DAMPAK Bencana Banjir 10 September di Bali, BMKG Jelaskan Cuaca Ekstrem & Kerentanan Pulau Dewata!
Anak Agung Seri Kusniarti October 05, 2025 03:30 AM

TRIBUN-BALI.COM - Dampak bencana yang terjadi di Bali, 10 September 2025 tidak main-main. Belasan nyawa melayang, akibat banjir bandang yang melibas beberapa wilayah Bali. Belum lagi bangunan rusak, kehilangan harta benda, dan kerusakan lainnya yang belum bisa terhitung semuanya. 

I Made Rentin, Kepala Dinas Kehutanan dan Lingkungan Hidup Provinsi Bali, menjelaskan setidaknya ada 145 titik banjir dan terparah di Kota Denpasar, khususnya di Pasar Badung & Kumbasari. 

Ia tak menampik banjir ini disebabkan oleh timbulan sampah, yang menjadi masalah di Bali. Selain memang karena faktor alam, seperti cuaca ekstrem dan lain sebagainya. 

"Saya tidak menampik adanya alih fungsi lahan, tetapi saya ingin mengatakan bahwa hutan di Bali sekitar 24,27 persen, lalu apakah itu ideal, tentu belum," sebutnya dalam Pelatihan Peningkatan Kapasitas Jurnalis Peliputan Bencana Alam, di Denpasar, Bali, Sabtu 4 September 2025. 

Kepala Dinas Kehutanan dan Lingkungan Hidup Provinsi Bali, I Made Rentin, saat menjelaskan ihwal sampah dan penanggulangan bencana di Bali.
Kepala Dinas Kehutanan dan Lingkungan Hidup Provinsi Bali, I Made Rentin, saat menjelaskan ihwal sampah dan penanggulangan bencana di Bali. (ISTIMEWA)

Rentin, sapaan akrabnya, mendapatkan tugas dari Gubernur Bali, Wayan Koster, untuk mengupayakan agar dalam kurun waktu 2 tahun hutan di Bali bisa mencapai minimal 30 persen. 

Tentu tugas yang tidak mudah, kata dia, tetapi sekaligus tugas mulai dalam membantu Bali mendapatkan kembali paru-parunya untuk bernafas. 

"Penghijauan dan rebosisasi atensi khusus, terutama bantaran sungai dan penegakan hukum dikencangkan untuk pencaplokan bangunan yang melanggar Perda Tata Ruang," tegasnya pria yang pernah menjabat Kepala Pelaksana BPBD Provinsi Bali ini. 

Masalah lain yang perlu diatensi adalah sampah di Bali, yakni mencapai 154,65 ton untuk total sampah bencana di Bali. Jenisnya beragam, ada kayu, beton, plastik, logam, besi, dan sampah organik. 

Timbulan sampah di aliran sungai, menjadi salah satu biang kerok tingginya air saat banjir menerjang di kala musim penghujan. Rentin mengatakan, masalah sampah adalah masalah serius. Jenis sampah di Bali didominasi sampah organik 60 persen. 

Makanya diharapkan sampah organik ini bisa selesai di rumah tangga, maksudnya dengan pembuatan teba modern. "Awalnya ada rencana 4.700 teba modern sebelum 10 November 2025, tetapi karena ada banjir ini ditunda dulu, utamakan penanganan bencana," katanya. 

Rentin paparkan, seiring Peraturan Gubernur (Pergup) Bali 47/2019 soal Pengelolaan Sampah Berbasis Sumber, idealnya masalah bisa tuntas di rumah tangga dan tingkat desa.

Sehingga, seluruh sampah organik tidak ada keluar rumah. ’’Sebab, bisa diatasi dengan teba modern, lubang kedalaman 1,5 sampai 2 meter, khusus menampung sampah organik di halaman menjadi pupuk untuk menyuburkan,’’ paparnya.

Walaupun setelah itu, tentu masalah sampah dan reboisasi akan jadi urgensi utama Made Rentin dan  timnya. Ia berharap benang kusut sampah dari hulu ke hilir bisa teratasi segera. Sehingga bencana alam sedemikian rupa tidak terulang lagi di Pulau Dewata. 

 

SOSOK - Dwi Wiratmaja jelaskan pengenalan iklim di Bali.
SOSOK - Dwi Wiratmaja jelaskan pengenalan iklim di Bali. (ISTIMEWA)

 

Kerentanan & Ancaman Bagi Bali

Selain Made Rentin, ada narasumber lain yaitu Kadek Setiya Wati dari Balai Besar Meteorologi Klimatologi dan Geofisika Wilayah III Denpasar. Putu Eka Tulistiawan (Stasiun Meteorologi Ngurah Rai Bali). I Made Dwi Wiratmaja (Stasiun Klimatologi Bali), dan Ni Luh Desi Purnami (Stasiun Geofisika Denpasar). 

Sebelum peserta ikuti materi, Direktur Jawa Pos TV Bali, Ibnu Yunianto beberkan, tujuan pelatihan ini, guna mendorong Jurnalisme Solutif. Contohnya, ketika ada bencana (alam), jurnalis itu, tak hanya beberkan bencananya saja, tapi juga sajikan informasi yang penting bagi korban terdampak bencana.

