Jakarta (ANTARA) - Anggota Komisi XII DPR RI Ratna Juwita Sari mendorong pemerintah untuk segera menerbitkan peraturan pemerintah (PP) sebagai turunan dari Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2025 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara (UU Minerba).

Legislator bidang energi dan sumber daya mineral itu mengingatkan bahwa seluruh peraturan pelaksana harus diterbitkan paling lambat enam bulan setelah UU diundangkan, sebagaimana diatur dalam Pasal 174 ayat (1) UU Minerba.

“UU Minerba telah diundangkan sejak 19 Maret 2025,” kata Ratna, seraya mengingatkan bahwa batas waktu penerbitan peraturan pelaksana UU Minerba telah lewat, dalam keterangan tertulis diterima di Jakarta, Minggu.

Ratna khawatir keterlambatan penerbitan PP akan menghambat implementasi UU Minerba. Terlebih, sektor minerba memiliki posisi strategis untuk Indonesia, tidak hanya sebagai sumber daya ekonomi, tetapi juga instrumen penting kemandirian dan kedaulatan negara.

Dia pun mengingatkan bahwa UU Minerba lahir untuk memastikan bahwa kekayaan sumber daya minerba yang dimiliki Indonesia benar-benar dikelola untuk sebesar-besarnya kepentingan rakyat, bukan untuk kepentingan asing.

“Tanpa adanya aturan pelaksana, cita-cita kemandirian dan kedaulatan bangsa akan sulit terwujud,” tutur Ratna.

Lebih lanjut dia meminta pemerintah untuk menuntaskan seluruh regulasi turunan yang diperlukan, agar kepastian hukum, arah kebijakan, serta implementasi tata kelola minerba dapat berjalan sesuai dengan amanat undang-undang.

“Minerba bukan sekadar komoditas ekonomi, tapi fondasi kedaulatan bangsa. Dengan pengelolaan yang tepat, minerba bisa menjadi motor kemandirian nasional dan benteng Indonesia dari ketergantungan pada pihak asing,” ucapnya.

Diketahui, DPR telah menyetujui perubahan keempat Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Minerba dalam Rapat Paripurna DPR RI Ke-13 Masa Persidangan II Tahun Sidang 2024–2025 pada bulan Februari lalu.

Sejumlah poin yang direvisi, yaitu perubahan skema untuk pemberian izin usaha pertambangan (IUP) ataupun wilayah izin usaha pertambangan (WIUP) dari semula sepenuhnya melalui mekanisme lelang, menjadi skema prioritas melalui mekanisme lelang.

Skema itu diterapkan dalam rangka memberikan keadilan pembagian sumber daya alam kepada semua komponen bangsa, baik bagi pengusaha usaha mikro kecil menengah (UMKM) maupun koperasi, termasuk badan usaha milik daerah (BUMD).

DPR dan pemerintah pun sepakat untuk membatalkan wacana pemberian konsesi tambang kepada perguruan tinggi. Sebaliknya, WIUP diberikan kepada badan usaha milik negara (BUMN), BUMD, hingga badan usaha swasta untuk kepentingan perguruan tinggi.

Selain itu, pemberian konsesi kepada organisasi masyarakat (ormas) keagamaan juga diatur dalam revisi UU Minerba. Pemberian izin itu pun sudah disepakati antara eksekutif dan legislatif.