Jakarta (ANTARA) - Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) mendalami waktu perencanaan jual beli tanah untuk Jalan Tol Trans Sumatera (JTTS) yang dilakukan oleh mantan Direktur Utama PT Hutama Karya atau HK (Persero) sekaligus tersangka kasus dugaan korupsi pengadaan lahan proyek JTTS tahun anggaran 2018-2020, Bintang Perbowo (BP).

Juru Bicara KPK Budi Prasetyo menjelaskan pendalaman tersebut dilakukan saat memeriksa mantan pegawai PT Wijaya Karya atau Wika (Persero) Neneng Rahmawati sebagai saksi kasus tersebut pada Senin (13/10).

“Saksi didalami terkait dugaan para tersangka sudah merencanakan jual beli tanah sejak tersangka BP masih di PT Wika,” ujar Budi kepada para jurnalis di Jakarta, Selasa.

Bintang Perbowo diketahui sempat menjadi Dirut PT Wika sebelum menjabat sebagai Dirut PT HK.

Selain itu, Budi mengatakan KPK mendalami proses penjualan tanah kepada tersangka korporasi atau PT Sanitarindo Tangsel Jaya saat memeriksa seorang pihak swasta atas nama Andi Heriansyah, dan seorang pensiunan atas nama Achmad Yahya sebagai saksi.

Ia juga mengatakan KPK mendalami proses pengadaan lahan di PT HK, serta hasil pemeriksaan Satuan Pengawasan Internal PT HK mengenai pengadaan tersebut, yakni saat memeriksa saksi atas nama Subehi Anwar selaku staf SPI PT HK.

Sebelumnya, KPK pada 13 Maret 2024, mengumumkan memulai penyidikan kasus dugaan korupsi terkait pengadaan lahan proyek JTTS tahun anggaran 2018–2020.

Dalam penyidikan perkara tersebut, KPK telah menetapkan tiga orang sebagai tersangka, yaitu mantan Direktur Utama PT Hutama Karya atau HK (Persero) Bintang Perbowo (BP), mantan Kepala Divisi di PT HK M. Rizal Sutjipto (RS), dan Komisaris PT Sanitarindo Tangsel Jaya atau STJ Iskandar Zulkarnaen (IZ). KPK juga menetapkan PT STJ sebagai tersangka korporasi.

Namun, Iskandar Zulkarnaen telah meninggal dunia pada 8 Agustus 2024, sehingga penyidikan terhadap yang bersangkutan dihentikan KPK.

Kemudian pada 6 Agustus 2025, KPK menahan Bintang Perbowo dan M. Rizal Sutjipto.

Pada tanggal yang sama, KPK mengumumkan kerugian keuangan negara dalam kasus tersebut yang berdasarkan perhitungan Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP) RI mencapai Rp205,14 miliar.

Rinciannya adalah Rp133,73 miliar dari pembayaran HK kepada PT STJ atas lahan di Bakauheni, dan Rp71,41 miliar atas pembayaran HK untuk PT STJ mengenai pembelian lahan di Kalianda. Kedua daerah tersebut berada di Provinsi Lampung.