Kadek Setiya Wati memaparkan  UU 31/2009 yaitu tugas BMKG melakukan pemantauaan untuk mendukung keselamatan jiwa dan raga. ’’Hal mendasar yang harus media paham istilah cuaca dan iklim. Jadi cuaca mengacu pada kondisi di sekitar kita sehari-hari yang lebih spesifik, kayak (seperti) cerah hujan dan lain-lain,’’ paparnya. 

Sementara, iklim didefinisikan, rata-rata cuaca dalam jangka waktu yang panjang. ’’Cuaca itu berubah, seperti perempuan, sesuai mood-nya. Kalau iklim, seperti lelaki. Pola stabil,’’ guraunya disambut tawa peserta dan hadirin.  

Juga dicontohkan, cuaca ekstrem (cuek), dijelaskan sebagai fenomena alam. Di mana, terjadi kondisi tidak lazim. Sehingga, dapat menimbulkan ancaman. Kemudian peserta diajak bedakan puting beliung dengan angin kencang.

’’Angin kencang sudah masuk cuaca ekstrem, jika 45 kilometer per jam. Kalau puting beliung itu, ada pusaran dari dasar awan cumulonimbus,’’ jelasnya. 

Ditambahkan, terkait banjir bandang di Bali, pada Rabu lalu (10/9/2025), disebut karena ada faktor gelombang atmosfer aktif. Yaitu, gelombang rossby, disebabkan topografi atau pemanasan sinar matahari. 

Sedang Putu Eka memaparkan, tugasnya di Bandara Ngurah Rai, yakni dengan konsep observasi metereologi ideal di bandara. Ada alat sudah komplit di Bandara I Gusti Ngurah Rai. ’’Ada pengamatan darat dan lain-lain, termasuk alat mengetahui arah dan kecepatan angin,’’ katanya. 

Sedangkan saat membuka pelatihan ini, Kepala Pelaksana Badan Penanggulangan Bencana Daerah (Kalaksa BPBD) Bali, I Gede Agung Teja Bhusana Yadnya, menguraikan, terkait penyebab banjir bandang beberapa hari lalu di Bali.

Ia menegaskan tidak ada bencana penyebabnya tunggal. Sebab ada berbagai faktor. Kuncinya, ada kerentanan bertemu ancaman. Yakni ancaman cuaca ekstrem dan kondisi kerentanan di Bali seperti kurangnya daerah resapan air dan jalannya sungai. 

’’Oleh karena itu, kerentanan bertemu ancaman itu nyata, seperti hujan 150 mm per hari sudah masuk ekstrem. Tapi pada hari itu (Selasa, 9/9/2025) dan (Rabu, 10/9/2025) hujan mencapai 390 mm, dua kali lebih dari ekstrem dan ancaman kedua gelombang pasang 2 meter lebih.

Sehingga, aliran sungai ke laut terhambat gelombang pasang,’’ ujarnya mengenai salah satu penyebab banjir bandang  di Bali pada 10 September 2025. 

Dwi Wiratmaja menjelaskan pengenalan iklim di Bali. Diuraikan, total ada 118 titik pengamatan hujan di seluruh Bali. Ada yang mengirimkan data hujan tiap 10 hari, lantas dikirimkan data sampai pelosok Nusa Penida, Klungkung.

Juga terkait cuaca, iklim, curah hujan, sifat hujan, dasarian, el nino, dan la nina. ’’Normal hujan, adalah nilai rata-rata hujan selama 30 tahun. Ada 20 zona musim di Bali, dari tahun 1991-2020,’’ bebernya. 

Curah hujan Januari-Februari memang tinggi, dan naik lagi pada November- Desember. Artinya fluktuatif sesuai dengan 20 zona tadi dan kondisi cuaca. Sementara musim kemarau pada pertengahan tahun, kisaran Juni sampai September.

’’Musim hujan Oktober- Desember sampai Februari. Jadi pertengahan tahun musim kemarau,’’ jelasnya. Pengaruh el nino dan la nina ini cukup signifikan di Bali, khususnya dalam memahami kondisi kemarau dan basah (hujan). 

Lalu narasumber lain, menjelaskan potensi gempa dan tsunami yaitu oleh Desi Purnami. ’’Gempa bumi tidak menunggu waktu, kalau sudah waktu, ya maka akan terjadi,’’ ujarnya. 

Diumpakan, ketika kita memanaskan air, maka air berputar. Ini terjadi arus konveksi. Begitu juga dengan di atas inti bumi, ada mantel, sifatnya seperti kayak aspal.

’’Maka, ketika inti bumi panas, maka mantel akan panas dan kita berdiri di kerak bumi akan bergerak sekitar 7 milimeter per tahun. Tapi gerak setipis itu bisa jadi gempa bumi dahsyat,’’ tegasnya.

Maka dari itu, tatkala ada peringatan dini bencana gempa bumi dan tsunami, maka masyarakat harus memahami cara mengevakuasi dirinya sendiri terlebih dahulu. (*)

 

© Copyright @2025 LIDEA. All Rights Reserved.