (TPS3R). Total saat ini ada sebanyak 21 unit TPS3R, yang tersebar pada sejumlah titik. Tahun ini akan dibangun tiga TPS3R lagi, sehingga sampai akhir 2025 jumlahnya menjadi 24.
Melihat usia Banjarmasin yang sudah 499 tahun, seharusnya sampah sudah bukan masalah lagi. Pemerintah Kota Banjarmasin harus terus menunjukkan keseriusan dalam memperbaiki tata kelola sampah di Kota Seribu Sungai. Namun tentu saja, dukungan dari pemerintah pusat tetap dibutuhkan, termasuk legislatif, kalangan swasta dan masyarakat.
Bukan hanya lempar tanggung jawab atau saling kritik, namun sudah selayaknya bukti nyata dilakukan. Bila tidak sekarang, bisa jadi masalah sampah tak akan pernah selesai selama 5 tahun ke depan.
Adipura memang bukan tujuan utama. Tapi lambang supremasi tinggi di bidang kebersihan yang diberikan Kementerian LH ini harus bisa direbut kembali. Pelarangan insinerator seharusnya tidak menjadi masalah serius yang mengendurkan semangat mengatasi sampah. Membiasakan masyarakat hidup bersih memang penting. Namun lebih penting lagi bagaimana kolaborasi legislatif dan eksekutif serta masyarakat bisa menciptakan gerakan nyata mengatasi sampah di Banjarmasin. (*)