Cepat di Awal, Macet di Akhir: Realita Pahit Starlink di Indonesia
Adam Rizal October 13, 2025 07:34 PM

Saat Pendiri Starlink Elon Musk datang ke Bali pada Mei 2024 dan meluncurkan Starlink untuk Indonesia. Elon Musk membawa janji sederhana tapi besar yaitu membawa konektivitas ke tempat-tempat yang memiliki konektivitas rendah.

Namun, setahun berselang, gambaran yang muncul jauh lebih kompleks dari sekadar akses internet cepat dari langit.

Tantangan Internet di Negeri Kepulauan

Indonesia punya masalah klasik yaitu kesenjangan digital antara kota dan desa. Pemerintah memang gencar mendorong digitalisasi lewat berbagai program, tapi rendahnya penetrasi broadband dan sulitnya menjangkau ribuan pulau masih jadi batu sandungan.

Di sinilah Starlink masuk. Starlink menawarkan koneksi satelit yang bisa menjangkau titik-titik yang tak tersentuh kabel fiber atau menara seluler.

Tapi, ada juga pesaing teknologi lokal, yakni Fixed Wireless Access (FWA), yang semakin berkembang dan menjadi andalan operator nasional seperti Telkomsel, XL, dan Indosat Ooredoo Hutchison (IOH).

Kecepatan Starlink Menurun Drastis

Ketika pertama kali diluncurkan, Starlink menjanjikan performa tinggi: kecepatan unduh 42 Mbps dan unggah 10,5 Mbps cukup untuk menyaingi layanan nirkabel premium.

Namun dalam waktu 12 bulan, performanya merosot tajam. Data menunjukkan kecepatan unduh turun hampir dua pertiga dan unggahan anjlok hampir separuh.

Skor pengalaman menonton video juga ikut turun lima poin. Penyebab utamanya?. Kemacetan jaringan akibat lonjakan pengguna.

Permintaan yang begitu tinggi membuat Starlink sempat menutup pendaftaran pelanggan baru. Ketika dibuka kembali pada Juli 2025, pengguna dihadapkan pada “biaya lonjakan permintaan” yang mencapai Rp8–9,4 juta, tergantung lokasi gateway atau hampir tiga kali lipat upah rata-rata pekerja Indonesia.

Namun, tidak semua kabar buruk. Starlink mencatat peningkatan Konsistensi Kualitas dari 24,2 persen menjadi 30,9 persen dalam setahun.

Hal itu berkat latensi yang lebih rendah dan infrastruktur yang makin matang, demikian OpenSignal melaporkan.

FWA vs Starlink: Siapa Lebih Unggul?

Di atas kertas, Starlink unggul di kecepatan unduh, tapi FWA menang di tiga aspek penting lainnya yaitu kecepatan unggah, konsistensi kualitas dan pengalaman video.

FWA juga lebih stabil — skornya mencapai hampir 50% dalam metrik kualitas, jauh di atas Starlink.

Namun, FWA punya kelemahan besar yaitu cakupan. Daerah terpencil dan pulau kecil sulit dijangkau karena biaya pembangunan menara dan jaringan backhaul yang tinggi.

Telkomsel masih mendominasi dengan layanan Orbit, yang tumbuh 31 persen menjadi 1,1 juta pelanggan di 2023. XL dan IOH pun ikut bersaing, dengan HiFi Air dari IOH yang diluncurkan bersamaan dengan ekspansi jaringan 4G/5G nasional bersama Nokia.

Koneksi dari Langit, Tantangan di Bumi

Secara geografis, satelit punya keunggulan alami.

Starlink mampu memberikan performa yang relatif seragam secara nasional, termasuk di wilayah timur seperti Maluku dan Papua, di mana FWA belum punya pijakan kuat.

Namun, stabilitas sinyal Starlink di pedesaan masih lemah, sementara FWA justru menunjukkan keandalan yang lebih baik di wilayah padat seperti Jawa dan Sumatra.

Kesimpulannya, Starlink bukan pengganti fiber atau FWA, tapi pelengkap penting di area sulit dijangkau.

Rintangan Regulasi dan Isu Persaingan

Starlink masuk ke Indonesia dengan restu pemerintah terutama untuk sektor kesehatan, pendidikan, dan kapal pengawas laut. Namun, di balik itu ada tantangan regulasi yang tak ringan:

Izin operasional. Starlink wajib mendirikan Network Operation Center (NOC) lokal agar lalu lintas datanya tidak melewati gerbang luar negeri.

Larangan roaming darat. Peraturan di Indonesia hanya mengizinkan roaming untuk kapal dan maksimal tujuh hari. Penggunaan di mobil atau area darat bisa membuat izinnya dicabut.

Kekhawatiran monopoli. Otoritas Persaingan Usaha (KPPU) menyarankan Starlink dibatasi hanya untuk wilayah 3T agar tidak mengganggu pemain lokal. Namun, data Opensignal menunjukkan 17,3 persen pengguna Starlink justru berasal dari kota besar.

Antara Janji dan Realita

Setahun setelah peluncuran, Starlink terbukti mampu memperluas konektivitas ke wilayah-wilayah terpencil yang selama ini gelap sinyal.

Namun, kinerjanya menurun, biaya tinggi menekan adopsi, dan regulasi terus menantang.

Keberhasilan Starlink ke depan akan bergantung pada tiga hal:

1. Meningkatkan kapasitas untuk menampung lonjakan pengguna.

2. Menjaga stabilitas performa agar pengalaman pelanggan tetap konsisten.

3. Bersinergi, bukan bersaing dengan FWA dan fiber sebagai bagian dari ekosistem digital nasional.

Jika mampu menavigasi semua tantangan itu, Starlink berpotensi menjadi bagian penting dari visi besar pemerintah: mewujudkan Indonesia yang benar-benar terkoneksi dari Sabang sampai Merauke.

© Copyright @2025 LIDEA. All Rights Reserved.